Niat Shalat – Pembeda Antara Shalat dengan Kegiatan Ibadah Lain

Niat Shalat – Pembeda Antara Shalat dengan Kegiatan Ibadah Lain

Ketika kita manusia melakukan sesuatu semuanya bergantung pada niat. Niat dalam hati manusia bergantung pada keinginan. Salah satunya ialah niat shalat . Niat shalat harus dimiliki oleh siapapun nan akan beribadah menyembah Allah, sebab jika tidak, shalat tersebut tak ada bedanya dengan kegiatan manusia nan lain.

Setiap agama memiliki cara nan berbeda buat beribadah menyembah Tuhannya. Dalam Islam, shalat ialah cara buat menyembah Allah Swt sekaligus sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Shalat merupakan rukun Islam nan kedua. Tanpa shalat seorang muslim tak dapat disebut muslim. Terlebih ketika berbicara tentang shalat lima waktu. Niat shalat pun kemudian menjadi niat beribadah nan cukup sering dilafalkan.

Islam mewajibkan setiap umatnya buat melaksanakan shalat lima waktu. Niat shalat buat ke lima waktu shalat itupun berbeda. Ketika akan melaksanakan shalat subuh, niat shalat nan diucapkan tentu saja niat shalat subuh. Niat shalat harus disesuaikan dengan shalat nan akan dilaksanakan.

Selain shalat lima waktu, Islam juga menganjurkan umatnya buat melakukan shalat-shalat sunah. Shalat sunah artinya shalat nan tak diwajibkan. Shalat nan jika dilaksanakan akan mendapat pahala dan jika pun tak akan mendapat dosa. gerakan shalat sunah dengan shalat wajib cenderung sama, nan membedakan ialah niat shalat itu sendiri.

Seperti nan telah disebutkan tadi jika semua bergantung pada niat, dan niat shalat atau niat beribadah ialah salah satunya. Berikut ini ada cerita mengenai nilai dari sebuah niat nan terjadi pada zaman Rasulullah.



Niat Shalat – Semua Bergantung Niat

Konon, ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat melakukan hijrah ke kota Yatsrib (Madinah), beliau mendengar desas-desus bahwa ada seorang pemuda nan ikut berhijrah.

Yang menarik, si pemuda ini berhijrah bukan sebab Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi sebab ingin mendapatkan cinta dari seorang wanita nan amat didambakannya. Wanita itu bernama Ummu Qais. Itulah mengapa, orang-orang pun menjuluki si pemuda sebagai Muhajjir Ummu Qais alias “yang berhijrah sebab Ummu Qais”.

Saat mengetahui kebenaran kabar tersebut, Rasulullah SAW pun mengatakan, “Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala sinkron dengan niatnya. Maka, barangsiapa nan berhijrah dengan niat mencari laba duniawi atau buat mengawini seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sinkron dengan niatnya itu.” (HR Bukhari)

Sebegitu pentingkah niat sehingga perjalanan 500 kilometer lebih dari Mekah ke Madinah, di tengah kondisi alam nan ekstrem, di tengah bayang-bayang pengejaran kaum kafir Quraisy, dalam kondisi kehausan dan kekurangan makanan? Memang, begitulah adanya. Niat ibadah atau niat shalat menentukan diterima tidaknya sebuah amal.

Hijrah saja nan sedemikian agung tak memiliki arti sedikit pun di hadapan Allah dan Rasul-Nya apabila niatnya tak lurus. Seseorang nan terbunuh di medan perang melawan orang kafir pun tak dikatakan syahid -bahkan wafat sia-sia- apabila ia berperang bukan sebab Allah, tapi sebab ingin mendapatkan harta kekayaan dan kehormatan duniawi.

Dengan demikian, niat sebagai sebuah getaran batin akan menentukan kualitas sebuah perbuatan. Kualitas paling tinggi dari sebuah niat disebut ikhlas, yaitu menjadikan Allah sebagai tujuan sentral dari amal nan kita lakukan.

Adapun kualitas terendah dari sebuah niat disebut riya atau sum’ah, yaitu beribadah sebab mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah, seperti ingin dipuji manusia (riya) atau ingin berbangga diri dengan amal tersebut (sum’ah).

