Perkembangan Jurnalistik Televisi di Indonesia

Perkembangan Jurnalistik Televisi di Indonesia

Fred Wibowo mengungkapkan sifat 'kolesterolnya' jurnalistik televisi : "Suatu uraian dari seseorang sedapat-dapatnya 75 persen tersaji dalam wujud gambar-gambar ilustrasi." (Wibowo, 1997 :133).

Ditambah pula dengan pendapat Hafied Cangara mengenai jurnalis nan layak berbicara di depan kamera TV: "Selain kredibilitas, daya tarik ialah salah satu faktor nan harus dimiliki oleh seorang komunikator. Faktor daya tarik (attractiveness) banyak menentukan sukses tidaknya komunikasi. Pendengar atau pembaca dapat saja mengikuti pandangan seorang komunikator, sebab ia memiliki daya tarik dalam hal kecenderungan (similarity), disukai (liking), dikenal baik (familiarity), dan fisiknya (physic)." (Cangara, 2002 ; 98)

Penjelasan tentang penampilan fisik atau postur badan, seorang news anchor sebisanya perlu memiliki bentuk fisik sempurna. Karena fisik nan stigma dapat menimbulkan ejekan cemoohan, sehingga mengganggu jalannya komunikasi. Fisik nan gagah dan cantik akan menawan penonton, apalagi jika disertai kemampuan menguasai masalah nan dibawakannya.



Jurnalistik Televisi

Dari dua titik tolak di atas, sudah jelas jurnalisme macam apa nan akan dihadirkan di pesawat televisi Anda. Jurnalisme televisi, artinya kegiatan pengolahan dan penyiaran warta dilakukan melalui media televisi. Wartawannya, juga tak semata disebut sebagai jurnalis, mereka ialah broadcaster. Ada produser, ada peliput lapangan, ada juru kamera, ada editor gambar, dan ada news anchor .

Prosesnya sangat berbeda. Warta nan ditampilkan telah discreening terlebih dahulu melalui paras cantik dan tampan di TV nan Anda simak. Disukai dahulu citranya, dibangun nota kesepahaman antara penyiar dan pemirsa dalam urusan daya tarik. Sehingga nilai warta sedikit tercecer di antara lipstik, gincu, dan bedak tebal.

Setidaknya bila mengacu pada teori simulakra Jean Baudrillard. Di mana dalam potongan realitas, ada lapisan empiris nan tak dapat dikatakan murni, sebab sudah dibawakan dan dibahasakan melalui media. Empiris palsu itu nan dinikmati masyarakat seolah nyata. Padahal, itu hanya kopian nan tak krusial lagi. Bahkan potongan sejarah nan sudah lewat, dan tidak lagi memberi arti pada masa depan.

Tulisan di media cetak, merupakan potongan empiris dengan kadar 'kolesterol simulakra' nan rendah. Sehingga, penikmat warta masih dapat menikmati kadar khayalan nan mereka kembangkan sendiri, dalam konklusi nan serba terbatas. Ditambahnya foto pada berita, meninggikan kadar kolesterol simulakra dalam warta beberapa gram, dan membuat hati pembaca sedikit meriang.

Akan halnya warta di TV. Merupakan tumpukan kolesterol simulakra taraf tinggi. Ada warta nan sudah lewat, divisualkan, dinarasikan pula, diulang-ulang tayangannya. Hasilnya ialah disintegrasi penontonnya. Mengutip Kellner (1995), gambar-gambar di TV itu. "..Bisa menjadi pengalaman datar, satu dimensi, seperti melihat pembuangan sampah dari gambar-gambar palsu, nan berfungsi sebagai carut marut tanpa arti dan keterkaitan..."

Hal semacam itu berlangsung dengan akselerasi nan tanpa henti. Kellner menambahkan, bahwa nan semacam itu dibarengi dengan kegiatan artifisial nan lain: "Banyak individu nan tak berpuas diri, menggunakan klik klik dari satu program ke program lainnya."



Berita Tertentu Jurnalistik Televisi

Karenanya tak ada kedalaman dan pendalaman makna dalam pemberitaan nan sedang ditayangkan. Lebih-lebih televisi nan mencoba mengobral kata tertentu dan langsung dalam peliputannya. Padahal, makna tertentu itu, dapat jadi gambar bergerak nan menyebabkan orang traumatis melihatnya. Misalkan gambar peperangan, pembunuhan, penyergapan teroris. Seperti nan pernah ditayangkan di TV warta di Indonesia.

Dengan demikian, banyak sekali PR nan harus dibenahi para jurnalis TV buat merumuskan pemberitaan nan tepat pada masyarakat nan tengah terkondisikan buat lebih banyak menonton dibanding membaca. Seperti idiom kolesterol nan penulis sebutkan dari awal tulisan. Makanan nan tebal kolesterolnya memang enak, tapi tak menyehatkan.



