Tenaga Kerja Indonesia di Arab - Pandangan Islam tentang Perbudakan

Tenaga Kerja Indonesia di Arab - Pandangan Islam tentang Perbudakan

Seorang tenaga kerja bisa didefinisikan sebagai: "Seseorang dalam semacam pelayanan, berada di bawah setiap kontrak sewa, tersurat maupun tersirat, lisan atau tertulis, majikan memiliki kekuasaan atau hak buat mengendalikan dan mengarahkan tenaga kerja dalam rincian bahan tentang bagaimana pekerjaan itu harus dilakukan."

Tenaga kerja dengan demikian, merupakan elemen nan menghadirkan suatu aktivitas pekerjaan, nan dilindungi oleh hukum, dan mereka berkerja di bawah suatu tatanan dan keteraturan sosial. Posisi tenaga kerja sering digambarkan terhormat. Karena mereka merupakan kelas sosial pejuang nan memberikan pelayanan pula kepada kemajuan negara. Tingkat hayati negara nan lebih baik.

Oleh sebab itulah negara nan berhasil ialah negara nan mampu memanusiakan tenaga kerjanya. Sebaliknya negara berantakan ialah negara nan membuat tenaga kerjanya bagai dalam sapi perahan, sehingga kebanyakan tenaga kerja nan paling bagus lari dari negara itu (walau itu negara kelahirannya) buat mencari penghidupan nan lebih baik di negara orang lain.

Berkaitan dengan pendapat bahwa tenaga kerja ialah kelas sosial nan seharusnya menempati posisi terhormat dalam suatu negara bangsa nan demokratis, sebab mereka pula disibukkan buat beraktivitas pada sektor-sektor loka pundi-pundi pembangunan mengalir. Tanpa adanya peran serta tenaga kerja, maka pembangunan macet.

Oleh sebab itulah terkadang suatu negara perlu pula merumuskan apa nan terbaik kepada tenaga kerja berkaitan dengan rekanan sosialnya dengan kelas nan lain. Semisal kelas pegawai negeri sipil, kelas pegawai negeri militer/polisi, kelas para teknokrat dan professionalis/profesi/dokter, akademisi/guru, agamawan dan politisi, kelas petani nelayan, serta para pemilik modal.

Harus berada di tengah antara satu dengan nan lain, sebab secara tak langsung pula kelas pekerja (para tenaga kerja) menyediakan bonus kepada kelas lainnya, di antara lain, dari sektor pajak kepada kelas pegawai negeri sipil, kelas pegawai negeri militer/polisi, kelas para teknokrat professionalis profesi, akademisi/guru.

Insentif langsung pelayanan jasa kepada kelas pegawai negeri sipil/militer, kepada kelas teknokrat professional, akademisi/guru, bahkan bonus langsung kepada politisi. Tenaga kerja berhubungan dengan profesi-profesi itu.



Hubungan Tenaga Kerja - Pengusaha dalam Profesi

Para sarjana telah lama dan bersusah payah mencari serta menemukan konsep interaksi kerja di masa modern ini dengan berbagai cara. Utamanya ialah cara buat mempertemukan antara tenaga kerja dengan penyewanya. Anggapan primer ialah sejauh mana interaksi kerja harus memasukkan konflik kepentingan antara pengusaha dan tenaga kerja, dan bagaimana bentuk konflik tersebut dapat dipahami.

Dalam pembuatan teori ekonomi, pasar tenaga kerja menengahi semua konflik tersebut sehingga pengusaha dan tenaga kerja nan masuk ke dalam interaksi kerja diasumsikan menemukan posisi mereka sendiri pada ejawantah kepentingan pribadi.

Dalam pembuatan teori manajemen sumber daya manusia, pengusaha dan tenaga kerja diasumsikan memiliki kepentingan bersama (atau kesatuan kepentingan, maka label "unitaris"). Setiap konflik nan ada dipandang sebagai manifestasi dari kebijakan nan miskin manajemen.

Pengelolalan sumber daya manusia (para tenaga kerja) nan galat atau friksi antar manusia seperti konflik kepribadian, atau keduanya seharusnya bisa dikelola. Dan oleh karenanya konflik kepentingan dapat mendapatkan titik temu nan sama-sama suka. Karena tujuan dari mereka nan berkerja kepada seseorang ialah kontinuitas gaji, nan itu dapat didapatkan ketika produknya bagus dan sukses.

Dari perspektif interaksi industrial pluralis, interaksi kerja ditandai oleh pluralitas stakeholder dengan kepentingan melalui jalur saham, (maka itulah dilabeli "pluralisme), dan beberapa konflik kepentingan dianggap inheren dalam interaksi kerja (misalnya, upah vs keuntungan).

