Ringkasan Cerita Malin Kundang

Ringkasan Cerita Malin Kundang

Mengembangkan kompendium cerita apapun memang tidak salah, termasuk mengembangkan ringksan cerita Malin Kundang agar lebih sinkron dengan kekinian. Namun buat mengembangkan kompendium Kisah Malin Kundang ini harus tetap mengacu pada alur nan sebenarnya. Mengembangkan cerita tradisional nan settingnya pada puluhan tahun lalu, akan menjadi tetap upto date dengan sentuhan kekinian. Hal ini tentu saja dapat mengatasi rasa bosan membaca cerita Malin Kundang nan sebenarnya. Mengembangkan cerita Malin Kundang menjadi sebuah cerita nan berbeda. Namun sebelum mengubah, baiknya Anda membaca terlebih dahulu kompendium cerita Malin Kundang nan sebenarnya.

Mengembangkan kompendium cerita Malin Kundang dan cerita-cerita klasik lainnya bukan sesuatu nan salah, sepanjang tetap mengacu pada alur nan sebenarnya. Kisah-kisah klasik termasuk juga kisah-kisah sejarah, sekarang ini telah banyak ditulis dan dikishakan dengan teks modern. Dengan demikian nilai-nilai luhur dalam cerita klasik atau kisah sejarah itu semakin terserap oleh generasi muda nan tidak bahagia membaca langsung kisah cerita klasik atau kisah sejarah lainnya. Dan nampaknya penulisan seperti ini telah sukses menghidupkan kisah klasik atau kisah sejarah itu. Novel-novel seperti ini termasuk nan laris manis. Hal nan sama dapat dilakukan terhadap kisah Malin Kundang.

Sebagai contoh beberapa novelis nan telah sukses menuliskan kisah sejarah dengan teks modern misalnya saja E. Rokajat Asura, Langit Krisha Hadi, Hermawan Aksan dan novelis lainnya. E. Rokajat Asura nan lahir dan besar di tanah Sunda misalnya telah sukses membuat novel sejarah dengan teks modern, antara lain dwilogi Prabu Siliwangi dan Harisbaya Bersuami Dua Raja. Dwilogi Prabu Siliwangi termasuk novel best seller, sehingga semakin meyakinkan bahwa mengembangkan atau menulis cerita klasik, kisah sejarah, dengan teks modern sangat memungkinkan, hal nan sama dapat dilakukan buat mengembangkan kompendium cerita Malin Kundang.



Ringkasan Cerita Malin Kundang

Malin kundang ialah seorang pemuda nan bosan hayati miskin di kampungnya. Sejak kecil ia telah menjadi yatim, ayahnya nan pergi berlayar tak ada kabar warta dan diduga telah tiada. Malin Kundang berniat mengubah nasib dengan merantau ke negeri seberang meninggalkan kampung halamannya. Sang ibu melepas dengan berat hati. Ia menumpang sebuah kapal besar nan akan berlayar ke negeri seberang. Sampai di sini sebenarnya plot cerita sangat terbuka buat dikembangkan dan ditulis ulang dengan teks modern. Tentu saja telah dikondisikan dengan berbagai atribut kekinian, namun tetap pada alur dan pesan moral dari cerita aslinya.

Di tengah lautan, kapal nan ditumpangi Malin Kundang diserang bajak laut. Sebagian besar penumpang dibunuh oleh para bajak bahari tersebut. Beruntung, Malin Kundang menemukan loka persembunyian sehingga lolos dari tragedi berdarah di tengah bahari itu.

Sesampainya di daratan, Malin Kundang menceritakan tragedi berdarah nan menimpa kapalnya. Ia ditolong oleh penduduk sekitar. Malin Kundang menetap di sana. Ia bekerja keras sampai akhirnya menjadi saudagar nan kaya raya dan menikahi perempuan cantik jelita.

Suatu hari, Malin Kundang dan istrinya pergi berlayar. Negeri nan dikunjungi ternyata kampung halamannya sendiri. Ibu Malin Kundang gembira sekali melihat anak nan ia kira telah tiada. Namun ketika melihat ibunya, Malin Kundang malah mendorong sang ibu, menolak pengakuan ibunya. Ibu Malin Kundang konfiden bahwa saudagar gagah nan tengah berlabuh ialah anaknya. Ada bekas luka di tangan Malin Kundang dampak kecelakaan kecil di masa kanak-kanaknya. Perubahan tabiat dari Malin Kundang seperti dalam kompendium cerita Malin Kundang ini, memang sesuatu nan galib terjadi pada etnis manapun. Peribahasa kacang lupa pada kulitnya, semakin menegaskan bahwa kehidupan global begitu gampang membuat orang lupa pada keadaan sebelumnya, sengaja melupakan masa lalunya nan pahit, melupakan orang-orang nan merupakan bagian dari dirinya sendiri tapi telah berbeda keadaanya dan lain sebagainya. Inilah salah satu keunggulan cerita klasik, yakni mengangkat tema nan universal sehingga senantiasa cocok diterapkan pada peradaban sesudahnya.

