Kebesaran Pemikiran Kartini
Bagaimana isi artikel Raden Ajeng Kartini ? Sudah pada mafhum semuanya, 21 April diperingati sebagai Hari Kartini, seorang wanita priyayi nan tak ingin hayati sebagai priyayi pada umumnya pada waktu itu.
Sosok Raden Ajeng Kartini begitu diagung-agung kan oleh wanita Indonesia. Betapa tidak, Kartini menjadi mata martir nan mendobrak Norma jalan hayati wanita priyayi nan hayati dalam “sangkar burung.” Semangat perjuangannya begitu menggelora dan mampu memantik barah perjuangan dari rekan-rekannya, tak hanya wanita pribumi lainnya tetapi juga dari noni-noni Belanda pada saat itu.
Kegigihannya dalam memperjuangkan hak-hak wanita terus membakar jiwa dan semangat kaum hawa sampai dengan sekarang. Persamaan hak, itu nan menjadi tujuan dari perjuangannya kini.
Dan memang, Kartini dahulu banyak melahirkan Kartini-Kartini baru nan terus berjuang buat memperoleh hak-haknya. Begitu banyak ulasan mengenai Raden Ajeng Kartini ditinjau dari berbagai sudut nan kesemuanya memiliki tujuan nan sama yaitu menggali semangat-semangat pendobrakan akan tradisi-tradisi nan menekan wanita.
Hasilnya, sangat gampang sekali kita menemukan artikel nan membahas mengenai artikel Raden Ajeng Kartini .
Seperti halnya dengan artikel Raden Ajeng Kartini lainnya, artikel ini mencoba buat mengangkat berbagai sisi pemikiran dan sisi kehidupan dari tokoh perjuang wanita ini.
Sosok Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini atau “Panggil Aku Kartini Saja” ialah putri priyayi bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat nan lahir dari seorang ibu bernama M.A Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Hadi Madirono.
Kartini merupakan anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Pengetahuan asal usul keturuan Kartini ini selalu dan akan muncul pada berbagai artikel Raden Ajeng Kartini.
Kartini kecil mengenyam pendidikan formal hanya sampai pada usia 12 tahun dengan bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Di sekolah inilah, Kartini belajar berbagai hal termasuk bahasa Belanda.
Tetapi sayang, setelah Kartini menginjak usia lebih dari 12 tahun, kedua orangtuanya memingitnya dan menunggu buat dijodohkan dan dinikahkan pada laki-laki pilihan orangtuanya.
Belajar bahasa Belanda di ELS menjadi laba sendiri bagi Kartini. Tak mau hasrat belajarnya dikekang, Kartini belajar berdikari di rumah. Dengan kemampuan bahasa Belanda nan dimilikinya, Kartini sering melakukan korespondensi dengan teman-temannya dari Belanda.
Salah satu koleganya ialah nyonya Rosa Manuela – Mandri dan suaminya J.H Abendanon nan mendukung perjuangannya. Buku-buku, koran, dan majalah Eropa menjadi sumber inspirasi Kartini buat memajukan wanita pribumi sebab tertarik akan kemajuan berpikir para wanita Eropa. Kartini melihat bahwa wanita pribumi berada pada status sosial nan rendah.
Pada artikel Raden Ajeng Kartini lainnya di ungkapkan bahwa pada 12 November 1903, Kartini dinikahkan oleh orangtuanya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Ahiningrat, seorang bupati Rembang. Untungnya, sang adipati memahami keinginan niat mulia Kartini.
Dukungan sang Adipati diwujudkan dengan mendirikan sekolah wanita nan letaknya masih berada di kompleks kantor kabupatian Rembang. Dalam perkembangannya, Kartini terus menggali berbagai pengetahuan dari berbagai sumber, antara lain dengan banyak membaca De Locomotief, surat kabar Semarang asuhan Pieter Brooshooft.
Beberapa tulisan Kartini dimuat di De Hollandsche Lelie. Tulisan Kartini tak hanya menyorot emansipasi wanita saja tetapi maslah generik juga menjadi fokus perhatiannya. Kartini menyoroti agar kaum perempuan mendapatkan hak kebebasan, kemandirian dan persamaan hukum, di semua tingkatan.
Empat hari setelah kelahiran anak semata wayangnya, Soesait Djojoadhiningrat nan lahir pada 13 Desember 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia nan masih sangat muda, 25 tahun. Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang merupakan loka peristirahatan terakhir bagi Raden Ajeng Kartini.
Untuk mengenang kegigihannya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan maka didirikanlah Sekolah Kartini di Semarang pada 1912 oleh keluarga Van Deventer. Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya menjadi lokasi-lokasi berdirinya Sekolah Kartini ini.
Door Duisternis tot Licht
J.H. Abendanon ialah orang nan berjasa dalam mengumpulkan dan membukukan surat-surat nan pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Buku tersebut berjudul Door duisternis tot Licht nan berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya nan diterbitkan pada 1911.
Buku tersebut kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Inggris. Pada 1922, Door duisternis tot Licht diterjemahkan oleh Empat Saudara dan diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan judul “ Habis Gelap Terbitlah Terang : Boeah Pikiran.”
Kemudian pada 1938, Armijn Pane menerbitkan versi lain dari “Habis Gelap Terbitlah Terang” nan lebih menitikberatkan pada perubahan cara pandang dan berpikir Kartini di sepanjang korespondensinya. Buku-buku ini menjadi sumber inspirasi bagi dan menarik perhatian masyarakat Belanda nan mampu mengubah pandangan terhadap wanita pribumi di Jawa.
