Sejarah Pemilu di Indonesia - Ketimpangan Pemilu Era Reformasi

Sejarah Pemilu di Indonesia - Ketimpangan Pemilu Era Reformasi

Tahun 2014, Indonesia akan menggelar pemilu. Namun, tahukah Anda tentang sejarah pemilu di Indonesia? Sejarah pemilu mungkin sudah dilupakan oleh sebagian orang, karena pemilu di Indonesia seolah menjadi sebuah ajang perebutan kursi paling tinggi saja. Hampir semua pemimpin negeri ini berhenti pada kata duduk di taraf pemerintahan paling tinggi lalu selesai.

Ketika menjelang pemilu, tidak sedikit para politisi nan hanya sekadar mengumbar janji pada masyarakat. Alhasil, bagi mereka nan tak setuju banyak nan golput. Sebab, dari masa ke masa pemilu tak mengalami perubahan nan berarti.

Sejarah pemilu di Indonesia diwarnai oleh berbagai macam persoalan. Pemilu di Indonesia baru berjalan secara demokratis sejak runtuhnya Presiden Suharto. Sebab selama masa jabatan beliau ini, selalu saja partai nan dipimpinnya menang di pemilu. Hal ini membuat kalangan intelektual mulai sadar akan ketidakberesan dalam tubuh politik di Indonesia, nan akhirnya meletuslah sebuah peristiwa besar di tahun 1998 tepatnya di bulan Mei.

Sejarah pemilu di Indonesia mengenalnya sebagai hari May Day. Semua mahasiswa dan organisasi masyarakat turun ke jalan menuntut Presiden Suharto nan kala itu menjabat segera mundur. Atas permintaan gelombang masyarakat nan begitu besar, maka Presiden Suharto turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998.



Sejarah Pemilu di Indonesia - Asas Pemilu

Pada era Orde Baru, masyarakat kita dikenalkan dengan asas pemilu di Indonesia dengan sebutan LUBER nan merupakan singkatan dari Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Langsung maksudnya ialah setiap peserta pemilu di indonesia atau setiap pemilih, ketika melakukan pemilihan tak dapat diwakilkan. Generik mengandung arti bahwa pemilu di Indonesia berhak diikuti oleh semua warga negara Indonesia nan usia 17 tahun ke atas.

Bebas ialah setiap peserta pemilu di Indonesia memilih berdasarkan keputusan sendiri atau tak ada unsur paksaan dari pihak mana pun. Dan terakhir, Misteri nan mengandung arti bahwa suara nan dipilih oleh pemilih berdasarkan keinginan pribadi serta tak diketahui oleh orang lain.

Pada Era Reformasi kita dikenalkan pada istilah baru yaitu Jurdil. Jurdil ialah singkatan dari Jujur dan Adil. Jujur nan dimaksud di loka ini ialah pemilu di Indonesia diadakan sinkron dengan anggaran nan berlaku. Juga, setiap warga negara nan berhak memilih bisa dipastikan bisa memilih sinkron dengan kehendaknya. Serta, setiap pemilih mempunyai nilai suara nan sama buat menentukan wakil rakyat.

Lalu, asas Adil berarti adanya perlakuan nan sama bagi setiap pemilih nan mengikuti pemilu di Indonesia. Intinya tak ada subordinat ataupun mengistimewakan terhadap peserta pemilu. Kedua asas nan baru muncul di era reformasi ini sebenarnya memilki hukum secara mengikat, baik pada peserta maupun penyelenggara pemilu.



Sejarah Pemilu di Indonesia - Urutan Pemilu di Indonesia

Penjelasan di atas cukup memberikan citra bagaimana sesungguhnya sejarah pemilu di Indonesia secara singkat. Kemudian, berikut ini akan dijelaskan tentang urutan pemilu nan pernah diadakan di Indonesia.

1. Pemilu I

Sejarah pemilu di Indonesia di mulai pada tahun 1955. Pada saat itu, pemilu di Indonesia diadakan pertama kali yaitu pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, dengan Perdana Menteri Burhanudin Harahap. Setelah 10 tahun merdeka, Indonesia baru mengadakan pemilu di Tahun 1955 sebab masih banyaknya hambatan nan melingkupi Indonesia.

Situasi politik pada masa itu belum stabil dan masih banyaknya ancaman dari luar juga memicu terlambatnya penyelenggaraan pemilu di indonesia buat pertama kali. Pemilu pada tahun 1955, bertujuan buat memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante.

Pemilu ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu termin pertama pada tanggal 29 September 1955 dengan tujuan memilih anggota DPR. Kemudian, termin kedua dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 dengan tujuan memilih Dewan Konstiuante.

Pemilu ini diikuti oleh 29 partai politik. Namun, hanya 5 partai besar nan memenangkan pemilu yaitu Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia

2. Pemilu II

Pemilu kedua baru dilaksanakan pada tahun 1971. Tepatnya pada tanggal 3 Juli. Pemilu ini diikuti oleh 9 partai politik dan dimenangkan oleh Partai Golongan Karya, Nahdatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

3. Pemilu III - VII

Pemilu ketiga sampai pemilu ketujuh hanya diikuti oleh 3 partai. Hal ini dikarenakan adanya peraturan baru tentang partai politik pada tahun 1975, yaitu adanya Gabugan buat semua partai. Gabugan ialah sistem penggabungan partai.

Pada saat itu partai melebur menjadi 3 partai politik yaitu, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya. Pemilu di era ini sering disebut sebagai "Pemilu Orde Baru."

