Belajar Bahasa Daerah

Belajar Bahasa Daerah

Anda biasa membacakan dongeng bagi anak sebelum tidur? Apabila jawabannya, ya, selamat! Anda telah melakukan Norma nan kelak akan bermanfaat bagi si kecil. Jika Anda biasa membacakan dongeng-dongeng dari seluruh dunia, kini Anda dapat mulai melirik cerita dongeng rakyat Indonesia sebagai pengantar tidur si kecil.

Ada beberapa kegunaan nan dapat diperoleh dari cerita dongeng rakyat Indonesia, di antaranya



Mengenali Budaya Indonesia

Cerita dongeng rakyat Indonesia mengambil latar loka dan budaya Indonesia. Anak-anak tak perlu menghafal nama propinsi dan ibu kotanya. Cukup dengan membacakan Legenda Tangkuban Parahu, anak-anak akan mengenal Jawa Barat nan beribu kota Bandung nan geografisnya bergunung-gunung.

Setiap propinsi di Indonesia mempunyai cerita dongeng rakyat nan khas. Sejak dini, si kecil tanpa sadar telah mengenal dan belajar mencintai budayanya.



Pesan Moral

Ada pesan moral nan implisit dalam cerita dongeng rakyat Indonesia. Misalnya, cerita Malin Kundang. Betapa doa dan asa seorang ibu bisa memengaruhi kehidupan seorang anak. Anda bisa membahas pesan moral tersebut bersama si kecil dengan cara menanyakan komentarnya tentang cerita dongeng rakyat nan baru saja ia dengar.



Belajar Bahasa Daerah

Sesekali gunakan percakapan bahasa daerah sinkron dengan asal cerita dongeng rakyat. Hal ini merupakan salah satu cara bagi si kecil buat mengenal bahasa daerah selain bahasa Indonesia. Jika Anda menguasai bahasa daerah tertentu, ceritakan saja dongengnya dengan bahasa daerah tersebut. Anda bisa sesekali menggunakan bahasa Indonesia buat menjelaskan artinya.



Tahu Asal Usul

Anda bisa memfokuskan pada cerita dongeng rakyat dari daerah atau suku nan sinkron dengan asal-usul Anda. Ini ialah cara bagi si kecil buat mengetahui asal-usul nenek moyangnya tanpa Anda perlu menceramahinya panjang lebar. Gunakan segala nan khas seperti nama makanan, nama tempat, adat-istiadat, dan hukum adat nan khas dari kebudayaan tertentu.

Jika si kecil tak puas dengan perbedaan makna lokal nan Anda hadirkan, ajak si kecil menjelajah internet atau mengunjungi sesepuh adat agar ia tahu kebudayaan asal orang tuanya lebih banyak lagi.

Selain kegunaan bagi anak, Anda sendiri pun akan memetik beberapa kegunaan dari cerita dongeng rakyat, seperti melatih kreativitas Anda dalam bercerita dan mengasah pengetahuan Anda tentang budaya nusantara. Interaksi Anda dan si kecil pun akan semakin erat melalui cerita dongeng rakyat sebelum tidur ini.



Cerita Dongeng Rakyat Indonesia

Tampe Ruma Sani

Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Barat.

Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, karena setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya nan masih kecil. Ia memasak nasi buat ayah dan adiknya. Kasihan Tampe Ruma Sani nan masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga nan seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.

Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis ikanmu Nak? Tiap hari aku lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”

“Saya menjual lebih murah dari nan lain, agar cepat habis, sebab aku harus segera pulang menanak nasi buat ayah dan adik saya. Juga pekerjaan rumah tangga nan lain harus aku kerjakan”, jawab Tampe Rurna Sani sambil berjalan cepat.

“Siapa nama adikmu?”

“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu nan memasak?”

“Adikku masih kecil, belum dapat memasak.” Bermacam-macam pertanyaan janda itu kepada Tampe Ruma Sani.

“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo (destar) dan ro sarowa (celana) buat ayahmu”, kata janda itu dengan manis.

“Baik Bu, akan aku sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.

Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan nan kurang baik, lebih-lebih kalau ayahnya tak berada di rumah.

Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri segera menyiapkan makanan nan enak-enak untuknya. Sedang buat anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras nan hancur kecil-kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi nan bagus dan ikannya nan enak-enak, sedang aku dan adik nasinya kecil-kecil dan tak ada ikannya”. Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak berbeda dengan makanan kita Bu?”

“Oo tak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah residu makanan nan ada di kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.

Sebenarnya nasi nan ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal nan demikian telah dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani nan berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga Ligo pun ikut menangis.

“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!” ancamnya.

Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya buat mencari nafkah sendiri, sebab tak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar, ingin pergi mencari pengalaman. Oleh sebab itu, izinkanlah aku dan Mahama Laga Ligo pergi”.

“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya memang sudah tak bahagia dengan anak-anak tirinya nan dirasa sangat mengganggu.

Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan istrinya nan terus-menerus.

Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya. Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan sampai ke batas desa.

Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali mereka membicarakan ibu tirinya nan kejam. Sesekali juga membicarakan ayahnya nan kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.

“Kak, aku capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada menghimbau.

“Bolehlah. Kita cari dulu loka nan teduh, lalu kita makan bekal nan diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya nan mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.

“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar loka itu bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal nan dipegang adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya, tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal nan dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati memberi bekal nan dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.

Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat tak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban. Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit.

Ternyata pintu itu tak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh penjuru rumah, temyata rumah itu tak ada penghuninya. Di sebuah sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di sekitar rumah ditumbuhi rumput nan tinggi, nan tampak tak pernah dijamah manusia maupun binatang.

“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe Ruma Sani kepada adiknya.

Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi, makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun tak mampu berpikir dari mana semuanya itu.

Untuk menjaga kemungkinan makanan tak tersedia lagi, mereka bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat, Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah aku nan menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar. Sementara aku pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.

“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.

Tersebutlah komandan raja nan sedang berburu di hutan. Setelah beberapa lama, mereka sangat heran di tengah hutan itu ada sebuah rumah. Selama ini, di daerah itu tak pernah ada seorang pun berani tinggal. Maka salah seorang komandan itu menaiki tangga rumah itu dan mengetuk pintunya. Tampe Ruma Sani tak berani menjawab, apalagi membuka pintu. Ia bersembunyi di bawah meja dengan sangat ketakutan. Dalam hati berdoa semoga adiknya cepat datang.

Karena ketukan pintunya tak terjawab, maka komandan raja itu turun, dan memeriksa rongga di bawah rumah rumah itu. Ia melihat rambut nan terjurai di bawah kolong. Lalu, ia pun menarik rambut itu. Rambut itu ialah rambut Tampe Ruma Sani. Ketika ditarik, ia merasa kesakitan dan berteriak. Hulubalang itu terkejut. Ia lidak mengira, rambut itu rambut manusia. Ia segera kembali meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tak mau membuka.

Hulubalang itu segera kembali ke kerajaan melaporkan peristiwa itu kepada raja.

Mendapat laporan nan demikian, raja bersama beberapa komandan nan lain segera menuju hutan di mana rumah itu berada.

Raja meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tak berani membukanya. Akhirnya, pintu itu pun didobrak beramai-ramai. Tampe Ruma Sani berteriak ketakutan.

“Jangan takut! Aku raja di negeri ini”.

Pada saat itu, Mahama Laga Ligo datang. “Saya datang, Kak. Bukalah pintu!”

Tampe Ruma Sani membukakan pintu dan memperkenalkan sang raja dan para hulubalang. Dan mereka pun dibawa ke istana dan Tampe Rurna Sani dijadikan permaisurinya.