Akibat dari Perjanjian Renville
Perjanjian Renville ialah salah satu perjanjian nan dilakukan oleh negara Indonesia dengan negara lain. Dinamakan Perjanjian Renville sebab perjanjian tersebut dilakukan di sebuah geladak kapal bahari nan bernama Renville. Kapal tersebut ialah kapal nan sebetulnya diperuntukan buat perang milik Amerika Perkumpulan nan kebetulan memang sedang berlabuh di Tanjung Priok.
Kapal Renville dipilih sebab dianggap sebagai loka nan paling netral pada saat itu. Kapal itu bukan miliki Indonesia dan juga bukan milik Indonesia sebagai kedua beah pihak nan memang berkepentingan pada waktu itu.
Perjanjian Renville ini dilakukan tepatnya pada 17 Februari 1948. Hari di mana dilakukan penandatanganan perjanjian tersebut. Tanda tangan nan dibubuhkan oleh delegas Indonesia dan juga delegasi dari Negara Belanda terhadap isi dari Perjanjian Renville tersebut.
Sebelum perjanjian tersebut disepakati, dilakukan perundingan terlebih dahulu terhadap apa nan akan menjadi isi dari kesepakatan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Perundingannya dilakukan mulai pada 8 Desember 1947. Negara nan bertindak sebagai pihak penengah, yaitu Komisi Tiga Negara (KTN). Tiga negara tersebut meliputi Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Perjanjian Renville ini digunakan buat mengakhiri gencatan senjata nan telah disepakati pihak Indonesia dan Belanda sebelumnya, yaitu pada 17 Agustus 1947. Perundingannya sendiri diusulkan oleh Komisi Tiga Negara dalam rangka penyelesaian persengketaan nan terjadi antara negara Indonesia dan Negara Belanda.
Perundingan ini dimulai sebab Belanda nan melancarkan serangan Militer Belanda I sebab adanya perselisihan paham dari pemerintahan Belanda dengan Indonesia terhadap isi Perjanjian Linggajati. Perjanjian mengenai pembagian kekuasaan ini ditanda tangani oleh pihak Indonesia dan Belanda pada 25 Maret 1947.
Latar Belakang Perjanjian Renville
Persengketaan nan melatar belakangi ditandatanganinya Perjanjian Renville ini ialah sikap pemerintah Belanda, Mereka menempatkan Indonesia sebagai sebuah negara persemakmurannya, sementara Pemerintah Indonesia sendiri justru tetap bersikukuh buat mempertahankan kemerdekaannya.
Untuk sepenuhnya lepas dari penjajahan dan dominasi Pemerintahan Belanda. Atas sikap Indonesia tersebut akirnya Pemerintahan Belanda nan saat itu berada di bawah komando Van Mook memberikan pengumuman bahwa Belanda sudah tak terikat lagi dengan Perjanjian Linggajati.
Tepat pada keesokan harinya, 21 Juli 1947, Belanda melakukan agresi militer nan terkenal dengan nama Serangan Militer Belanda I. Sebagai tindakan nan konkret bahwa mereka sudah tak mengindahkan isi Perjanjian Renville nan sudah disepakati tersebut. Wilayah nan menjadi tujuan dari agresi pasukan Belanda tersebut ialah Jawa dan Sumatra.
Hal ini dilakukan semata-mata buat mempersempit daerah kekuasaan Indonesia. Hasilnya Belanda sukses menguasai sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. Sedangkan buat wilayah Sumatra, Belanda sukses menaklukan wilayah sekitar Medan dan Palembang.
Strategi Belanda pada waktu itu cukup cerdik, mereka menjadikan kota-kota krusial atau kota-kota nan strategis wilayah kekuasaan Republik Indonesia menjadi atas kekuasaannya. Dengan begitu, Indonesia tak memiliki wilayah-wilayah strategis buat dijadikan markas besarnya dalam berjuang melawan Belanda. Dengan taktiknya ini membuat Belanda juga dengan mudah memproklamirkan kekuasaannya atas kota-kota krusial tersebut. Akibatnya, Indonesia meradang.
Isi Perjanjian Linggjati akhirnya tak berarti apa-apa. Pihak Indonesia tak diam saja dengan keadan ini. Salah satuya dengan menyetujui diadakannya perundingan Renville nan nantinya menghasilkan Perjanjian Renville tersebut.
Pasukan Republik Indonesia membalas agresi Belanda dalam Serangan militer I Belanda ini dengan menjalankan tatik grilya. Karena kegigihan pasukan republik Indonesia dalam melawan pasukan Belanda tersebut, akhirnya Pasukan Republik Indonesia sukses membatasi kekuasaan Pemerintahan Belanda.
Walaupun kota-kota besar sukses dikuasai Belanda, wilayah Indonesia lainnya sepenuhnya dikuasai oleh tentara Indonesia. Namun tetap saja, genjatan senjata ini dikecam oleh PBB sebagai organisasi nan membawa misi perdamaian dunia. Karena itulah akhirnya munculah ide buat dilakukannya perundingan Renville nan menjadi cikal bakal Perjanjian Renville.
Kecaman PBB ini akhirnya direalisasikan pada 1 Agustus 1947 dengan sidang nan dilakukan Dewan Keamanan PBB nan mendesak pasukan Belanda dan Tentara Indonesia buat menghentikan genjatan senjata tersebut.