Perkembangan Jurnalistik Televisi di Indonesia

Seiring dengan semakin banyaknya masyarakat nan memiliki pesawat televisi, jurnalistik televisi menjadi sebuah bentuk jurnalistik nan akrab di masyarakat; bahkan bagi mereka nan tak dapat baca tulis sekalipun. Membicarakan awal mula jurnalistik TV di Indonesia tak dapat terlepas dari kemunculan TVRI sebagai stasiun televisi nasional pertama di tanah air. TVRI mulai eksis sebagai satu-satunya stasiun televisi di Indonesia sejak tahun 1960-an.

Lebih dari 20 tahun kemudian, muncullah beberapa stasiun televisi partikelir nan juga berperan dalam membentuk paras jurnalistik TV Indonesia. Stasiun TV partikelir pertama di tanah air ialah RCTI. RCTI mulai berdiri sejak tanggal 21 Agustus 1987 dan mulai mengudara di tahun 1989. RCTI kini berada di bawah naungan MnC (Media Nusantara Citra). Dua tahun setelah RCTI mengudara, muncullah pesaing pertamanya: SCTV. Di tahun 1990, SCTV awalnya ialah televisi daerah nan hanya beroperasi di Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, Bangkalan, Gresik, Lamongan, dan Mojokerto). Baru pada tahun 1992 SCTV memulai siaran sebagai stasiun televisi nasional.

Selanjutnya, muncul TPI. Resminya, TPI berdiri pada tahun 1991. Saat awal mengudara, TPI hanya mengudara selama 4 jam per hari. Lama kelamaan jam mengudara ditingkatkan, seiring dengan meningkatnya respons positif dari masyarakat. Beberapa tahun kemudian, muncullah Indosiar. Indosiar mulai beroperasi sejak tahun 1995. Stasiun televisi ini merupakan bagian Grup Salim nan memiliki beberapa anak perusahaan di bidang-bidang lain. Tahun 1990-an global jurnalistik TV Indonesia dikuasai oleh keempat stasiun televisi tersebut.

Baru pada tahun 2001, muncul stasiun televisi lainnya yakni Trans TV. Sebenarnya Trans TV sudah mendapatkan izin siaran sejak tahun 1998, tetapi stasiun televisi ini baru mulai mengudara pada tahun 2001. Di tahun nan sama, muncul Dunia TV nan mencitrakan dirinya sebagai stasiun televisi Indonesia buat kaum muda. Sejak saat itu berbagai stasiun televisi lain mulai bermunculan, seperti AnTV, TV7 (kemudian menjadi Trans7), MetroTV, dan Lativi (kemudian menjadi TVOne).

Selain itu, di berbagai daerah pun mulai muncul stasiun-stasiun TV lokal. Belum lagi munculnya stasiun-stasiun televisi kabel. Menjamurnya stasiun TV sebagai wadah lahir dan bertransformasinya jurnalistik TV membuat jurnalistik TV terus menerus berubah menyesuaikan zaman dan kebutuhan penonton. Ada beberapa hal nan memengaruhi (baik ke arah positif maupun negatif) perkembangan jurnalistik TV di Indonesia, di antaranya adalah:

  1. Semakin pesatnya perkembangan teknologi

  2. Keberadaan Indonesia sebagai negara pembeli teknologi, bukan pencipta

  3. Semakin pandai dan kritisnya penonton televisi

  4. Adanya disparitas zona waktu di wilayah Indonesia

  5. Adanya disparitas 'selera' antara masyarakat pedesaan dan perkotaan

  6. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah nan sedang berkuasa



Kelebihan dan Kekurangan Jurnalistik Televisi

Televisi sebagai media elektronik memiliki pengaruh terhadap jurnalistik dan kehidupan manusia modern. Dalam tataran paling sederhana, jurnalistik melalui televisi dapat mengubah cara berpikir dan gaya hayati manusia, seperti jadwal tidur, sabun nan dipilih buat mandi, sudut pandang atas suatu peristiwa, topik perbincangan, dan sebagainya. Menyadari hal ini, muncul ide buat membuat TV sebagai media jurnalisme nan tak sekadar informatif tetapi juga edukatif. Lebih jauh lagi, muncul ide agar informasi nan diberikan menguntung pihak eksklusif sehingga sering dijadikan ajang kampanye nan provokatif.

Di balik semua itu, jurnalistik melalui televisi memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Kelebihan dari jurnalistik TV ialah dapat meraup massa lebih banyak. Bandingkan dengan media cetak nan hanya mampu menjangkau massa nan berpendidikan; televisi lebih menguntungkan sebab informasinya dapat diserap bahkan bagi mereka nan tak mengenal baca tulis. Televisi pun memiliki kelebihan visual dibandingkan media massa lain, mengingat seeing is believing, menyebaran informasi melalui TV menjadi lebih terpercaya.

Sementara itu kelemahan jurnalistik televisi ialah warta umumnya hanya dapat muncul satu kali. Ini menuntut penonton buat cepat tanggap menangkap isi informasi warta tersebut. Penonton tak dapat mengatur berapa kali ingin ia ulangi klarifikasi mengenai suatu warta agar ia dapat benar-benar memahaminya. Para jurnalis televisi pun harus cerdas dan cekatan menggunakan alat-alat teknologi, seperti kamera, mikrofon, dan sebagainya. Setidaknya mereka harus memiliki teknik dasar mengoperasikan alat-alat tersebut.