Latar Belakang Peristiwa G30 September

Latar Belakang Peristiwa G30 September

Berbicara mengenai Gerakan 30 September atau G30S PKI mengacu kepada dua referensi, pertama ialah peristiwa pembunuhan enam jenderal dan perwira lainnya nan kemudian dituduhkan kepada PKI (Partai Komunis Indonesia) dan kedua ialah film tentang peristiwa tersebut nan disutradarai oleh Arifin C. Noer.

Kedua surat keterangan tersebut memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengandung sensitivitas tinggi di masyarakat, dan sama-sama mengundang kontroversi. Film bertajuk ”Pengkhianatan G30S PKI” ialah sebuah film drama-dokumenter nan disutradarai Arifin C. Noer. Film ini diproduseri oleh G. Dwipayana, dan dibintangi oleh Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Syubah Asa.

Film nan syahdan menghabiskan dana hingga 800 juta rupiah pada waktu itu (awal 1980-an) diproduksi selama rentang waktu 2 tahun. Film ini didanai oleh pemerintah Orde Baru pada masa awal kekuasaan Presiden Soeharto.

Secara apik dan ”menyayat hati” film ini dibuat berdasarkan peristiwa percobaan kudeta/pengkhianatan nan menurut film ini dilakukan oleh PKI . Sepanjang sejarah, film ini termasuk film kolosal sebab melibatkan sekitar 120 aktor dan aktris dan ribuan tokoh figuran.

Unsur nan menjadi kontroversi dari film G30S PKI ialah isinya nan dianggap sebagai propaganda pemerintah orde baru. Sebelum reformasi, film ini bahkan menjadi siaran wajib TVRI nan ditunggu-tunggu dan wajib pula ditonton warga masyarakat terutama pelajar.

Implikasi dari penyiaran film ini secara berkala ialah buat mengenang terjadinya peristiwa tersebut, mengenang para pahlawan revolusi , dan di sisi lain juga menumbuhkan kebencian nan begitu mendalam terhadap orang-orang nan terlibat dalam PKI dan keluarganya.

Sementara itu, hal nan menjadi latar belakang film ”Pengkhianatan G30S PKI” ialah peristiwa perebutan kekuasaan sebagian tentara nan diboncengi Partai Komunis Indonesia nan memakan korban jiwa dari petinggi militer. Belakangan sejarah mengenai peristiwa ini nan sepanjang pemerintahan orde baru diajarkan di sekolah mulai digugat kebenarannya.



Latar Belakang Peristiwa G30 September

Sampai tahun 1965, PKI dianggap sebagai partai komunis terbesar di dunia, di setelah RRC dan Uni Soviet. Pada saat itu, PKI diperkirakan mempunyai sekitar 20 juta angota termasuk simpatisannya. Anggota dan konvoi nan berafiliasi terhadap PKI ialah anggota aktif partai, gerakan pemuda PKI, perkumpulan buruh, Barisan Tani Indonesia, konvoi wanita nan disebut Gerwani, dan organisiasi atau komunitas seniman dan para seniman.

Sejak 1959, PKI ialah pendukung primer presiden Soekarno terutama dalam mendukung dekrit Presiden nan berisi pembubaran parlemen. PKI juga mendukung sistem demokrasi terpimpin nan diajukan Soekarno dengan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).

Pada tahun 1960-an, ekonomi Indonesia mengalami resesi. Nilai mata uang terus menurun, padahal harga barang terus naik. Di berbagai daerah terjadi juga berbagai riak dan friksi seperti penyerobotan tanah oleh petani, penyitaan perusahan Amerika, dan sebagainya. Selain di taraf rakyat, riak-riak pun terjadi di taraf elit, terutama militer.

Rencana presiden Soekarno membuat angkatan kelima atas prakarsa RRC menimbulkan kekecewaan dan saling curiga di kalangan petinggi militer, terutama Angkatan Darat. Angkatan kelima nan dimaksud ialah angkatan bersenjata di luar angkatan darat, laut, udara dan kepolisian. Angkatan kelima rencananya akan disokong oleh para pekerja dan petani nan dipersenjatai dengan dalih buat memperkuat pertahanan Negara.

Berbagai isu berkembang cepat, di antaranya ialah isu sakit parahnya Presiden Soekarno . Kecurigaan akan parahnya sakit sang presiden saat itu menimbulkan praduga-praduga akan terjadinya kudeta. Isu lainnya ialah pertikaian dengan Malaysia. Negara Federasi Malaysia nan mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris pada 1963 dianggap menjadi ancaman bagi gerakan komunis nan disponsori Uni Soviet dan RRC.

Di sisi lain, pernah terjadi penghinaan terhadap Presiden Soekarno dan lambang Negara Garuda Pancasila oleh para demonstran dan Perdana Menteri Malaysia dalam aksi anti-Indonesia di KBRI Kuala Lumpur.

Peristiwa inilah nan kemudian mengakibatkan gerakan ”Ganyang Malaysia” nan dimandatkan Soekarno kepada Angkatan Darat. Gerakan ini ternyata mendapat sedikit dukungan dari para petinggi Angkatan Darat, maka Soekarno pun mencari dukungan dari PKI.

