Biodata dr. Soetomo
:
Siapa nan tidak kenal dengan dr. Soetomo? Tentunya sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal salah satu tokoh krusial dalam global konvoi nasional tersebut. Biodata dr. Soetomo dapat dijumpai dengan mudah. Banyak surat keterangan sejarah nan mengupas sepak terjangnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Selain kiprah heroik dr. Soetomo dalam menentang pemerintah kolonial Belanda, ia juga ternyata memiliki kisah kisah cinta nan tidak kalah menarik buat diceritakan. Ingin mengetahuinya? Kita akan ikuti kisahnya setelah membahas terlebih dahulu biodata dr. Soetomo, siapa dan bagaimana sosok dari dr soetomo, sang pendiri Boedi Oetomo.
Organisasi Boedi Oetome berdiri pada tanggal 20 Mei 1908, nan sampai saat ini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Hal tersebut menjadi salah satu bentuk apresiasi bangsa Indonesia terhadap organisasi konvoi nasional pertama nan bersifat modern ini.
Biodata dr. Soetomo
Biodata dr. Soetomo atau namanya niscaya tak bisa dilepaskan dari keberadaan Boedi Oetomo. Terlepas dari berbagai kontroversi nan memperdebatkan layak atau tak jika Boedi Oetomo disebut sebagai organisasi konvoi modern pertama di Indonesia, eksistensi dari dr. Soetomo sebagai pendirinya, tidak ada nan meragukan.
Tokoh nan berperan krusial di balik organisasi Boedi Oetomo tersebut, memiliki kiprah konkret dalam hiruk-pikuk konvoi nasional. Lahir di kota Angin, julukan bagi Kota Nganjuk, Jawa timur pada 20 Juli 1888, dr. Soetomo meninggal pada usia nan tergolong masih produktif, yakni 50 tahun (30 Mei 1938).
Ia menghembuskan nafas terakhir dan kemudian dimakamkan di Surabaya. Oleh pemerintah Indonesia, pada tahun 1961 lewat SK Presiden No. 657, memberikan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada dr. Soetomo. Bentuk penghargaan paling tinggi atas jasa-jasa nan telah ia torehkan selama hidupnya kepada bangsa Indonesia.
Beberapa sumber sejarah menyebutkan jika tokoh konvoi nasional ini pada masa kecilnya bernama Soebroto. Pada masa ia bersekolah di STOVIA (sekolah kedokteran bagi kaum pribumi), ia mengubah namanya menjadi Soetomo. Dan setelah lulus, gelar dokter (dr) diletakkan didepan namanya hingga kemudian dikenal sebagai dr. Soetomo.
Pada saat menimba ilmu kedokteran di STOVIA inilah, dr. Soetomo mulai mengenal dan kemudian aktif dalam global konvoi nasional. Bersama rekan-rekannya sesama mahasiwa kedokteran, dr. Soetomo sering membahas majemuk isu berkaitan dengan perjuangan bangsa Indonesia terhadap penindasan dari pemerintah kolonial Belanda.
Diskusi-diskusi hangat tersebut lalu berubah menjadi aksi nyata. Hal ini dipicu oleh kehadiran dr. Wahidin nan mengajak dr. Soetomo dan rekan-rekannya buat berbuat sesuatu bagi perjuangan rakyat Indonesia. Kunjungan tokoh konvoi nasional dan juga seorang dokter ini, menginspirasi dr. Soetomo dan rekannya-rekannya sesama mahasiswa STOVIA buat mendirikan Boedi Oetomo.
Sejarah mencatat jika Boedi Oetomo merupakan organisasi nan bergerak dalam bidang sosial dan kebudayaan pada awal berdirinya (1908). Hampir sama seperti organisai Sarekat Islam (SI) nan ketika awal pendiriannya bergerak dalam bidang ekonomi tapi kemudian berubah mengarah ke bidang politik , begitu pula dengan Boedi Oetomo.
Organisasi ini awalnya bersifat tertentu (keanggotaan Boedi Oetomo terbatas), kooperatif (bekerja sama) dengan pemerintah kolonial Belanda, dan tak bersinggungan dengan usaha buat meraih kemerdekan Indonesia (semangat kebangsaan/nasionalisme).
Boedi Oetomo lebih memfokuskan majemuk aksi nyatanya dalam bentuk penjagaan terhadap budaya pribumi (diskusi dan penerbitan buku-buku mengenai kebudayaan Indonesia) dan tindakan sosial di masyarakat. Namun, seiring dengan semakin menghangatnya isu kemerdekaan, Boedi Oetomo pun turut larut di dalamnya.
Pada tahun 1929, Boedi Oetomo berkecimpung dalam politik konvoi nasional dengan keputusan bergabung ke dalam Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Perubahan orientasi organisasi tersebut tidak lepas dari kontribusi dari dr. Soetomo.