Mereka nan berada dalam koorporasi pluralis, akan menghadapi tenaga kerja bagai menghadapi kapital fluid. Karena begitu singkat rasa memiliki para pemilik saham, nan tak tradisionalis merasa memiliki perusahaan kecuali dari laba nan di hasilkan.

Paradigma kritis menekankan konflik berlawanan kepentingan antara berbagai kelompok (misalnya, kapitalis bersaing dan kelas tenaga kerja dalam kerangka Marxis) nan merupakan bagian dari konflik sosial nan lebih dalam interaksi kekuasaan nan tak setara.

Sang pemilik kapital tak sepenuhnya bersikap sewenang-wenang hanya sebab memiliki modal, sebab kapital itu sendiri bersifat lebih sosial, tak pernah jelas kepemilikan kecuali semua sama-sama menjadi pengguna, pendayaguna dari negara. Oleh karenanya kepemilikan sosial nan kelak akan membawakan konflik hak milik begitu diharamkan dalam prinsip marxis ini.

Orang berkerja di bawah tekanan pemilik modal, katakan saja para tenaga kerja, padahal nan namanya kepemilikan hanyalah suatu prinsip psikologis, suatu prinsip kontrak sosial nan dapat saja dibatalkan bila terjadi kesewenang-wenangan dari mereka nan merasa berkuasa sebab kekayaan mereka.

Untuk itulah, di manapun marxisme berada, musuh primer mereka, musuh bebuyutan mereka ialah kaum pemilik kapital nan berlagak feodalis, merasa bangsawan dan raja, menindas para tenaga kerja nan seolah tidak berdayaupaya.

Bila dikategorikan secara singkat, maka pemahaman tentang bagaimana tenaga kerja hadir di lingkungan mereka sendiri dengan tatanan sosialnya terdiri dari empat perihal sudut pandang.

  1. Mainstream ekonomi: kerja dipandang sebagai transaksi nan saling menguntungkan dalam pasar bebas antara kepentingan pribadi hukum dan ekonomi.
  1. Manajemen Sumber Daya Manusia (unitaris): kerja ialah kemitraan jangka panjang antara tenaga kerja dengan pengusaha, dengan kepentingan generik nan menjadi tujuan bersama di antara mereka.
  1. Hubungan Indistrial Pluralis: kerja ialah pertukaran menawar antara stakeholder dengan beberapa kepentingan generik dan beberapa kepentingan ekonomi bersaing dan daya tawar nan tak setara, sebab pasar tenaga kerja nan tak sempurna.
  1. Hubungan Industrial Kritis: tenaga kerja berkaitan dengan rekanan kekuasaan nan tak setara dikarenakan kesempatan nan diperoleh para pemodal lebih kepada warisan sosial masa lampau nan dipenuhi mitos feodalistis, mengakibatkan adanya ketidakadilan sistemik di seluruh sistem sosial-politik-ekonomi.

Model ini di atas itu krusial buat membantu mengungkapkan mengapa individu memegang perspektif nan berbeda pada kebijakan manajemen sumber daya manusia, perkumpulan buruh, dan pengaturan kerja dalam upayanya buat mendudukan tenaga kerja sebagai pihak nan berkepentingan.

Sebagai contoh, kebijakan manajemen sumber daya manusia dipandang didikte oleh pasar dalam kepentingan penjualan dan kapitalisme, prosedur buat menyelaraskan kepentingan tenaga kerja dan majikan dengan demikian akan menciptakan perusahaan nan menguntungkan dalam tampilan kedua yakni masuknya suatu disiplin kerja kontrak (pada akhirnya rekayasa bersama tentang makna kontrak oleh para pemodal melalui UU).

Karena tak cukup buat mengejar keuntungan, maka buat kepentingan tenaga kerja dan perusahaan akan muncul dalam tampilan ketiga yakni ketika tenaga kerja sudah menjadi alat kerja nan tak krusial (pada UU mereka di kontrak lepas atau outsource , tak memiliki agunan kontinuitas dan agunan sosial di amsa depan), sehingga menjadi alat manajerial manipulatif buat membentuk ideologi dan struktur loka kerja nan mengakibatkan ada rasa kritis sebagaimana nan ditampilkan pada sudut pandang keempat.

Sudut pandang lainnya yakni Komunisme Marxis, menata ulang hirarki nan menunjukkan bahwa seluruh warga masyarakat, terlepas dari disparitas individu, ialah pemilik nan sama dan dengan demikian berhak atas bagian nan sama dari kekayaan masyarakat. Tidak ada istilah tenaga kerja nan "dipekerjakan" dengan alasan bukan pemilik.

