Semangat Jurnalisme - Brotherhood, One Blood One Spirit

Semangat Jurnalisme - Brotherhood, One Blood One Spirit

Jurnalisme merupakan global nan penuh warna. Perjuangan para pelakunya, nan biasa disebut jurnalis buat bergelut dengan global jurnaslime ini cukup berliku. Pada dasarnya jurnalisme merupakan sebuah "ilmu bercerita", menceritakan apapun nan dibutuhkan oleh masyarakat luas, bahkan sekadar pengalaman nan sifatnya pribadi.

Ada banyak hal terjadi di sekitar kita. Hal-hal nan akan membuat kita semakin mengerti tentang arti kehidupan. Di Indonesia ini pelajaran justru banyak didapatkan di pinggir-pinggir jalan dan loka lain nan sebelumnya tak pernah terpikirkan sama sekali. Pelajaran tersebut akan berguna jika kemudian dituliskan dan "dibagikan" melalui cerita. Menggambarkan keadaan dengan tulisan itulah nan kemudian menjadi tugas dari seorang pelaku global jurnalisme.

Jurnalisme selalu menarik siapapun buat ikut masuk di dalamnya. Lengkap dengan lensa kamera, citra tentang keadaan nan tengah terjadi di masyarakat pun semakin paripurna dipetakan. Sebuah tulisan nan disertai dengan foto akan semakin memperkuat kesan dari sebuah kenyataan tersebut.

Dari pengalaman pribadi seorang jurnalistik, "jiwa" dari jurnalisme akan tetap terbawa. Pengalaman jurnalisme seseorang sedikit banyak niscaya akan memberikan sebuah cerita tersendiri pada para pembacanya. Cerita tersebut bukan sekadar cerita bualan. Nilai-nilai dari jurnalisme sedikit banyak niscaya terbawa. Berikut ini ialah sepenggal cerita seorang jurnalistik dalam perjalanan karir jurnalismenya.



Jurnalisme - Cerita Sang Jurnalistik

Pada suatu saat ketika sedang santai dengan dialog ringan, seorang teman pernah berkata, "Ko, perjalananmu kan sudah cukup banyak. Bagikan dong ke orang lain biar mereka tau kamu pernah berjalan. Sayang banget kalo hasil dari perjalanmu hanya keringat saja. Kamu kan pernah belajar jurnalistik. Kamu sering melakukan jurnalisme ke berbagai daerah. Jurnalistik kan tak melulu mengungkap hal-hal nan berat aja. Cerita perjalanan kamu pun dapat menjadi bahan tulisan dan itu salah satu bentuk penyampian kebenaran informasi."

Ya, sempat terpikir kenapa saya tak bercerita saja. Toh, global jurnalisme ialah global nan tanpa batas asal disampaikan dengan sahih dan bisa memberi informasi kepada pembaca. Lalu, memori otakku ku putar ulang. Ini rekaman petualangan saya nan bergelut dengan global jurnalime dan mereka.



Perjalanan Awal di Global Jurnalisme

Sepintas, orang akan geleng-geleng kepala manakala melihat iring-iringan anak-anak kumal, bau, berjalan dengan menggendong ransel nan berat. Berjalan tertatih-tatih sambil sesekali napasnya tersengal. Kerut di mukanya menunjukkan kelebihan nan teramat sangat. Pencitraan nan sangat khas bagi mereka penggelut global jurnalisme.

"Siswa, berhenti!"

Terdengar suara seorang pelatih nan mengiringi perjalanan menyalak. Serentak terdengar suara, "Siaaap!" Dan, iring-iringan pun berhenti.

Pada pengalaman pertama di global jurnalisme ini, mungkin teriakan tak akan terlalu bermakna. Dua, tiga, empat hari dan seterusnya, kata-kata ini mungkin sudah terlontar puluhan bahkan ratusan kali dan memiliki majemuk makna. Istirahatkah? Ada nan salahkah? Hukumankah? Atau perintah apa lagi.

"Siswa, berbaris. Dansis, periksa pasukanmu!" Dengan tergopoh-gopoh, sang hulubalang siswa berlari dari depan ke belakang memeriksa pasukannya kemudian kembali ke barisan terdepan.
"Pasukan lengkap!"
"Kamu, keluarkan veldfest airmu. Tuangkan satu sloki, bagi ke semua anggota pasukanmu HARUS semuanya kebagian!"

HARUS, sebuah kata pemaksaan dan penanda keseimbangan. Pertanyaannya, cukupkah satu sloki air veldfest buat semua orang? TIDAK, ya tentu tak akan cukup. Paling-paling hanya akan cukup buat membasahi bibir nan kering saja. Tapi, sungguh kenyataannya itu lebih dari cukup. Bibir nan basah setara dengan minum air satu galon.

