Kesuksesan Kompetisi Dalam Negeri Mempengaruhi Prestasi Timnas
Membaca dan mengamati warta sepak bola Indonesia selalu membuat kita mengelus dada. Betapa tidak. Di usia nan nisbi “matang” (kalau menghitung dari kelahiran PSSI 19 April 1930), prestasi nan diraih cenderung semakin turun dan memprihatinkan.
Jangankan berbicara di kawasan dunia, di kawasan Asia Tenggara saja prestasi sepakbola Indonesia semakin terpuruk. Padahal di penghujung 1990-an sepakbola kita masih cukup disegani, minimal di kawasan Asia Tenggara. Jangan dibandingkan dengan keberhasilan tim PSSI nan pada tahun 1938 sudah berlaga di Piala Dunia!
Berita sepakbola Indonesia nan menghiasi media massa atau elektronik selalu didominasi kerusuhan antar-suporter atau antar-pemain. Aroma ketidakpuasan suporter dan pengurus klub sepakbola nan menganggap pengurus PSSI berlaku kurang adil, tuduhan wasit nan sering mengatur hasil pertandingan atau lebih dikenal “mafia wasit” menjadi hal nan biasa kita baca atau saksikan di surat kabar atau televisi.
Sepak bola merupakan olahraga nomer satu di tanah air, rakyat Indonesia tak dapat dipisahkan dari olahraga nan dimainkan oleh 22 pemain di lapangan hijau. Sepertinya sepak bola sudah menjadi napas bagi sebagian maniak bola. Kemana pun mereka pergi dan beraktivitas akan berbicara masalah bola, baik itu warta bola dari dalam negeri dan luar negeri khususnya nan berasal dari benua Eropa.
Sayang minat masyarakat nan begitu besar ini tak bisa diwadahi oleh para pengurus dan pejabat di PSSI, mereka para pejabat hanya berpikir tentang laba sendiri dan golongan. Lihat saja kasus dibekukannya PSSI dan ketidakberdayaan klub buat menentang mereka. Kasus korupsi nan membudaya kini menjalar ke ranah sepak bola, olahraga nan semestinya simbol dari sportivitas dan kejujuran kini dimanipulasi oleh segelintir orang buat mendapatkan laba sesaat.
Carut-Marut Sepak Bola Indonesia
Sepak bola ialah olahraga nan paling digemari di Indonesia. Dalam kondisi nan masih carut-marut seperti sekarang saja, para penonton masih berjubel memenuhi stadion apabila tim kebanggaannya bertanding.
Di Indonesia, saat ini nan menjadi kompetisi resmi buat pertandingan sepakbola dibagi menjadi beberapa kompetisi. Kompetisi paling tinggi bernama Perserikatan Super Indonesia. Sedangkan kompetisi di bawahnya bernama Perserikatan Utama. Berikutnya ialah Perserikatan Divisi Satu dan Divisi Dua.
Liga Super Indonesia merupakan format baru kompetisi sepakbola nan mengacu pada tata peraturan FIFA sebagai badan sepakbola paling tinggi di dunia. Diselenggarakan pertama kali pada awal 2008 dan diikuti minimal 18 klub sepakbola, kompetisi ini diharapkan berlangsung profesional serta tanpa donasi dana dari APBD pemerintah daerah loka klub tersebut berada.
Pada kenyataannnya, masih banyak tim Perserikatan Super Indonesia nan tetap memakai dana APBD tapi dengan “bahasa lain”. Sebuah bertentangan dengan harapan nan memprihatinkan. Demi gengsi nan sangat tinggi, Perserikatan Super Indonesia telah menumbuhkan korupsi bentuk baru!
Sebuah klub nan berlaga di Perserikatan Super Indonesia dapat menghabiskan dana puluhan milyar buat berlaga. Bahkan demi gengsi, setiap klub berani membayar tinggi pemain asing hingga milyaran rupiah dengan memakai uang rakyat. Soal prestasi? Jangan berharap banyak!
Di level klub pun tim-tim Perserikatan Super tak mampu unjuk gigi di level Asia Tenggara, apalagi Asia. Bukan hanya di level Perserikatan Super Indonesia nan katanya sudah profesional. Di tim kasta di bawahnya, Perserikatan Divisi Primer pun terjadi penggunaan uang APBD nan tak dipertanggungjawabkan dengan benar.