Pemilu di era ini secara urut dilaksanakan pada 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu di Indonesia pada zaman ini sangat aneh, sebab setiap pemilu sudah dipastikan Golongan Karya nan menjadi pemenang. Hal ini disebabkan pada zaman Suharto, semua pegawai negeri diwajibkan memilih Golongan Karya tiap kali ada pemilu.

4. Pemilu VIII - IX

Sejarah pemilu di Indonesia memasuki babak nan baru. Pemilu ke delapan di Indonesia dilaksanakan pada 1999, tepatnya pada 7 Juni. Pemilu ini ialah pemilu pertama setelah jatuhnya presiden Soeharto. Pemilu di Indonesia pada 1999 kembali menganut sistem multi partai. Oleh karena itu, tak heran jika pada pemilu ini diikuti oleh 48 partai politik.

Kemudian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional memenangkan perolehan suara. Meskipun Partai Demokrasi Indonesia perjuangan mendapat suara terbanyak, namun nan diangkat menjadi Presiden RI bukanlah pemimpin partai tersebut, yaitu Megawati Sukarno Putri. Melainkan Abdurrahman Wakid.

Hal ini dimungkinkan sebab tujuan pemilu kala itu hanya buat memilih anggota MPR, DPR dan DPRD, sedangkan pemilihan Presiden dan Wakilnya tetap dilakukan oleh MPR. Maka MPR pun memilih Abdurrahman Wakid sebagai presiden RI ke-4. Menggantikan Presiden B.J. Habibie.5.

Pemilu ke sembilan di Indonesia dilaksanakan pada tahun 2004. Pemilu ini ialah pemilu pertama dimana rakyat dapat memilih secara langsung presiden dan wakil presidennya. Tujuan dari pemilu ini juga buat memilih anggota DPR, DPRD (provinsi), DPRD (kota/kabupaten) dan satu forum baru yaitu DPD nan nantinya bertugas sebagai wakil buat kepentingan di daerah.

Pemilu di Indonesia tahun 2004 diikuti oleh 24 parpol dan dilakukan dua kali putaran. Karena tak adanya pasangan capres dan cawapres nan mendapat suara diatas 50%, akhirnya putaran kedua dilakukan. Terpilihlah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden.

6. Pemilu X

Pemilu kesepuluh dilaksanakan pada 8 Juli 2009. Sejarah pemilu di Indonesia mencatat, ada 34 partai politik dan 6 partai lokal nan ada di Aceh mengikuti pemilu kali ini. Pada pemilu ini, kembali terpilih Capres Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden dan Cawapres Boediono sebagai Wakil Presiden.



Sejarah Pemilu di Indonesia - Ketimpangan Pemilu Era Reformasi

Setelah jatuhnya presiden Suharto, kadang tak sedikit rakyat nan ingin kembali ke zaman pemerintahan Orde Baru. Sebab, meskipun pemerintahan orde baru kadang terlihat tak ada kebebasan dalam berpendapat, namun rakyat bisa hayati tentram, bahkan tak sesulit sekarang ini.

Contohnya, dulu di era pemilu Orde Baru, golongan pegawai negeri harus memilih Partai Golkar, hal ini sama sekali tak memberi kebebasan bagi rakyat buat memilih. Tetapi keadaan rakyat kecil, khususnya petani tak terjepit seperti sekarang ini.

Di era Reformasi keadaan makin parah, kebebasan nan dielu-elukan sebagai karakteristik reformasi hanya omong kosong belaka. Begitu banyak kasus soal pencekalan kebebasan namun tetap dibiarkan, tak ada tindak lanjut terhadap kejadian tersebut. Contohnya peristiwa pengusiran Irshad Manji, pencekalan terhadap musisi Lady Gaga dan masih banyak lagi.

Hal ini membuktikan bahwa kebebasan berekspresi seolah dibatasi. Ketika tahun berganti ke era reformasi, justru keadaan penduduk makin meninggkat pesat. Yang lebih memprihatinkan lagi ialah pemilu tak menghasilkan pemimpin nan peduli pada rakyat. Mereka justru menindas rakyat.

Ketimpangan-ketimpangan pemilu di era reformasi sebenarnya sudah kelihatan begitu jelas. Contohnya saja jika masa kampanye menjelang pemilu. Semua partai beserta politisinya banyak nan berorasi di depan rakyat dengan mengumbar banyak janji. Bahkan ada nan masih memakai politik uang.

Mungkin bagi sebagian banyak orang politik uang ialah hal biasa. Namun kembali lagi pada karakteristik era reformasi ialah kebebasan menyampaikan pendapat. Apakah jika ada uang bisa membatasi kebebasan berpendapat kita?

Ketimpangan pemilu di Indonesia ialah tak memunculkan pemimpin profesional nan dapat bertindak tegas terhadap oknum-oknum nan jelas-jelas mengganggu kestabilan negara. Contoh gampangnya seperti ini, banyak koruptor nan sudah tertangkap. Tetapi kelanjutan dari kasus itu apa? Selalu nihil, hanya berhenti dijalan atau ditutup secara tak jelas.

Begitu banyak kasus korupsi di negara ini tidak terkecuali pada oknum nan paling bawah termasuk pegawai kelurahan. Sangat mengerikan bukan? Negara nan sudah delapan kali mengadakan pemilu tetapi tak ada pemimpin nan mampu menjadi teladan. Begitulah sejarah pemilu di Indonesia.