Hilangnya Kedaulatan Ekonomi Karena Lemahnya Kedaulatan Politik
Partai politik tengah jadi sorotan publik. Terutama, ketika forum survei TII menilai Parpol jadi forum terkorup. Persis di bawah aparat kepolisian dan kejaksaan. Rakyat berdaulat penuh pada Parpol sebab Parpol ialah alat politik, bukan tujuan politik. Maka, politik partai kedaulatan harus dibenahi dalam konteks partai nan berdaulat.
Di antara rekanan pemodal, rakyat, dan politisi, politik partai kedaulatan bukan nama parpol. Politik partai kedaulatan ialah prinsip politik buat dapat independen dan netral dalam bersikap. Melakukan tindakan politik buat kemaslahatan publik.
Bung Karno mengeluarkan ajaran trisakti. Berdaulat dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya. Lebih lanjut, ujar Bung Karno, “Berdikari –berdiri di kaki sendiri." Politik nan tak punya karakter tak mempunyai pendirian. Berpolitik dengan pragmatis. Kalau untung, ambil. Jika buruk, tolak.
Kedaulatan Politik
Tidak soal jika transaksi itu berbasis nilai. Namun, jika transaksi berbasis uang, Parpol akan terjerumus jadi forum ekonomi. Bak perseroan terbatas nan berhitung untung rugi. Para politisi akan menjelma jadi homo economicus . Tiap tindakan akan berdasar pada untung rugi (kekuasaan), bukan sahih salah.
Celaka jika tabiat politik demikian. Kedaulatan partai politik akan dikuasai oleh rekanan modal. Tujuan mulia politik buat kepentingan publik akan terkikis. Kedaulatan model uang akan membuat para konstituen (pemilih) jadi bermental materialistis. Pemilu dimaknai bagi uang semata. Konser musik nan membawa seniman ibukota. Namun, makna kontestasi politik berbasis nilai kian kabur. Vote dihargai dengan lembaran uang rupiah.
Miris. Politik partai kedaulatan ialah politik nan memberi ruang bagi iklim demokrasi tumbuh. Bukan demokrasi liberal, melainkan demokrasi ala Indonesia. Demokrasi nan berjuang bukan semata kebebasan berekspresi, melainkan kesejahteraan ekonomi. Politik niscaya akan berujung pada kekuasaan.
Maka, kekuasaan harus dimaknai sebagai perwujudan jalan buat membuat rakyat makmur sentosa. Meminjam perkataan Soegeng Sarjadi, ketika berkuasa, radius kebaikan harus luas. Bukan anak istri semata, melainkan tetangga sebelah, pedagang asongan, petani, atau para pemulung. Mereka harus diberdayakan bukan diperdaya.
Ruang Gagasan
Politik partai kedaulatan mesti menjadi ruang jual beli gagasan. Parpol ialah laboratorium pencetak kader unggul. Mereka ditempa dengan ide dan lahir dengan karya. Bukan ditempa dengan doktrin dan lahir sebab modal. Leadership nasional bermula dari kepemimpinan parpol. Bila dari Parpol sudah rusak, Indonesia akan ikut rusak.
Lokalitas nan membentuk karakteristik keberadaan masyarakat tradisional –yang bagi barat dinilai sebagai keterbelakangan negara global ketiga, semakin kehilangan tempatnya. Serbuan budaya modern mainstream ke ulu hati tradisionalitas telah melahirkan dalam bahasa Jalaluddin Rakhmat “chimera” semacam mahluk aneh nan kehilangan keasliannya, dampak buah tangan Dr. Moureau nan jahat.
Terangkat dari kepribadian lampau, tak memiliki landasan buat berdiri, tercabut dari akar, dan kehilangan pegangan. Modernitas via kapitalisme, dan jenjang-jenjangnya seperti media partisipan publik, demokrasi, koorporasi, pasar, spasialisasi, juga subkultur telah merendahkan masyarakat lokal ke dalam bentuk kolonialisme baru.
Secara perumpamaan, rumput tetangga tak cocok di tanam di halaman sendiri, dipaksakan buat ditanam, dan menuai badai krisis seperti nan terjadi di Indonesia pada era 1997. Kapitalisme dunia telah merontokkan petani-petani kecil di dusun-dusun terpencil, sebab ketergantungan terpaksa terhadap teknologi nan diperkenalkan oleh Barat.
Hilangnya Kedaulatan Ekonomi Karena Lemahnya Kedaulatan Politik
Harga pupuk nan bahan bakunya diimpor melambung tinggi, industri antik seperti pembuatan tempe dan tahu rontok, sebab kedelai pun ikut di impor, produksi kedelai dalam negeri dikurangi dampak “tanam paksa” baru dalam bentuk penyulitan peraturan nan dimonopoli oleh pihak tententu. Hutan-hutan ditebangi buat dikonversi menjadi lumbung sawit (Crude Pam Oil:CPO), CPO –bahan standar bagi minyak goreng- di ekspor mentah-mentah sebagai buah kebijakan nan dikendalikan oleh pemberi utang semacam IMF.
Harga nan seharusnya murah sebab produksi berlimpah, menjadi mahal sebab harga harus sinkron dengan negara tetangga, dan diawasi oleh WTO, badan dagang internasional. Yang terbaru, emisi karbon nan dihasilkan negara Barat dibarter dan diperjualbelikan dengan penanaman paksa terhadap hutan-hutan Indonesia.