Penggunaan uang APBD tersebut cenderung jor-joran, hanya buat prestasi instan skala nasional. Apalagi tim Divisi Primer kebanyakan diisi oleh klub nan dikelola oleh pemerintah daerah nan mengutamakan gengsi kedaerahan atau gengsi pribadi sang bupati atau walikota daerah bersangkutan.
Puncak carut-marut ini terjadi pada Perserikatan Super Indonesia periode 2009-2010 nan menghasilkan kampiun klub Arema dari Malang. Terjadi kekisruhan antara klub dengan pengurus PSSI. Klub besar seperti Persija dan Persebaya sampai melakukan mogok bertanding sebab kecewa dengan keputusan PSSI nan dianggap sangat merugikan.
Angin segar dibawa oleh beberapa pengusaha dan pecinta sepakbola nan merasa prihatin dengan kondisi sepakbola nasional nan tak menentu. Dipimpin oleh seorang pengusaha besar Arifin Panigoro, mereka merencanakan sebuah kompetisi nan benar-benar profesional.
Klub diharamkan memakai dana APBD. Untuk mengatasi kesulitan di awal sebab masalah dana, klub akan diberi pinjaman dana buat berkompetisi sembari dicarikan bapak asuh.
Suatu gagasan nan mulia. Semoga dengan adanya banyak kompetisi, akan terjadi persaingan nan sehat. Sayangnya, ide cemerlang ini mulai diganjal oleh pengurus PSSI sendiri. Kursi empuk dan kenikmatan nan dimiliki dengan memanfaatkan kekuasaan serta kelemahan klub-klub sepakbola telah membutakan para oknum pengurus PSSI.
Padahal kalau mereka memandang dengan hati jernih, hadirnya kompetisi alternatif akan membawa akibat nan sangat positif. Akan terjadi persaingan nan sehat, sehingga warta sepakbola Indonesia tak melulu berisi hal nan negatif dan nol prestasi.
Kesuksesan Kompetisi Dalam Negeri Mempengaruhi Prestasi Timnas
Kompetisi atau perserikatan nan penuh dengan persaingan dan bebas dari unsur negatif akan melahirkan generasi sepak bola nan unggul. Para pecinta bola tentu akan tersenyum saat mengenang kesuksesan para pemain timnas era 90-an nan menyabet banyak gelar dan penghormatan. Dengan kondisi perserikatan Indonesia nan terpuruk ini jangan bermimpi besar prestasi timnas bisa mengalahkan para pendahulu mereka.
Garang dalam kompetisi lokal akan ganas saat masuk timnas, itulah nan diharapkan oleh para maniak bola kepada pengurus PSSI nan menjabat. Gelarlah sebuah kompetisi nan bebas dari kepentingan individu dan kelompok, bekerja dan berkorbanlah buat kemajuan sepak bola nasional.
Kompetisi di Eropa nan sangat sengit dan meriah juga berdampak positif kepada para pemain nan merumput di sana. Timnas Spanyol nan sukses menyabet dua gelar paling bergengsi di global sebagai fakta nan tidak bisa dielakkan. Timnas Spanyol nan beranggotakan para pemain profesional ternyata lahir dari kompetisi La Perserikatan nan sangat ketat. Pemain nan tak mampu mengembangkan skill dan kemampuannya terpaksa harus turun divisi.
Sebaliknya pemain nan berbakat dan bekerja keras buat meningkatkan peforma permainannya akan mendapatkan banyak keuntunga dan hadiah. Vonis dan reward merupakan cara antik nan sampai saat ini manjur buat menghasilkan pemain nan terbaik. Kasus gaji pemain nan banyak melanda tim di perserikatan Indonesia semakin memberikan gambaran negatif kepada para pemuda penerus masa depan bola. Mereka akan berpikir ulang buat serius dalam meniti karir di sepak bola, karena ternyata hayati sebagai pemain bola tidaklah seindah dan seenak pemain di Eropa.
Sudah saatnya persepakbolaan nasional berbenah diri, mulai dari level terbawah hingga para petinggi di PSSI. Menggelar sebuah kompetisi dan pembinaan nan berkualitas dan berkelanjutan buat mewadahi minat besar para pecinta bola di tanah air. Pembinaan para pemain dimulai semenjak dini, agar saat remaja mereka telah menguasai teknik dasar bermain bola dengan sahih dan sempurna. Pendidikan tentang sportivitas juga harus senantiasa ditanamkan kepada para pemain muda, agar saat mereka melangkahkan kaki di global profesional telah siap secara fisik dan mental.