Solusinya ialah menyarankan pihak Indonesia dan Belanda buat melakukan perundingan Renville nan menghasilkan Perjanjian Renville . Perjanjian nan diwakili oleh dua delegasi yaitu delegasi Indonesia dan Delegasi Belanda di atas kapal perang Renville milik Amerika Serkat sebagai salah satu anggota Komisi Tiga Negara.
Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo nan tiada lain ialah orang Indonesia nan memihak pada Belanda. Hasil perundingan Renville nan dilakuakn kedua delegasi ini menghasilkan sebuah kesepakatan nan dianamakan Perjanjian Renville.
Kesepakatannya dimulai dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville ini oleh wakil dari dua delegasi pada 17 Januari 1948 di atas kapal perang Renville milik Amerika Perkumpulan itu. Sebagai salah satu anggota dari Komisi Tiga Negara nan dibentuk oleh PBB.
Isi Perjanjian Renville
Perjanjian Renville ini berisi dua pasal. Pertama: Tentang pengakuan Belanda bahwa Jaea Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra dalah bagian dari wilayah Indonesa. Pihak Belanda dan Indonesia menyetujui dibuatnya sebuah garis demarkasi sebagai garis pemisah antara wilayah Indonesia dengan daerah pendudukan Belanda.
Pasal nan kedua, yaitu tentang penarikan mundur tentara-tentara Republik Indonesia dari daerah-daerah nan telah diduduki oleh pasukan Belanda. Dua pasal isi Perjanjian Renville nan disepakati oleh kedua delegasi dalam perang diplomasi tersebut.
Isi perjanjian ini banyak ditentang oleh orang-orang dari kalangan partai politik dan juga dari pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurut merea Perjanjian Renville tersebut merugikan pihak Indonesia, baik secara politik maupun militer.
Dikatakan demikan sebab dengan isi Perjanjian Renville tersebut, secara politik hasinya memperlihatkan kekalahan Indonesia dalam perjuangan secara diplomasi. Dari sisi militer, isi Perjanjian Renville ini membuat para anggota TNI justru harus meninggalkan wiayah nan menjadi daerah pertahanan mereka pada saat itu.
Akibat dari Perjanjian Renville
Bukannya situasi menjadi kondusif setelah Perjanjian Renville tersebut. Justru kondisi di Indonesia menjadi bertambah kacau. Kabinet Amir Syraifudin ditentang oleh dua partai besar yaitu Parta Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi. Penentangan itu membuat kabinetnya jatuh, hingga Amir syarifudin menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Januari 1948.
Puncak dari kekacauan Perjanjian Renville ini, Belanda melakukan agresi militer kembali pada 19 Desember 1948. Tepat satu hari setelah Belanda mengumumkan bahwa mereka tak terikat lagi pada isi Perjanjian Renville tersebut.
Pesawat Belanda melakukan pengeboman di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta, nan pada saat itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Tak hanya itu saja dampak dari Perjanjian Renville ini, Belanda juga menawan para pemipin Republik Indonesia mulai dari Presiden Soekarno dan wakilnya Moh. Hatta, Sutan Syahris, Moh. Roem, Agus. Salim, dan juga A.G. Pringgodigdo. Bahkan Presiden Soekarno diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka.
Untungnya sebelum ditawan, Presiden Soekarno memberi kuasa pada Syafruddin Prawiranegara nan pada saat itu sedang berada di Sumatra buat membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemerintahan darurat ini dibentuk di Bukit Tinggi tepatnya 22 Desember 1948.
Karena adanya PDRI ini pemerintahan Republik Indonesia bisa berjalan dengan normal buat menyelesaiakan urusan-urusan baik dalam negeri maupun luar negeri. Mulai dari urusan nan berkaitan atau nan tak berkaitan dengan isi Perjanjian Renville ini. Tentara Indonesia tak tinggal diam, mereka bergerilya ke luar kota di bawah pimpinan Jendral Soedirman nan ketika itu sedang sakit.
Seperti Serangan militer pertama nan dilakukan Belanda, Serangan Militer ke II mereka juga mendapa kecaman dari dunia. Beberapa diantaranya ialah India, Afganistan, dan Myanmar. Hasilnya dilaksanakanlah Konferensi Asia Afrika di New Delhi nan menghasilkan resolusi nan isinya ialah pembentukan pemerintah Add interim nan merdeka dalam perpolitikan luar negeri.
Selain itu, berisi perintah pada Belanda buat menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia. Mereka memberi batas waktu buat aplikasi resolusi tersebut, yaitu15 Maret 1949 buat pembentukan pemerintahan dan pada 1 Januari buat penyerahan kedaulatan. Hal ini dilakukan buat membenahi kekacauan dampak Perjanjian Renville semata.
Namun, Belanda memberi pernyataan bahwa mereka akan mengikuti resolusi tersebut jika ada campur tangan PBB. Akhirnya, Dewan Keamanan PBB lah nan mengeluarkan resolusi untk pengehentian permusuhan Indonesia dengan Belanda dan perintah buat penyerahaan kekuasan pada Indonesia dan membebasan para pemimpin Indonesia nan ditawan segai dampak dari tida dipatuhinya Perjanjian Renville.