Walau amalnya sama, akan tetapi hasilnya beda. Ikhlas akan mengantarkan seseorang pada keridhaan Allah, diterimanya amal, dan pahal nan berlipat, sedangkan riya akan mengantarkan pelakunya pada kebencian Allah, ditolaknya amal, dan dosa nan bertumpuk, hingga berakhir dengan kebinasaan.

Karena besarnya bahaya riya, Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang suatu perbuatan nan dapat menjangkiti umatnya. “Sesungguhnya ada sesuatu nan saya takutkan di antara sesuatu nan paling saya takutkan menimpa umatku kelak, yaitu syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu?” Beliau menjawab, “Riya” .

Sebuah hadits menceritakan pula bahwa di akhirat kelak akan ada sekelompok orang nan mengeluh, merangkak, dan menangis. Mereka pun mengadu kepada Allah, “Ya Rabb, di global kami rajin melakukan shalat, akan tetapi kami dicatat sebagai orang nan tak mau melakukan shalat”.

Allah Azza wa Jalla pun menjawab, ‘Tidakkah kalian ingat pada waktu kalian melakukan shalat kalian bukan mengharap keridhaan-Ku, tetapi kalian mengharap pujian dari manusia. Kalau itu nan kalian cari, carilah manusia nan kau harapkan pujiannya itu ….!”

Berdasarkan nash-nash ini, kita pun dapat paham bahwa kualitas sebuah amal berbanding lurus dengan niat nan melatarbelakanginya. Apabila niat kita lurus, amal kita pun akan lurus. Namun sebaliknya, apabila niat kita bengkok, amal kita pun akan bengkok.



Niat Shalat – Pembeda Antara Shalat dengan Kegiatan Ibadah Lain

Selain sebagai getaran batin nan menentukan kualitas suatu amal, niat memiliki fungsi sebagai pembeda antara satu jenis amal dengan amal lainnya sekaligus penentu nilai hukum suatu perbuatan. Begitupun dengan niat shalat.

Niat shalat harus dibedakan berdasarkan dengan jumlah rakaat nan sama, waktu nan sama, dan bacaan nan sama, dapat berbeda penilaiannya antara satu orang sebab niat shalat nya Sebagai contoh, seseorang melaksanakan shalat dua rakaat pada jam 04.30 misalnya, ada beberapa kemungkinan dari shalat tersebut, dapat shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, shalat Tobat, shalat Istikharah, ataupun shalat Subuh.

Semua shalat tersebut memiliki niat shalat nan berbeda antara satu dan nan lainnya .Setidaknya, ada enam kemungkinan dari niat shalat nan kita dapatkan. Padahal, secara fisik semuanya sama: gerakannya, bacaannya, jumlah rakaatnya, waktunya, hingga loka pelaksanannya. Akan tetapi, nilainya dapat beda sebab niat shalat nan melandasinya.

Dalam kajian ilmu-ilmu Islam pun, masalah niat shalat mendapat perhatian spesifik dari para ulama sebab disparitas niat shalat membawa konsekuensi pada disparitas hukum. Dalam ilmu fikih, niat shalat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah shalat.

Dalam Ushul Fikih, niat shalat dijadikan salah satu faktor nan menentukan status sahnya shalat. Shalat lima waktu atau shalat-shalat sunnah akan terasa lebih afdhol dan pasti diterima oleh Allah jika diawali terlebih dahulu dengan niat shalat. Niat dalam beribadah, niat shalat, juga berlaku pada jenis ibadah lainnya. Seperti ibadah haji.

Ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Mekah, hukumnya dapat wajib, dapat sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat buat apa ia memakai gelar haji tersebut.

Itulah mengapa, Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa hadits tentang niat shalat merupakan salah satu kaidah krusial dalam Islam, bahkan termasuk sepertiga dari ilmu. Para ulama terkemuka pun menjadikan hadits ini sebagai pembuka dalam tulisan-tulisannya.

Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari menempatkan hadits tentang niat shalat pada urutan pertama sebelum melakukan shalat, begitupun pada saat melakukan ibadah-ibadah nan lain. Hal nan sama dilakukan pula oleh Imam Al-Maqdisi dalam ‘Umdatul Ahkam, Imam As-Suyuti dalam Jami’us Shaghir, dan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’.