Rupanya Amerika Perkumpulan juga mempunyai kepentingan pada saat itu. Amerika nan sedang menghadapi pertempuran di Vietnam membawa misi membendung pengaruh Komunis di Asia Tenggara. Namun, Amerika melalui agen CIA-nya pun kebingungan dengan situasi politik Indonesia nan sedang berkonfrontasi dengan Malaysia nan didukung Inggris sebagai sekutu Amerika.



Isu Dewan Jenderal dan Keterlibatan Soeharto

Kontroversi nan paling tajam dari peristiwa ini ialah adanya isu dewan jenderal dan isu keterlibatan Soeharto. Sebelum peristiwa ini terjadi pada bulan September 1965, muncul isu pembentukan Dewan Jenderal.

Isu ini mengandung makna adanya beberapa jenderal Angkatan darat nan tak lagi berpihak kepada presiden Soekarno dan akan melakukan kudeta. Isu inilah nan menjadi latar belakang penculikan para Jenderal dan pembunuhan di Lubang Buaya.

Di sisi lain Letkol Soeharto nan pada saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando Taktik Angkatan Darat) baru-baru ini terus diteliti keterlibatannya. Soeharto memang merupakan sosok nan paling diuntungkan dari peristiwa ini nan mengantarkannya menjadi Presiden Indonesia nan kedua dan berkuasa hingga 32 tahun. Namun, bukti-bukti keterlibatannya sampai saat ini semakin kabur.

Sebenarnya banyak sekali korban nan menderita dampak peristiwa ini maupun berbagai permasalahan nan melatarbelakanginya. Di berbagai daerah terjadi berbagai kekisruhan nan merenggut korban jiwa. Namun, demikian puncak dari peristiwa ini ialah penculikan para jenderal nan kemudian dikenal dengan sebutan Pahlawan Revolusi.

1. Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)

2. Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

3. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)

4. Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

5. Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)

6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)

7. Lettu CZI Pierre Andreas Tendean (ajudan Jenderal TNI Abdul Harris Nasution, dalam peristiwa ini Jenderal A.H. Nasution sukses lolos, namun ajudannya serta anaknya, Ade Irma Suryani menjadi korban)

Selain korban di atas, perwira lain nan juga menjadi korban di antaranya.

1. Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)

2. Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

3. Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Para korban rata-rata diambil paksa dari kediamannya pada dini hari 1 Oktober 1965. Kemudian, para korban dibawa ke Lubang Buaya, di Pondok Gede-Jakarta. Para korban baru bisa dievakuasi pada tanggal 3 Oktober 1965.



Penumpasan PKI dan Supersemar

Setelah peristiwa tersebut, PKI menguasai RRI dan menyiarkan peristiwa 30 September sebagai usaha Perebutan kekuasaan Dewan Jenderal. Sementara itu beberapa hari kemudian, Soekarno mengeluarkan himbauan agar masyarakat menciptakan suasana aman dan menghentikan kekerasan dengan bergabung dengan ABRI dan para korban membentuk “Persatuan Nasional”.

Peristiwa nan paling bersejarah ialah dilantiknya Mayjen Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat oleh presiden Soekarno. Dengan posisinya tersebut, Soeharto mengonsolidasikan penumpasan PKI sampai ke akar-akarnya. Sebagai aksi balasan dari Peristiwa 30 September, maka para anggota PKI dan simpatisannya diburu.

Mereka dibunuh di tengah jalan dan dibiarkan begitu saja di dalam rumahnya nan terbakar, dibuang ke saluran air atau ke sungai. Selain dibunuh, mereka juga ada nan dibawa ke kamp-kamp tahanan, dipenjara sampai bertahun-tahun tanpa diadili. Peristiwa pembunuhan massal terjadi di antaranya di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.

Tentara dan sipil nan sudah dihasut ialah pelaku ”penumpasan” anggota PKI dan simpatisannya. Tidak ada laporan resmi mengenai jumlah korban selama beberapa bulan penumpasan PKI, namun diperkirakan jumlahnya mencapai 1 juta orang. Satu peristiwa nan juga kontroversi hingga saat ini ialah dikeluarkannya Surat Perintah dari Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966.

Surat Perintah Sebelas Maret , begitu surat tersebut kemudian dikenal masyarakat, berisi perintah Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto buat mengambil ”langkah-langkah strategis" buat mengembalikan suasana aman dan wibawa pemerintahan.

Tindakan taktik Soeharto nan paling krusial saat itu ialah menjadikan PKI sebagai Partai terlarang di Indonesia. Sementara itu, Kekuasaan Presiden Sukarno tak diusik hingga Maret 1967.



Lahirnya Orde Baru

Setelah Soeharto mendapatkan kekuasaan penuh sebagai presiden, maka ideologi bangsa Indonesia pun bergeser. Jika pada masa pemerintahan Soekarno sangat menolak liberalisme, maka orde baru ialah kepanjangan tangan dari liberalisme. Pada bulan November 1967, diadakan rendezvous berbagai perusahaan internasional dari barat dengan tim ekonomi Indonesia di Swiss.

Hasilnya di antaranya Indonesia menyediakan buruh nan banyak dan murah, sumber daya alam, dan pasar nan berlimpah bagi para kapitalis. Sejak itulah, emas di Papua dikelola oleh Freeport, ladang minyak di Riau dikelola Caltex, dan lading gas di Natuna dikelola oleh Mobil Oil. Sejak itu pula, ratusan perusahaan asing masuk ke Indonesia menguras sumber daya alam Indonesia termasuk hutan-hutan hijau dan minyak bumi.