Kisah Pernikahan Sunan Muria

Kisah Pernikahan Sunan Muria

Banyak dari kita nan tahu bahwa Sunan Muria merupakan salah satu anggota dari Wali Songo nan bertugas menyebarkan agama Islam di bumi Nusantara. Namun, mungkin belum banyak nan mengetahui riwayat hayati beliau. Oleh sebab itu, mari kita pelajari dan mengenal siapa dan bagaimana beliau itu lebih dekat.



Asal Usul Sunan Muria

Sunan Muria merupakan putra Sunan Kalijaga dengan ibunya nan bernama Dewi Saroh. Nama kecil beliau ialah Raden Umar Said atau Raden Prawoto. Sejak kecil, beliau telah akrab dengan perbedaan makna keagamaan dan kesenian. Karena hal itu, sepertinya beliau mengikuti talenta sang ayah nan getol akan kesenian.

Beranjak dewasa, Raden Umar Said tampaknya memiliki sifat suka menyendiri dan bertempat tinggal jauh dari keramaian. Di saat para wali lain hayati di pusat kota, beliau lebih bahagia tinggal di daerah terpencil seperti pedesaan atau pegunungan dan bermasyarakat dengan orang-orang di sana.

Oleh sebab itu, beliau lebih dikenal sebagai sunan rakyat jelata sebab keramahan, sikapnya nan menjunjung toleransi, dan kerendah-hatiannya.

Di lereng Gunung Muria, Kudus-lah, beliau menetap. Tepatnya di salah satu puncaknya nan bernama Colo. Tidak hanya itu, di sana jugalah beliau menyebarkan dakwah. Di lereng gunung itulah beliau mendirikan pesantren atau padepokan. Wilayah Gunung Muria merupakan loka nan benar-benar jauh dari hiruk pikuk peradaban dan infrastruktur pembangunan daerah.

Gunung Muria terletak sekitar 18 km di sebelah utara pusat Kota Kudus. Sekalipun terlihat jauh dari kota dan serba kurang dalam hal infrastruktur, tetapi hal itu tak menyurutkan tekad Sunan Muria buat berdakwah di daerah kota lain, seperti Jepara, Tayu, Juana, dan Pati.

Sebagaimana sang ayah, Sunan Kalijaga, dalam berdakwah beliau juga menggunakan cara nan halus. Metode dakwah nan dipakai beliau ialah mengadakan berbagai macam pedagogi dan pelatihan pada kaum pedagang, nelayan, pelaut, dan rakyat jelata lainnya. Cara dakwah beliau ini dipandang sangat efektif sebab mereka kaum pekerja nan tak bisa berkumpul setiap saat.

Dengan memberikan pedagogi dan pelatihan tersebut, mereka bisa meluangkan waktu spesifik buat belajar agama. Selain itu, tidak jarang, beliau juga mengajarkan berbagai keterampilan seperti bercocok tanam, berdagang, dan melaut kepada rakyat.

Jalan dakwah melalui bidang kesenian buat mendekatkan masyarakat dengan Islam juga tak beliau tinggalkan. Konon, beliaulah nan tetap mempertahankan berlangsungnya gamelan sebagai media dakwah. Bagi beliau, bermain gamelan dengan mengiramakan tembang (alunan musik dengan lirik-lirik berbahasa Jawa dan sarat makna pelajaran hidup) bisa dijadikan wahana buat memasukkan perbedaan makna keislaman di dalamnya.

Beliau lakukan itu sebab paham betul, bahwa masyarakat nan dihadapi merupakan masyarakat nan masih susah meninggalkan tradisi, terlebih lagi berdakwah di Lereng Muria. Sebagian besar dari mereka ialah pemeluk Hindu taat nan "lari" dari dakwah Sunan Suci (yang telah berdakwah sebelumnya) di sekitar daerah menara. Itu menjadi bukti bahwa tak mudah mendekati mereka.

Dengan jalan dakwah berkesenian itu, sang sunan bermaksud membuat masyarakat di sekitarnya merasa nyaman dan akrab sehingga bisa menerima dan mencerna ajaran-ajaran buat mengingat Allah swt. dengan cepat serta tak merasa digurui.

