Berakhirnya Kemahsyuran Jakarta Tempo Dulu
Jakarta tempo dulu sama menariknya dengan Jakarta saat ini. Daya tarik kota nan merupakan ibukota negara Indonesia ini memang sudah terkenal. Kota nan sebelumnya pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972) ini memiliki luas wilayah sekitar 661,52 km2. Nama Batavia akhirnya diubah menjadi Djakarta ketika kota ini berada dalam masa penjajahan Jepang.
Kota Jakarta memang sarat dengan sejarah kemerdekaan Indonesia. Jakarta tempo dulu merupakan loka berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Walaupun demikian, wilayahnya masih diduduki Belanda sampai dengan tahun 1949. Kota ini akhirnya mengalami perubahan status menjadi Daerah Spesifik Ibukota pada tahun 1961. Semenjak itu, jumlah penduduknya melonjak pesat buat memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pemerintahan.
Saat ini, Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar nan ada di Indonesia. Dalam jangka waktu beberapa tahun sesudah kemerdekaan penduduknya bertambah berkali lipat. Pembangunan pemukiman pun terus berkembang sampai saat ini. Kawasan pemukiman seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Rawamangun, dan Pejompongan merupakan kawasan nan dibangun sejak dulu.Pusat bisnis kota di kala itu terdapat di poros Medan Merdeka, Senen, Salemba, dan Jatinegara.
Batavia - Awal Mula Jakarta Tempo Dulu
Kota Batavia awalnya tak memiliki luas sebesar Kota Jakarta sekarang ini. Wilayahnya berada di sekitar Menara Syahbanar di daerah Pasar Ikan sampai jalan Jembatan Batu. Batas wilayah kota dikelilingi tembok (benteng) dan parit. Pembuatan Kota Jakarta tempo dulu ini dirancang oleh Simon Stevin buat memenuhi permintaan pemerintah VOC. Kota ini memang direncanakan sebagai ibukota perdagangan terbesar dan Belanda berniat buat memonopolinya.
Bentuk kota Batavia memang sejak awal dirancang mengikuti model bangunan Belanda. Kota harus dibuat dengan jalan-jalan nan lurus ditambah dengan parit-parit. Kediaman resmi residen Batavia pada saat itu berada di "Rumah Indisch" nan sekarang berubah fungsi menjadi balai kota Jakarta di jalan Merdeka Selatan 8. Pembangunan Kota Jakarta tempo dulu ini terus berkembang walaupun sempat dikepung oleh tentara Mataram pada 1627-1629.
Dalam misinya membangun ibukota perdagangan, JP. Coen - Gubernur Jendral Belanda saat itu memerintahkan buat membangun wahana umum. Di antaranya yaitu membangun galangan kapal, rumah sakit, rumah penginapan, toko, gereja, dan sekolah. Dari catatan sejarah diketahui bahwa pada masa itu telah dibuat dua bangunan gereja nan ditempatkan di dalam dan di luar benteng. Sebuah sekolah juga dibangun tetapi tak jelas di mana lokasinya.
Sarana perdagangan generik seperti pasar juga telah dibentuk buat memenuhi kegiatan ekonomi kota. Di antaranya ialah Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang nan merupakan ikon Kota Jakarta tempo dulu. Saat ini lokasi pasar Senen lebih dikenal sebagai kawasan Segitiga Senen. Wilayah Pasar Tanah Abang awalnya tak seluas seperti sekarang ini. Mulanya pasar hanya terpusat di bagian selatannya, tak seperti sekarang nan juga mencapai daerah barat.
Perkembangan Kota Batavia semakin pesat di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Jacques Specx. Program nan dilakukan yaitu mengubah kali Besar nan awalnya berkelok-kelok menjadi suatu parit lurus nan bisa menerobos kota. Benteng-benteng nan merupakan loka kediaman dan juga sebagai kantor pemerintahan VOC ditempatkan meriam di keempat sisinya. Tentara juga ditempatkan buat menjaga kediaman para pejabat tinggi.
Museum Sebagai Peninggalan Jakarta Tempo Dulu
Pusat Kota Batavia saat itu merupakan bekas balai kota nan saat ini dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta. Bangunan ini sebenarnya merupakan balai kota kedua sebagai pengganti balai kota pertama nan lebih kecil dan sederhana.
Pada masa pemerintahan Belanda, gedung ini memiliki fungsi krusial sebagai kantor administrasi negara, pusat pengadilan, serta penjara. Baru pada tahun 1974, fungsinya berubah menjadi museum loka penyimpanan benda bersejarah Jakarta.
Ikon kota Jakarta tempo dulu ini pernah menjadi loka bersejarah. Gedung balai kota ini menjadi saksi berakhirnya pemerintahan sementara Inggris di Indonesia. Sir John Fendall, perwakilan dari pemerintahan Inggris, mengembalikan kekuasaan Hindia ke Belanda.
Gedung ini juga sempat dipakai buat kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Barat dan markas tentara Indonesia. Bangunannya akhirnya dipugar pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin dan berubah fungsi menjadi museum.