Pada saat itu, konduite pelatih demikian mungkin akan dianggap sebagai sebuah penjajahan. Pasti, jauh di dalam lubuk hati setiap siswa akan muncul: "Keparat, mana cukup air segitu diminum semua orang!". Perasaan jengkel dan umpatan harus diakui hadir dalam rangkaian pelatihan awal ketika akan menjajaki global jurnalisme .

Setiap hari pendidikan dilalui oleh siswa dengan penuh tekanan. Tekanan fisik dan tekanan mental. Setiap hari siswa harus mampu memertahankan kondisi tubuhnya agar tetap bertahan. Bertahan dari siksaan dingin, bertahan dari siksaan panas, dan bertahan buat menopang tubuhnya agar dapat terus bisa berdiri tegap.

Hal nan paling menyakitkan bagi setiap siswa ialah ketika pikiran sudah menguasai jiwa. Kosong dan tak dapat lagi berpikir. Menyakitkan sebab pikiran mereka akan sangat berpengaruh pada kemampuan fisik.

Waktu berjalan seperti sangat lambat, bahkan mungkin sengaja dilambatkan. Hari berganti hari. Satu malam berganti ke malam lainnya. Udara sejuk di pagi hari, matahari nan menyengat di siang hari, hujan di sore dan malam hari merupakan hal-hal nan sudah tak asing lagi ditemui. Kulit tubuh perlahan-lahan mulai menghitam. Kulit kaki perlahan-lahan mulai melepuh.

Tubuh nan sudah terlalu letih dampak menanggung beban sudah tak mampu lagi buat bertahan. Terbaring dalam ponco kecil merupakan kenikmatan nan luar biasa. Tidak peduli hujan masuk ke dalam ponco dan membasahi badan. Mata pun terpejam dan tertidur lelap. Tubuh pun sejenak istirahat setelah seharian beraktivitas.

Jika dilihat secara sekilas sebenarnya tak ada hubungannya sama sekali antara pelatihan fisik dengan kemampuan merespondensi sesuatu, seperti nan dilakukan para jurnalistik di global jurnalisme nan digelutinya.

Namun, satu hal nan sepertinya dilupakan ialah ketahanan fisik dan mental pada kenyataannya menjadi satu hal nan diperlukan dalam global jurnalisme. Hal ini dibutuhkan ketika para jurnalistik meliput berita. Terlebih jika peliputan warta tersebut membutuhkan ketahanan fisik dan mental nan kuat, seperti peliputan warta di daerah konflik.



Semangat Jurnalisme - Brotherhood, One Blood One Spirit

Ya, kenangan-kenangan seperti ini tak akan mungkin dan tak akan pernah pupus dari memori. Sungguh, kaldera pendidikan awal di global jurnalisme ini akan menjadi kenangan nan akan terus inheren dalam ingatan.

Ingat ketika kami minum bersama, makan bersama, menangis bersama, tertawa bersama. Ingat ketika kami memapah saudara kami nan sudah tak mampu buat berjalan. Ingat ketika kami harus saling menjaga dan membuang jauh-jauh ego nan terkadang sangat menjijikan. Ingat ketika kami harus berjalan beriringan dalam guyuran hujan, kilat, dan badai, masuk hutan ke luar hutan. Ingat ketika kami harus berbagi. Semuanya sungguh latif buat dikenang.

Kini, semua ingatan-ingatan tersebut menjadi sebuah cambuk buat menguatkan pondasi nan telah lama kokoh. Strugle for life . Ya, bertahan buat hayati dengan hasil tempaan pendidikan nan demikian indah. Sebuah pengalaman nan tak akan pernah terlupa seumur hidup. Pengalaman nan membentuk hayati sebagian orang menjadi lebih kuat, menjadi lebih tahan dalam menghadapi kegetiran hidup, dan menjadi seorang pakar jurnalisme nan hebat.

Ikatan persaudaraan nan terpupuk selama masa pendidikan menjadi rantai pengikat. Satu menangis, semua menangis. Satu tertawa, semua tertawa. Kekuatan, kesadaran, tenggang rasa, dan gotong royong menjari ruh bagi semua. Rantai ini akan terus melekat, tidak peduli jauhnya loka kami semua.

Terkadang, angin badai dan hujan melambaikan tangannya buat mengajak menari dan berkata, "Kapan kalian akan datang lagi menemani aku?" Ya, alam akan dengan bahagia hati menyambut kita kembali dengan penuh kehangatan. Alam akan selalu memanggil jiwa-jiwa penasaran nan haus akan kedamaian. Alam tak pernah mengajarkan kepada kita kebohongan. Alam akan selalu memanggil kita buat kembali. Memanggil jiwa-jiwa jurnalisme nan memiliki kekuatan super, sehebat kata-kata nan bisa menghancurkan dunia.