Konsentrasinya pada dakwah berkesenian tersebut, membuat beliau getol menciptakan tembang-tembang Jawa buat menanamkan ingatan masyarakat akan nilai-nilai ajaran Islam. Beliau pun dikenal sebagai pencipta tembang Sinom dan Kinanti. Salah satu tembang ciptaannya nan populer dan sering dilantunkan para dalang zaman sekarang ialah "Sinom Parijotho". Parijotho merupakan nama tumbuhan nan hayati di Lereng Muria.

Selain tugasnya berdakwah, beliau juga berperan aktif dalam membangun Kerajaan Demak, nan kemudian dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Ia merupakan salah satu pendiri, perintis, dan penyokong nan setia. Beliau nan berwatak halus dan ramah serta berpikiran luas, sering dijadikan dan diminta buat memecahkan berbagai masalah. Kabarnya, sebetapa rumitnya sebuah permasalahan, beliau mampu memberikan jalan nan terbaik.

Ia juga sering diminta menjadi penengah dalam berbagai konflik. Termasuk konflik internal di Kesultanan Demak nan terjadi pada 1518-1530. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, sepeninggal Raden Fatah, Kesultanan Demak menjadi geger sebab banyak nan memperebutkan takhta kerajaan tersebut.

Tercatat, sekitar empat kali Demak mengalami pergantian pimpinan. Hebatnya, solusi pemecahan nan ditawarkan oleh beliau selalu bisa diterima oleh pihak-pihak nan berseteru.



Sunan Muria nan Dikenal Sakti Mandraguna

Sunan Muria memang dikenal sebagai salah satu wali nan sakti. Pertama, hal itu dibuktikan dengan fisiknya nan kuat, yaitu deangan letak padepokannya nan berada di atas gunung. Coba kita bayangkan bagaimana perjuangan fisik beliau, istrinya, atau para muridnya nan setiap hari harus naik turun gunung guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang nan masih harus menempuh perjalanan kaki nan jauh.

Hal itu tak akan mungkin bisa dilakukan beliau tanpa adanya fisik nan kuat. Wahana transportasi dengan menggunakan kuda pun tak mungkin bisa dilakukan buat sampai ke loka tinggal sang sunan. Semua benar-benar harus dilakukan dengan berjalan kaki. Itu berarti beliau memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.

Kedua, bukti kesaktiannnya digambarkan melalui kisah perjalanannya nan terkenal dalam mengarungi perahu rumah tangga. Untuk lebih jelas lagi, berikut kisahnya.



Kisah Pernikahan Sunan Muria

Kesaktian kedua (sebagaimana nan telah disebutkan sebelumnya) juga tercantum dalam kisah lika-liku perjuangan beliau mendapatkan seorang istri, yaitu kisah beliau nan menyelamatkan Dewi Roroyono dari penculikan.

Dewi Roroyono ialah putri Sunan Ngerang alias Ki Ageng Ngerang, yaitu seorang ulama nan disegani masyarakat sebab ketinggian ilmunya, loka tinggalnya di Juana. Karena sangat saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Suci sampai-sampai berguru kepada beliau.

Dikisahkan bahwa Sunan Muria dijadikan menantu oleh gurunya tersebut setelah melalui sayembara pembebasan penculikan putrinya itu. Awal kisah bermula ketika suatu hari, Ki Ageng Ngerang melaksanakan syukuran ulang tahun anaknya, Dewi Roroyono nan genap berusia 20 tahun. Banyak tamu nan datang, termasuk para sunan, ulama, dan adipati. Dewi Roroyono merupakan anak gadis nan sangat rupawan.

Karena para tamu nan hadir kala itu sangat terpikat akan kecantikan Dewi Roroyono, banyak di antaranya nan berdecak kagum dan ada pula dari mereka nan tak tahu diri terus menggodanya dengan ucapan atau tindakan nan kurang senonoh.