Hal ini semakin jelas terlihat ketika pada tahun 1935, Boedi Oetomo bersama dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dilebur menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) nan bertujuan memperjuangan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Adapun, PBI merupakan organisasi nan dibentuk oleh dr. Soetomo pada tahun 1924. Sebelumnya, organisasi tersebut bernama Indonesiche Studie Club (ISC).
Kiprah dr. Soetomo dalam global konvoi nasional tidak hanya itu. Ia juga turut andil dalam membentuk organisasi bagi kaum perempuan pribumi bernama Putri Mardika. Dokter nan akrab dipanggil Pak Tom tersebut juga menerbitkan surat kabar bernama Darmo Kondo, media efektif bagi penyebaran ide-ide pergerakan.
Kisah Kisah cinta dr. Soetomo
Lulus pada tahun 1911, selain terus aktif di global pergerakan, dr. Soetomo pun membaktikan hidupnya sinkron profesi nan ia geluti. Sebagai dokter , dr. Soetomo ditempatkan di berbagai daerah dari Pulau Jawa hingga Sumatra. Pada saat inilah, ia melihat dan merasakan secara langsung penderitaan nan dialami oleh rakyat Indonesia.
Terketuklah hatinya buat meningkatkan kemampuan dalam melayani dan membantu meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia, dr. Soetomo memutuskan buat melanjutkan studinya ke negeri Belanda. Ia berangkat pada tahun 1919 dan menyelesaikan pendidikan empat tahun setelahnya (1923).
Namun sebelum berangkat ke negeri Belanda, dr. Soetomo menemukan sang pujaan hati. Ia pun menikahinya pada tahun 1917. Siapakah perempuan nan menjadi istri dari tokoh konvoi nasional tersebut?
Di sinilah kisah kisah cinta dari dr. Soetomo dimulai. Cerita percintaan nan tidak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan cinta kasih antara Soekarno (presiden pertama Republik Indonesia) dengan para istrinya atau Habibie (presiden ketiga Republik Indonesia) dengan Ainun.
Seorang perawat Belanda bernama Everdina Broering nan sukses membuat dr. Soetomo melabuhkan hatinya. Berawal dari perjumpaan pada tahun 1917 di salah satu rumah sakit di Blora , Jawa Tengah. Dr. Soetomo ditugaskan di loka tersebut setelah sebelumnya berada di Lubuk Pakam, Sumatera Timur. Adapun, Everdina diperbantukan di rumah sakit di Blora sebagai tenaga perawat nan ketika itu sangat minim.
Ketertarikan dr. Soetomo kepada Everdina dimulai dari kesan pertama nan mengesankan. Ketika itu, ia melihat sosok Everdina nan berparas cantik dan memiliki tutur kata lembut dan sopan. Walaupun bertubuh kurus dan berwajah pucat, tapi tidak membuat pesona keanggunannya menjadi pudar.
Kekaguman dr. Soetomo terhadap sosok Everdina berubah menjadi simpati saat mengetahui kisah hidupnya. Tubuh kurus dan paras pucat Everdina ternyata disebabkan perempuan tersebut sedang mengalami duka mendalam atas kehilangan suami tercintanya nan belum lama meninggal dunia.
Kemurungan perawat jelita itu kemudian mendorong dr. Soetomo buat berbuat sesuatu nan bisa mengembalikan kegembiraan dalam hidupnya. Akhirnya, mereka berdua bergaul akrab nan kemudian berkembang menjadi sepasang kekasih nan saling mencintai.
Percintaan antara dr. Soetomo dengan Everdina semakin lengkap saat mereka memutuskan buat menikah. Walau banyak komentar miring menanggapi pernikahan salah satu tokoh konvoi Indonesia dengan perempuan dari negeri Belanda itu, tidak mengurangi tekad dr. Soetomo buat mempersunting Everdina.
Keputusan dr. Soetomo ternyata tak keliru. Everdina membuktikan bahwa dirinya memang layak buat menjadi istri dari seorang tokoh pergerakan. Bukan hanya tidak menjadi beban, Everdina juga turut andil dalam membantu perjuangan suaminya meraih kemerdekaan Indonesia dari Belanda, nan notebene ialah negeri kelahiran Everdina.
Begitu mendalamnya cinta dr, Soetomo kepada istrinya tersebut, tampak jelas saat Everdina meninggal global pada 17 Februari 1934 sebab sakit nan telah lama diderita. Ketika itu dengan hati hancur, dr. Soetomo menulis dan membacakan pidato di prosesi pemakaman Everdina. Pidato nan hingga saat ini dikenang sebagai salah satu tulisan cinta terindah dan sangat menyentuh hati.
Semenjak meninggalnya Everdina, dr. Soetomo memutuskan tak menikah lagi hingga akhir hayat menjemputnya, empat tahun kemudian (1938). Kisah kisah cinta antara mereka berdua pun jadi panutan bagi siapa saja nan mendamba cinta sejati. Cinta nan dibawa hingga mati.