Ibu Malin Kundang terluka, ia mengucap sumpah. Jika sahih saudagar kaya itu Malin Kundang, maka maka ia akan menjadi batu. Sumpah sang ibu terkabul. Malin Kundang berubah menjadi batu dalam posisi sedang bersujud mohon ampun. Ini juga kisah nan menarik bagaimana hukum karena dampak terjadi di alam fana ini. Hanya saja tak selamanya hukum karena dampak itu berpihak pada nan benar. Di global ini hukum karena dampak tetap terjadi, namun misalnya lebih banyak berpihak kepada nan salah, sehingga pihak nan sahih akan tetap menderita berkepanjangan. Dalam konteks ini, penderitaan pihak nan sahih itu kemudian dibenarkan sebagai bagian dari ujian dari Yang Maha Kuasa.

Itulah kenapa cerita-cerita klasik seperti kompendium cerita Malin Kundang ini selalu menarik buat diceritakan ulang, lalu diberi penafsiran nan berbeda sehingga terasa unsur kebaruannya. Namun demikian sekalipun diberi penafsiran nan berbeda, jangan sampai lari dari alur nan sebenarnya agar jangan sampai terjadi salah tafsir terhadap cerita nan sesungguhnya. Kenapa Malin Kundang menjadi batu atau dikutuk menjadi batu misalnya, masih perlu mendapatkan penafsiran. Dapat saja batu di loka ini ditafsirkan sebagai sesuatu nan keras, keras kepala, keras hati dan lain sebagainya. Sehingga ketika ibu Malin Kundang nan mengutuk anaknya menjadi batu, ketika akan diceritakan dengan teks modern, dapat diberi penafsiran nan lebih kaya.

Variasi Cerita

Berbagai perubahan bisa Anda lakukan pada kompendium cerita Malin Kundang agar menjadi cerita nan baru. Misalnya dengan mengubah bagian akhir cerita, seperti sang ibu nan ternyata salah orang.

Anda juga bisa membalik kisahnya di mana Malin Kundang lah nan mengutuk sang ibu menjadi batu. Atau cerita Malin Kundang dapat Anda untuk logis, dengan menceritakan kisah seorang pemuda nan sering memahat batu serupa orang sujud di tepi pantai.

Hanya saja perubahan-perubahan nan Anda lakukan mungkin saja tak akan langsung disukai pembaca. Maka dari itu, Anda harus pandai-pandai mengemas cerita, sehingga kisah Malin Kundang nan diubah lebih menarik daripada cerita Malin Kundang nan telah biasa orang dengar atau baca. Dengan memperhatikan hal-hal primer dari kompendium cerita Malin Kundang ini akan terhindari dari salah tafsir sehingga menyebabkan pembaca merasa 'dikhianati'. Kalau niatnya menjadikan cerita klasik itu semakin kaya warna, semakin sinkron dengan kekinian, semakin menarik dalam penceritaaan dan penafsiran, memang bukan sesuatu nan keliru. Seperti telah dilakukan oleh beberapa novelis nan menulis kisah sejarah, memberikan sentuhan, memberikan unsur kebaruan, termasuk juga memberikan penafsiran pada alur sejarah itu sendiri dengan tetap bertitik tolak dari keinginan buat menumbuh suburkan nilai-nilai luhur sejarah itu sendiri. Hal nan sama kenapa tak dilakukan pada ringkasa cerita Malin Kundang misalnya.

Hal lain nan harus diingat ketika akan mengembangkan kompendium cerita Malin Kundang ialah keberpihakan. Keberpihakan penulis pada kisah klasik tersebut dengan tetap memegang teguh tradisi, nilai-nilai moral dan hal lainnya nan bersifat mengikat kepada kompendium cerita Malin Kundang itu sendiri. Misalnya saja tentang latar belakang budaya dimana cerita ini berkembang. Dapat saja tetap dipertahankan dengan mengangkat latar belakang budaya loka cerita itu berasal tapi dalam sentuhan kekinian, dalam konteks alam modern sehingga unsur kebaruannya pun makin kental.