Salah satu tamu nan berbuat kurang ajar tersebut ialah Adipati Pathak Warak. Karena tak suka dengan sikap Adipati Pathak Warak, Dewi Roroyono pun marah dengan menumpahkan minuman nan dibawanya. Adipati Pathak Warak geram dan berniat dursila pada Dewi Roroyono.

Pada malamnya, timbul masalah. Dewi Roroyono hilang dari kamarnya. Ternyata, ia diculik oleh Adipati Pathak Warak tadi. Hal tersebut tentu membuat gempar dan membuat berang Sunan Ngerang. Lalu, beliau mengadakan sebuah sayembara.

Bagi siapa pun nan mampu mengembalikan Dewi Roroyono, jika lelaki, berhak memperistrinya, dan jika perempuan, akan diangkat sebagai saudara Dewi Roroyono. Tidak ada nan mampu memenuhi tantangan sayembara tersebut kecuali Sunan Muria.

Selama perjalanannya mencari Dewi Roroyono, Sunan Muria berjumpa dengan rekan seperguruannya, yaitu Kapa dan Gentiri. Melihat kesulitan sang sunan, Kapa dan Gentiri menawarkan diri buat membantu menemukan Dewi Roroyono, tetapi jika berhasil, hak memperistri Dewi Roroyono tetap diberikan kepada Sunan Muria. Akhirnya Muria setuju. Hasilnya, Kapa dan Gentiri sukses menemukan Dewi Roroyono dan menyelamatkannya.

Sesuai perjanjian, akhirnya Dewi Roroyono dinikahkan dengan Sunan Muria. Namun, semua belum berakhir. Ternyata muncul iri hati pada Kapa dan Gentiri. Keduanya menyesal telah membantu sang sunan dan bisa memperistri Dewi Roroyono nan ternyata sungguh cantik. Kapa dan Gentiri ternyata juga jatuh hati kepada Dewi Roroyono.

Keduanya pun berniat menculiknya dan ternyata sukses menyandera Dewi Roroyono. Namun, dengan kesaktian Sunan Muria, akhirnya keduanya bisa diberantas dan Dewi Roroyono bisa direbut kembali.

Barulah setelah kejadian itu, Sunan Muria dan Dewi Roroyono bisa hayati bahagia. Dari pernikahan tersebut, pasangan ini memperoleh seorang putra nan diberi nama Pangeran Santri, dan kemudian mendapat julukan sebagai Sunan Ngadilungu.



Makam Sunan Muria

Sunan Muria mati dan dimakamkan di Desa Colo pada ketinggian 600 meter dari permukaan laut. Berbeda dengan para wali lain nan makamnya dikelilingi oleh para murid dan pengikut setianya, makam beliau justru terlihat menyendiri. Uniknya, para murid nan selalu membantunya dalam berdakwah malah dimakamkan di loka nan letaknya sedikit jauh dari makamnya. Itu mungkin disebabkan oleh wataknya nan selalu suka menyendiri tadi.

Sebagaimana makam para wali lain, makam sang sunan juga banyak diziarahi, baik dari dalam kota maupun luar kota. Tempatnya nan terjal dan sulit ditempuh, ternyata tak menyurutkan para peziarah buat napak melakukan tilas perjalanan beliau. Banyak pengunjung nan antusias berziarah, terutama pada hari libur dan upacara Buka Luwur nan diselenggarakan setiap 6 Muharam.

Karena letaknya di lereng gunung, maka buat mencapai kompleks itu haruslah ditempuh dengan jalan kaki melewati sekitar 700 undakan (trap) mulai dari pintu gerbang kompleks makam. Hal ini bisa menjadi pengalaman buat merasakan betapa beratnya menempuh lokasi sebagaimana Sunan Muria dahulu. Disebutkan bahwa jeda antara kaki tangga dari bawah bukit sampai ke makam beliau tak kurang dari 750 meter.

Kompleks makam salah satu Wali Songo ini telah mengalami beberapa kali pemugaran. Oleh sebab itu, sekarang ini hanya beberapa bagian nan masih utuh. Kompleks makam tersebut dikelola oleh Yayasan Sunan Muria.