Namun nan menjadi dilema, tentu saja jika Anda mendukung prinsip kebersamaaan komunisme marxis, Anda akan kehilangan motivasi buat bekerja. Bukankah menjadi tenaga kerja bertujuan buat menjadi kaya, memiliki kapital sendiri, sawah sendiri?



Tenaga Kerja Indonesia dan Konkurensi Budaya Negara Arab

Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) nan kerap menerima siksaan atau pelecehan dari majikannya di negara-negara Arab ialah permasalahan nan seakan tak lekang oleh waktu. Negara ita bagaikan memproduksi tenaga kerja buat diekspor ke global Arab, tanpa memedulikan keselamatan kerja mereka.

Konon, sudah berbagai cara dilakukan oleh pemerintah buat melindungi tenaga kerja di luar negeri. Sampai-sampai, pada 2011, pernah SBY, Presiden Indonesia saat itu mengeluarkan pernyataan akan memberikan telepon genggam sebagai kelengkapan bagi para tenaga kerja indonesia nan berada di luar negeri.

Tujuannya, agar para tenaga kerja di luar negeri bisa menghubungi konsulat jenderal atau nomor darurat lain jika terjadi apa-apa. Namun, keputusan memberikan telepon tersebut dapat dikatakan hanyalah keputusan reaktif.

Pemerintah semestinya melihat bahwa masalah penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia nan terjadi sepanjang waktu bukan hanya masalah biasa. Perlakuan kasar terhadap tenaga kerja Indonesia di global Arab, mau tak mau, harus diakui sebagai bentuk benturan budaya nan berbeda, antara budaya Arab dan budaya Indonesia. Dalam hal ini, nan perlu digarisbawahi, tak semua budaya Arab sama dengan budaya Islam.

Terdapat batas-batas nan tak dapat dicampurkan antara budaya Arab hasil bentukan zaman jahilyah (kebodohan) nan masih bertahan hingga saat ini; dengan budaya Islam nan dibawa Nabi Muhammad. Pelecehan terhadap tenaga kerja Indonesia ialah bentuk Norma masyarakat setempat, nan tak sinkron dengan kaidah-kaidah dalam Islam.



Tenaga Kerja Indonesia di Arab - Pandangan Islam tentang Perbudakan

Islam hadir di tengah masyarakat Arab nan dipenuhi dengan tabir "kebodohan". Kebodohan di sini bukan berarti bodoh dalam artian harafiah, melainkan bodoh dalam arti kesesatan pikir. Masyarakat Arab, terutama di daerah Mekkah, terlalu berfokus kepada harta.

Misalnya, mereka membangun berhala demi berhala hingga sejumlah 360 di sekitar Kakbah (melambangkan 360 hari) salah satunya buat mengeruk uang dari para peziarah Kakbah nan datang dari seluruh jazirah Arab.

Dengan dibuatnya berhala eksklusif buat suku tertentu, para kepala suku di Mekkah mendapatkan laba pribadi. Masyarakat Mekah juga terbiasa buat menggencet suku-suku lemah sesuka hati, hal nan sebenarnya sudah merusak kode etik nan ditetapkan leluhur suku-suku tersebut.

Penghargaan terhadap perempuan sangat rendah. Perempuan dianggap sebagai "orang kedua" nan harus tunduk patuh pada kemauan pria: pelecehan seksual terhadap janda ialah hal lumrah dan tak dilarang, memberikan istri kepada sahabat atau orang lain demi mendapatkan keturunan diperbolehkan, meskipun lagi-lagi tak sinkron dengan kode etik masyarakat sebelumnya. Sikap nan sama juga ditunjukkan kepada budak, tenaga kerja nan dapat dipaksa berbuat apa pun sebab sang pemilik menguasainya dengan harta.

Islam datang di tengah kemerosotan budaya seperti ini. Cikal-bakal keagungan Islam sendiri sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum Muhammad dijadikan Nabi. Pada usia 25 tahun, Muhammad membentuk kelompok "Akhdar" nan berkonsentrasi buat menegakkan keadilan terhadap mereka nan dilemahkan masyarakat: wanita, anak-anak, dan suku kecil.

Ada prinsip dari kelompok Akhdar nan begitu mulia. Mereka tak akan berhenti berjuang sebelum penindasan berakhir. Kelak, hal ini lebih ditekankan lagi ketika Islam hadir. Wanita diberi kehormatan lebih dalam Islam. Mereka diberi hak buat menyuarakan pendapat, salat berjamaah di masjid, dan berperan serta dalam pertumbuhan Islam. Demikian pula dengan budak.

Pada masa Nabi Muhammad memang masih ada perbudakan. Namun, nan harus dilihat adalah, tak mungkin seseorang melakukan lompatan besar dengan melenyapkan hal-hal lama dengan menggantinya begitu saja dengan hal baru. Kalau nan dipilih ialah cara demikian, nan terjadi ialah kehancuran meski niatnya ialah menuju kebaikan.