Ini artinya masyarakat Indonesia, baik nan masih tradisional atau nan sudah mengaku modern, harus merelakan diri menjadi penonton bagi gaya hayati mewah dan urakan dari masyarakat di negara kaya. Seorang Nobelis dan Ekonom, Joseph E. Stiglitz menengarai perihal kapitalisme dunia di atas :
Globalisasi memang berhasil dalam menyatukan orang diseluruh global –justru buat melawan globalisasi itu sendiri. Pekerja pabrik di Amerika Perkumpulan melihat bahwa pekerjaan mereka terancam oleh kompetitornya di China. Petani dari negara berkembang melihat bahwa pekerjaan mereka pun terancam oleh subsidi terhadap jagung dan tanaman lainnya nan diberikan Amerika Perkumpulan kepada para petaninya.
Para buruh di Eropa merasakan begitu sulit buat mendapatkan konservasi terhadap pekerjaan mereka atas nama nama globalisasi. Para pecinta lingkungan merasakan bahwa para aktor dunia terhadap undang-undang nan berlaku mengancam keberadaan alam nan di wariskan kepada mereka.
Kebudayaan Tradisional lokal nan arif, nan dapat jadi merupakan jawaban dari krisis di Indonesia. Tidak pernah mendapatkan loka nan patut diperhatikan. Karena seperti nan sudah dijelaskan sebelumnya, perhatian terhadapnya hampir tak pernah ada. Pers sebagai corong primer perubahan sosial, tak pernah membaca dan melihat gejala lokalitas sebagai sesuatu nan penting.
Dalam kaidah jurnalisme pada kredo Barat “the bad news is the good news” masih dijadikan formula lama bagi membangun pers di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan formula berat semacam “demokratik partisipan” asas netralitas, juga kenyataan “infotainment” dalam global jurnalistik di Indonesia, menjadikan Pers sama sama tak berdaya mengangkat global politi di Indonesia.
Karena nyata-nyata, ketika ketiga pilar politik (trias politica: bukan demokrasi seperti nan banyak didengungkan), kepemimpinan, legislasi, dan hukum telah membusuk dan tak berdaya ditengah krisis, Pers telah menjadi satu-satunya kekuatan primer nan dijadikan acum dan arah bagi masyarakat buat melangkah. Pers seharusnya mampu melakukan dekontruksi bagi wilayah kultural nan telah dijangkiti ideologi kapitalisme dan globalisasi.
Belajar Berdaulat dari Kasus Jepang
Lalu bagaimana kabarnya dengan “kekuatan”, “pemikiran” nan sifatnya lokal? Kembali Louis Althusser memberikan jawaban, bahwa negara-bangsa dengan demokrasinya memang berpihak kepada kelas atas nan dipandang jauh lebih modern. Negara ialah penjara bagi kaum tradisional, sekaligus mesin uang bagi kaum feodal borjuis, para keturunan demang dan adipati dengan cara korup dan tak jujur.
Negara dengan jelas mendudukan diri sebagai alat penjajahan. Negara ialah mesin penjajah nan memberikan keleluasaan bagi kelas penguasa (kaum borjuis, pemilik modal, feodal) buat meneruskan dominasinya terhadap kelas pekerja (petani, buruh, tradisionalis desa, juga secara lebih jauh lagi memerasnya sebagai bagian dari ekspoitasi kapital kapitalis.
Wacana Althusser nan memang bersimpati kepada Karl Marx, merupakan wacana kritis tentang kerakyatan (folkor). Kerakyatan berakar dari tradisi. Ini merupakan reaksi keras terhadap diabaikannya suara-suara kelas tradisional oleh sebentuk negara. Lalu dikemanakan pernyataan, bahwa kebudayaan lokal harus melakukan penyaringan terhadap kebudayaan luar nan datang?
Meskipun kebudayaan luar itu dipandang lebih adiluhung. Jika tradisi nan harus berhadapan dengan modernitas dengan segala macam alatnya. Maka alat-alat modern itu harus mau menundukkan diri kepada tradisi. Karena tradisi telah berurat akar dalam sendi kehidupan suatu bangsa ribuan tahun lamanya. Menciptakan kebudayaan seimbang dan serasi nan tak terbantahkan lagi.
Oleh sebab itu, begitu banyak orang keheranan akan kemampuan bangsa Jepang buat bangkit menjadi bangsa besar setelah dikalahkan dalam perang. Berdasarkan asumsi, dari Robert N. Bellah dalam bukunya Religi Tokugawa, bangsa Jepang mampu mengadaptasi setiap perubahan nan disesuaikan dengan kultur dan tradisi Jepang sendiri.
Haiku (sastra), Noh (tari), Kabuki (drama), Enka (musik), Zenisme (agama), hakama (pakaian) mendapat loka terhormat bahkan terpenetrasi dipusat-pusat kota seperti Shinjuku, Shibuya, Ueno, atau Harajuku sebagai pemandangan nan biasa. Dan bentuk kedaulatan itu dapat di peroleh dari sistem partai kedaulatan nan berdaulat, dan mampu mengatur masyarakat menuju budaya akarnya sendiri.