Besarnya pengaruh surat-surat Kartini juga berimbas pada tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Untuk mengenang perjuangannya, Wage Rudolf Supratman menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Kebesaran Pemikiran Kartini
Isi surat-surat nan pernah ditulis Raden Ajeng Kartini berfokus pada kondisi sosial pada saat itu nan berisi keluhan dan somasi budaya Jawa nan dianggapnya sebagai belenggu kemajuan perempuan. Kartini menginginkan perempuan memiliki kebebasan dalam menuntut ilmu seluas-luasnya.
Ide dan cita-citanya tersebut dituliskan sebagai Zelf-ontwikkeling (Pengembangan Diri) dan Zelf-onderricht (Belajar Mandiri), Zelf-vertrouwen (Percaya Diri) dan Zef-werkzaamheid (Motivasi Diri) dan Solidariteit (Solidaritas).
Semua hal tersebut didasarkan atas Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan, dan Keindahan) dan Humanitariasnime (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat ini pula difungsikan oleh Raden Ajeng Kartini sebagai alat permintaan tolong. Kartini mengungkapkan keinginannya buat dapat seperti kaum muda Eropa.
Hal ini terungkap pada perkenalannya dengan Estelle Zeehandelaar. Kartini menggambarkan penderitaan sosok perempuan Jawa nan hidupnya sangat dikungkung adat. Tidak dapat bebas bersekolah, dipingit, dijodohkan dan dinikahkan dengan laki-laki yan tak dikenal sama sekali.
Berikut ini merupakan nukilan surat beberapa pemikiran kritis Kartini terhadap berbagai hal dari permasalahan agama sampai kehidupan sosial nan sebagian besar ditujukan kepada sahabatnya, J.H. Abendanon.
“Bukan dosa, bukan kecelaan pula; hukum Islam mengizinkan laki-laki menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya saya mengatakan itu dosa.
Segala perbuatan nan menyakitkan sesamanya, dosalah pada mataku. Betapakah azab sengsara nan harus diderita seorang perempuan, bila lakinya pulang ke rumah membawa perempuan lain, dan perempuan itu harus diakuinya perempuan lakinya nan sah, harus diterimanya jadi saingannya?
Boleh disiksanya, disakitinya perempuan itu selama hidupnya sepuas hatinya, tetapi bila ia tiada hendak membebaskan perempuan itu kembali, bolehlah perempuan itu menangis setinggi langit meminta hak, tiada juga akan dapat.”(Surat kepada Nona Zeehandelaar, 6 November 1899)
“Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana jua pun. Di sini tiada orang nan tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Qur’an, tetapi nan dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca, tetap tak diajarkan makna nan dibacanya itu.
Sama saja engkau mengajar saya membaca kitab bahasa Inggris, saya harus hafal semuanya, sedangkan tiada sepatah kata jua pun nan kau terangkan artinya kepadaku. Sekalipun tiada jadi orang saleh, kan boleh juga orang jadi orang baik hati, bukan Stella? Dan “hati baik” itulah nan terutama.” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 6 November 1899)
“Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 6 November 1899)
“Tentang pedagogi ada Bapak menyampaikan nota kepada Pemerintah. Stella, kehendak hatiku, bisa kaubaca hendaknya nota itu. Kata bapak dalam nota itu: Pemerintah tiada akan sanggup menyediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa, akan dimakannya, tetapi Pemerintah bisa memberikan daya upaya, supaya orang Jawa itu bisa mencapai loka makanan itu ada.
Daya upaya itu ialah pengajaran. Memberi anak negeri pedagogi nan baik, sama halnya seolah-olah Pemerintah menyerahkan suluh ke dalam tangannya, supaya bisa ia sendiri mencari jalan nan benar, nan menuju ke loka nasi itu.” (Surat kepada Nona Zeehandelar, 12 Januari 1900)
“Gerakan orang Jawa itu baru mulanya saja. Perjuangan akan sangat hebatnya; prajurit gerakan itu, bukan hanya lawannya saja nan harus dilawannya, melainkan juga hati tawar orang sebangsanya sendiri, padahal keperluan bangsa itulah nan diperjuangkan.
Dan apabila perjuangan orang laki-laki itu sudah sengit, maka akan bangkitlah pihak perempuan.” (Surat kepada Nona Zeehandelar, 12 Januari 1900)
“Jika dengan sebenarnya hendak memajukan peradaban, maka haruslah kecerdasan pikiran dan kecerdasan budi sama-sama dimajukan. Dan siapakah nan lebih banyak bisa berusaha memajukan kecerdasan budi itu, siapakah nan bisa membantu mempertinggi derajat budi manusia?
Ialah perempuan, ibu, sebab pada haribaan si ibu itulah manusia itu mendapat didikannya nan mula mulanya sekali, oleh sebab di sanalah pangkal anak itu belajar merasa, berpikir, berkata. Dan didikan nan pertama-tama sekali, pastilah berpengaruh bagi penghidupan seseorang.” (Surat kepada Nyonya Ovink-Soer, awal tahun 1900).
Diakui atau tidak, pemikiran-pemikiran kritis Raden Ajeng Kartini pada saat itu dianggap sebagai bentuk pemberontakan dan sebagai curahan keprihatinan dan kekecewaan dirinya pada situasinya saat itu.
Walaupun tak sempat menikmati keberhasilan usahanya, pemikiran Kartini menjadi cambuk nan kuat bagi perempuan lain buat bergerak memperjuangkan hal nan sama.
Oleh sebab itu lah, sudah selayaknya pemikiran-pemikiran Kartini seperti itu juga menjadi pemikiran kritis kita terutama para perempuan juga agar dapat terus berkembang dengan tak melupakan “Siapa Saya?”.
Demikian artikel Raden Ajeng Kartini ini. Singkat, tapi semoga menjadi inspirasi bagi kaum hawa semuanya.