Dalam kasus perbudakan, hal inilah nan diterapkan. Budak nan sering dianggap sebagai tenaga kerja paksa, dimuliakan derajatnya dalam Islam. Rasulullah menyebutkan bahwa sesama muslim bersaudara, tak ada nan lebih tinggi atau lebih rendah.

Demikian pula antara majikan dan budak. Meskipun majikan secara budaya berhak memperlakukan hal ini dan itu nan merendahkan budak, Nabi menanamkan prinsip sebaliknya. majikan harus tetap memperlakukan budak dengan baik, kalau perlu mengangkat derajatnya agar setara.

Beberapa hadist mengindikasikan pesan ini, termasuk hadis berikut.

" Perlakukan buruhmu (tenaga kerja/ budak) dengan tindakan menyenangkan; beri mereka (para pekerja) makanan seperti nan kau makan; beri mereka baju nan sama dengan baju nan kaukenakan. Jika mereka (para tenaga kerja) tak memuaskanmu, merdekakanlah dia; dan janganlah kamu termasuk orang nan menghukum sesama makhluk Allah ."



Tenaga Kerja Indonesia di Arab - Susahnya Mengikis Budaya Arab Zaman Lampau

Kalau Islam sudah menegaskan pentingnya penghormatan terhadap tenaga kerja, mengapa kejahatan masih dapat dilakukan terhadap tenaga kerja kita di Arab? Kita harus melihatnya dari dua sisi, baik dari sisi kekurangan tenaga kerja kita, maupun dari kekurangan masyarakat Arab.

Kalau dari sisi kekurangan tenaga kerja dari Indonesia, biasanya tenaga kerja tersebut kurang dibekali dengan pengetahuan nan baik tentang budaya Arab. Mungkin saja para tenaga kerja sudah diberi pelatihan kerja atau pelatihan bahasa. Namun, dengan pelatihan nan cukup singkat, dapat saja keadaan di Arab 100% berbeda dengan keadaan di saat pelatihan.

Akibatnya, para tenaga kerja terlihat bodoh di depan para majikan dari bangsa Arab. Mereka gagap atau lambat bekerja sehingga membuat sang majikan kesal. Belum lagi jika terjadi masalah dalam beradaptasi dengan lingkungan setempat.

Tenaga kerja kita nan terbiasa dengan budaya di Indonesia nan cenderung lunak, cuaca nan tak ekstrem, dan segala laba lain, dapat saja mengalami gangguan ketika menghadapi cuaca nan paradoksal di tanah Arab dan budaya setempat nan keras. Akibatnya, tenaga kerja tersebut menjadi stres dan kehilangan gairah atau bekerja asal-asalan. Kalau hal ini nan terjadi, tentu cukup wajar jika majikan kesal dan membentak mereka sebab budaya Arab "mengizinkan" hal ini.

Namun, nan paling fatal dalam kasus penyiksaan tenaga kerja Indonesia, ialah pola pikir bangsa Arab nan menyamakan tenaga kerja dengan budak. Menyakitkan memang, bagaimana mungkin tenaga kerja di abad 21 masih dianggap sebagai budak. Masalahnya, budaya Arab memang demikian. Para majikan tersebut membeli tenaga kerja dan sudah memiliki asumsi: seperti layaknya budak, tenaga kerja Indonesia harus melakukan apa pun sinkron permintaan sang majikan.

Bersetubuh dengan budak ialah hal nan diperbolehkan dalam masyarakat Arab. Hal ini tentu bertentangan dengan budaya Indonesia dan budaya Islam. Majikan Arab tak akan merasa bersalah ketika ia meminta tenaga kerja kita melayani nafsu seksnya.

Apa pun argumen tenaga kerja kita, selama sang majikan tak mendapatkan kesadaran bahwa budak tak sama dengan tenaga kerja, bagi sang majikan, tindakan sang budak (tenaga kerja dalam pandangan kita) menolak interaksi seksual ialah pelanggaran kode etik kerja. Sementara, tentunya tenaga kerja kita tak layak mengikuti pola pikir majikan nan tak mau menyadari bahwa zaman sudah berubah.

Hal nan harus dilakukan pemerintah bukanlah memberikan telepon genggam kepada para pekerja, melainkan melakukan pendekatan budaya kepada pemerintah negara-negara Arab tentang pandangan berbeda tentang definisi budak dan tenaga kerja. Jika pendekatan ini tak dilakukan, dilengkapi dengan teknologi secanggih apa pun, tenaga kerja kita tetap tak akan mendapatkan keamanan bekerja di negara Arab.