Selain itu, di Kota Jakarta juga terdapat museum bersejarah lainnya, yaitu Museum Bahari. Sebelum berubah fungsi menjadi museum, gedung ini awalnya merupakan salah satu gudang penyimpanan barang dagangan pada masa pemerintahan Belanda. Gudang ini digunakan buat menyimpan komoditas perdagangan seperti pala, lada, kopi, dan teh. Gudang dibangun di belakang tembok dan mengelilingi kota di daerah kali Besar di tepi baratnya.
Gudang-gudang penyimpanan ini dibangun sepanjang kubu nan dikenal dengan sebutan "Bastion Culemborg". Kubu ini didirikan di seberang kali Besar buat mengamankan pelabuhan. Saat itu, pelabuhan merupakan loka nan krusial sebab berfungsi sebagai pusat perdagangan. Kubu ini tepatnya didirikan di daerah berupa kubangan nan posisinya menjorok ke barat bahari dan keberadaannya masih ada sampai saat ini. Di dalam kubu kemudian didirikan Menara Syahbandar pada tahun 1893.
Tanah loka berdirinya Museum Laut pada masa Jakarta tempo dulu awalnya merupakan daerah empang atau rawa-rawa. Di loka ini, tepatnya di bagian atas urukan tanah di tepi barat kali Besar, beberapa galangan kapal sempat beroperasi. Kali Besar saat itu mampu menyalurkan air ke pasar Ikan, sampai akhirnya genre Ciliwung ditutup di daerah Glodok. Karena beroperasinya galangan kapal, disini dibangun gedung nan fungsinya sebagai bengkel kayu dan galangan kapal.
Berakhirnya Kemahsyuran Jakarta Tempo Dulu
Daerah kali Besar merupakan daerah elit di masa Jakarta tempo dulu. Di kawasan ini pernah dibangun rumah Koppel nan saat ini dikenal sebagai Toko Merah oleh G. von Inhoff. Sebutan tersebut diberikan sebab bangunan itu memiliki balok kusen dan dinding nan dicat berwarna merah. Bangunan elite bergaya Eropa nan banyak dibangun di sekitar kota menambah kesan latif pada lingkungannya. Oleh sebab itulah, kota ini dijuluki sebagai "Ratu dari Timur".
Akan tetapi, kepopuleran Kota Jakarta tempo dulu mengalami penurunan secara tajam. Sejarahnya berawal dari adanya gempa bumi besar pada tahun 1699 nan disertai letusan gunung berapi dan hujan abu. Hujan abu nan sangat tebal mengakibatkan saluran air nan berupa terusan menjadi berlumpur.
Sungai Ciliwung pun mengalir ke bahari dengan membawa endapan lumpur. Akibatnya, benteng-benteng nan dibangun di tepi bahari mengalami pergesaran mundur ke arah pedalaman sejauh satu kilometer.
Gempa besar nan terjadi mampu merusakkan bangunan dan menghancurkan sistem pengaliran air sehingga persediaan air higienis di dalam kota berkurang. Untuk menanggulangi masalah ini, pihak pemerintah Belanda pun mengubah sistem penyaluran air sekaligus membuka daerah baru di pinggir kota. Cara nan dilakukan yaitu dengan membuka terusan baru di bagian selatan kota. Bersamaan dengan itu, penduduk kota juga dihinggapi endemi penyakit seperti malaria, disentri, dan kolera.
Perbaikan terhadap wahana nan rusak dampak bala nan melanda Jakarta tempo dulu baru mulai dilakukan pada masa pemerintahan Daendels. Program ini terus dilanjutkan sampai Indonesia kembali lagi dalam kekuasaan pemerintah Belanda. Cara nan dilakukan yaitu dengan menimbun sungai dan membuat tanggul di sisi kanan dan kiri sungai. Penanggulangan nan dilakukan akhirnya sukses membuat arus sungai mengalir kembali.
Akan tetapi, tetap saja cara ini tak mampu mengubah sistem kota kembali normal seperti sedia kala. Dilaporkan bahwa beratus-ratus orang terserang endemi kolera dan beberapa di antaranya ada nan sampai meninggal dunia. Pada saat itu, rumah sakit belum memiliki kemampuan nan cukup buat mengobati korban endemi tersebut. Hal ini memicu runtuhnya kejayaan Jakarta tempo dulu dampak banyak penduduk nan meninggalkan kota buat menghindari wabah.
Kejadian ini sebenarnya merupakan dampak dari kegagalan penduduk kota dalam mengelola lingkungannya. Pembangunan nan dilakukan, sebagian besar tak memperhatikan aspek lingkungan. Hal ini dapat terulang jika melihat konduite penduduk saat ini.
Buktinya, kota Jakarta selalu mengalami musibah banjir jika dilanda hujan deras. Hal ini tentunya harus segera ditanggulangi agar Jakarta saat ini tak mengalami kehancuran seperti Jakarta tempo dulu.