Azas-azas Hukum Perjanjian
Kontrak dan perjanjian kolaborasi ialah hal nan sangat sering kita alami dalam interaksi sosial. Dalam sisi hukum, penerapan kontrak dan perjanjian memperhatikan beberapa azas hukum nan diatur dalam KUHP. Pada pasal 1331, dijelaskan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Hukum perjanjian itu sendiri biasa disebut juga dengan hukum kontrak. Selayaknya hukum-hukum nan ada, hukum perjanjian juga mengenal prinsip hukum atau azas hukum itu sendiri. Menurut Paul Scholoten, prinsip atau azas hukum ialah prinsip dasar nan terdapat di dalam sebuah sistem hukum. Dirumuskan melalui putusan hakim nan berkaitan dengan keputusan hakim serta keputusan individual.
Dari pendapat Paul Scholoten, bisa disimpulkan bahwa azas hukum bukanlah sebuah kaidah hukum nan konkret. Melainkan sebuah pemikiran nan bersifat umum. Sehingga sistem hukum ini bisa melahirikan peraturan-peraturan hukum.
Selain prinsip atau azas hukum, dalam hukum perjanjian memiliki unsur-unsur sebagai berikut.
- Dua belah pihak, baik satu orang atau lebih, pribadi atau badan hukum, nan berkompeten terhadap perjanjian.
- Pokok-pokok nan disetujui oleh kedua belah pihak.
- Pertimbangan hukum.
- Perjanjian timbal balik.
- Hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Berdasarkan pasal 1320 KUHP, sebuah perjanjian dikatakan absah di mata hukum apabila memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif dalam hukum perjanjian terdiri dari:
- Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak nan mengikatkan dirinya,
- Kecakapan buat membuat perjanjian.
Apabila syarat subjektif tak dipenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan ( voidable ). Atau sama saja melanggar azas hukum.
Syarat objektif dalam hukum perjanjian terdiri dari:
- Adanya suatu hal eksklusif nan menjadi objek perjanjian,
- Adanya suatu karena nan halal, nan dibenarkan secara hukum.
Apabila syarat objektif tak terpenuhi, suatu perjanjian disebut batal demi hukum ( void/nietig ).
Selanjutnya, perjanjian hukum dilaksanakan dengan mempertimbangkan berbagai azas hukum perjanjian nan diatur dalam undang-undang.
Azas Hukum - Sejarah Hukum Perjanjian
Harus diakui bahwa sistem hukum nan ada di Indonesia tak lepas pengaruh dari sistem hukum dari negara-negara Eropa, seperti Belanda. Kesemuanya merupakan pengaruh dari sistem hukum nan terjadi pada zaman Romawi kuno.
Hukum nan mengatur antara interaksi masyarakat juga lahir dari sistem hukum nan ada di zaman Romawi. Itulah sebabnya, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih dikenal dengan istilah civil law .
Hukum Romawi Jerman ini hampir bisa dipastikan merupakan "hibahan" dari sistem hukum Romawi Kuno. Hukum perjanjian juga dikenal di berbagai negara, seperti Spanyol, Perancis, dan Portugis.
Seiring berjalannya waktu, para pemikir kemudian mulai melahirkan prinsip-prinsip hukum perjanjian atau azas hukum perjanjian. Azas hukum itulah nan kemudian melandasi keberadaan hukum perjanjian itu sendiri.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Azas hukum perjanjian kemudian bersinggungan dengan hukum perdata. Perumusan azas hukum perjanjian pun pada akhirnya bisa ditemukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kitab Undang-undang Hukum Perdata kemudian merumuskan ada lima azas dalam hukum perjanjian. Yaitu:
1. Azas Hukum Perjanjian - Azas Kebebasan ( Freedom of Contract )
Azas hukum perjanjian nan pertama ialah azas kebebasan. Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa setiap pihak bebas buat menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau tidak, bebas mengadakan perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan isi perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-syarat perjanjian, dan bebas menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Azas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan mengalami perkembangan pada zaman Pertengahan (Rennaisance) dengan latar belakang paham individualisme nan memandang bahwa setiap orang bebas memperoleh apa saja nan dia kehendaki. Pelopor paham ini ialah Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa: "Semua perjanjian nan dibuat secara absah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka nan membuatnya." Dalam KUHP tersebut dijelaskan bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada pihak nan terkait untuk:
- Membuat perjanjian atau tidak.
- Bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun.
- Bebas menentukan isi dari perjanjian, aplikasi dan persyaratan, serta
- Bebas menentukan bentuk dari perjanjian. Apakah lisan atau tulisan.
Latar belakang lahirnya azas kebenaran sebagai salah satu azas hukum perjanjian ialah lahirnya paham individualisme nan lahir dari zaman Yunani. Dalam prakteknya paham individualisme ini semua orang bebas menentukan pilihan buat dirinya sendiri.
Paham individualisme nan melahirkan azas kebebasan dalam azas hukum perjanjian, sebenarnya digunakan oleh kaum kuat secara ekonomi buat bebas "menindas" kaum lemah. Namun, itu semua perlahan mulai luntur. Azas kebebasan ini berganti makna menjadi kebebasan buat kepentingan umum.
2. Azas Hukum Perjanjian - Azas Konsensualisme ( Concensualism )
Azas konsensualisme dalam azas hukum perjanjian ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut absah apabila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan nan dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini termaktub dalam pasal 1320 ayat (1) KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum Romawi mengenal azas contractus verbis literis dan contractus innominat, sebuah perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi suatu bentuk nan ditetapkan.
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian riil dan perjanjian formal. Disebut perjanjian riil apabila perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut perjanjian formal apabila perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.
Azas konsensualisme nan merupakan salah satu azas hukum perjanjian ini menetapkan bahwa perjanjian terjadi apabila telah memenuhi bentuk nan telah ditetapkan oleh kedua belah pihak. Oleh sebab itu, dalam KUHP, azas konsensualisme termasuk dalam salah satu azas hukum perjanjian.
3. Azas Hukum Perjanjian - Azas Kepastian Hukum ( Pacta Sunt Servanda)
Azas kepastian hukum sebagai salah satu azas hukum perjanjian ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum berkaitan dengan dampak dari perjanjian tersebut, pihak ketiga (hakim, dll.) harus menghormati substansi perjanjian dan tak boleh melakukan intervensi. Azas kepastian hukum tersebut termaktub dalam pasal 1338 ayat (1) KUHP.
Azas hukum perjanjian nan satu ini memiliki latar belakang dari hukum Gereja. Bahwa perjanjian terjadi bila ada kesepakatan dan kepastian dari kedua belah pihak dan semakin dikuatkan dengan adanya sumpah. Namun, sejalan dengan berkembangnya zaman, sumpah tersebut tak perlu diucapkan. Cukup dengan menggunakan kata sepakat antara kedua belah pihak.
4. Azas Hukum Perjanjian - Azas Itikad Baik ( Good Faith )
Azas itikad baik sebagai salah satu azas hukum perjanjian ini memandang bahwa aplikasi substansi perjanjian antara kedua belah pihak didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu relatif dan mutlak.
Menurut azas hukum ini, itikad baik relatif berkaitan dengan sikap dan tingkah laku subjek perjanjian secara konkret dengan memperhatikan tingkah laku dari subjeknya. Sedangkan itikad baik absolut memandang bahwa evaluasi itikad baik menyangkut ukuran objektif dan tak memihak berdasarkan norma-norma nan ada. Azas ini termaktub dalam pasal 1338 ayat (3) KUHP. Pasal tersebut berbunyi " perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik".
5. Azas Hukum Perjanjian - Azas Kepribadian ( Personality )
Azas hukum perjanjian kali ini memandang bahwa setiap pihak nan melakukan perjanjian berdasarkan kepentingan diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam pasal 1315 KUHP nan berbunyi: "Pada umumnya seseorang tak bisa mengadakan perikatan atau perjanjian selain buat dirinya sendiri," dan ditegaskan dalam pasal 1340: "Perjanjian hanya berlaku antara pihak nan membuatnya."
Dengan demikian dalam azas hukum ini, sebuah perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus spesifik sebagaimana disebutkan dalam pasal 1317 KUHP: "Dapat pula perjanjian diadakan buat kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian nan dibuat buat diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu."