Pasal Kode Etik

Pasal Kode Etik

Setelah kau mendengar sebentuk isu dari seseorang selama ribuan kali. Bagaimana mungkin isu itu tak didengar oleh media. Sampai pada akhirnya kau mulai menyadari bahwa media itu sendiri ialah sebentuk isu.

Svend Robinson, tentang media mainstream 1997

Benar, media partisipan publik, barangkali merupakan eufemisme atau penghalusan makna dari media dengan partisipasi ‘spesifik’ terhadap apa nan disebut dengan ‘publik’. Jika media mereduksi kultur pemberitaannya berdasarkan atas penguatan-penguatan kapital, entah negara-bangsa, atau modal perusahaan media itu sendiri, dengan publik nan khusus mengacu kepada kelas-kelas sosial tertentu.

Media dengan demikian telah menjadi alat kapital. Dicekat dalam bahasa globalisme, secara keilmuan –teori-teori komunikasi massa pembentuknya merupakan bagian dari intrik dunia (tidak melahirkan sesuatu dan tak lepas dari pengulangan-pengulangan semu). Dan itu ialah masalah bagi apa nan tak dapat disentuh prinsipil oleh kode etik jurnalistik wartawan Indonesia .

Menukil sebab-akibat sebagai proses transfer semata (dan bukan representasi). Disiplin ilmu ialah disiplin penuh kepatuhan. Dan media nan terlahir darinya ialah media nan mau tak mau ‘mainstream’ pengekor dari arus primer dari negara-negara induk.

Media eksponen pengekor media mainstream, timur pengekor barat dalam sudut pandang eksklusif ber-relasi bagaikan dalam rantai makanan.

Sah atau tidaknya, universal atau tidaknya, bahkan warta atau bukan telah ditentukan jauh-jauh hari perangkat peneguhan, relevansi teori-teori, beasiswa wartawan ke kampus-kampus tradisional barat. Intervensi tak dapat dielakkan. Bahasa Louis Althusser bahwa ‘ilmu pun berideologi’ patut di akui. Kampus ialah ‘ruang tradisionalitas kevakuman’ versi Julien Benda.

Media mainstream, dengan ciri-ciri lebih modern, berskala nasional, dekat dengan pusat kekuasaan, sentralistis, jelas bukan media nan dengan mudahnya memberikan ruang bagi publik Indonesia nan memiliki kekayaan dan keragaman suku. Bagi media mainstream, gaya penyajian nan modern tak ada sangkutpautnya dengan tradisionalitas.

Bagi media nan mainstream, tradisi antik ialah penghalang bagi kesuksesan bangsa menuju kemakmuran, dan gaya hayati nan berkualitas.

Tradisi hanya dilihat dari sudut pandang nostalgia, dipojokkan dalam halaman terbatas di hari Minggu, atau sebagai sajian seremonial belaka. Misalnya Harian Kompas dalam rubrik, Seremoni, tokoh, atau Griya. Sementara Republika, memberikan kolom Mingguan, Jakarta Tempo Doeloe, nan diasuh Wartawan berpengalaman, Alwi Shahab nan tak sepenuhnya bicara tentang budaya lokal.

Atau Harian Tempo nan lebih sedikit lagi memberikan kolom sebesar iklan baris bagi warta lampau nan pernah diangkat oleh koran masa lalu. Di global penyiaran, sajian tradisi lokal secara ‘menyedihkan’ dilihat dari sudut pandang turis kota menonton desa. Seperti acara Expedisi di Indosiar, atau Ekstrim Masakan di Trans 7.



Media dan Kecurangan Wartawan

Namun jangankan kedaerahan. Negara Indonesia sebagai wujud Indonesia sendiri, mendapatkan porsi minim –bagi TV nan tak siaran 24 jam di awal siaran TV dalam bentuk koor lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan di akhir siaran dengan lagu nasional lain seperti, Bagimu Negeri dan Rayuan Pulau Kelapa. Global penyiaran memang lebih menjanjikan laba modal nan besar, sehingga slot time atau waktu tayang nan tersedia tak mudah dilepas begitu saja.

Media nan lupa akan kode etik jurnalistik wartawan Indonesia. Karena telah menguasai sedemikian rupa ruang publik nan tersedia dalam kerangka negara-bangsa. Dengan memberikan sedikit porsi kepada kearifan lokal tradisional. Masyarakat lama, tergantikan oleh masyarakat baru. Hal ini lebih rumit dari nan dibayangkan para peneliti positivis bahwa gejala ini hanya gejala perubahan sosial biasa.

Urbanisasi desa kota, pelebaran suburban-downtown, pembentukan kelas menengah baru, ekses atau karena dampak dari kejutan sosial (shock culture), sampai ke wacana globalisasi dan demokrasi, lebih dari mempertanyakan apakah hal semacam itu patut dibiarkan ke dalam masyarakat nan sekian abad memiliki karakteristik khas tradisional nan arif.

Media dapat menjadi pembawa masalah, dan media nan tidak beretika membawa masalah lebih besar, dan wartawan dari media nan tak beretika ialah sumber masalah itu sendiri. Wartawam nan paling profesionalpun memulainya dengan kredo wartawan bodrek.

Karena pernahkah Anda dijahili wartawan bodrex? Ya, itu insinuasi bagi wartawan gadungan nan kerjanya memeras narasumber. Nah, ada juga wartawan nan mencomot hasil karya orang lain tanpa menyebut namanya (plagiasi). Plus wartawan nan terlalu menguntungkan pembayarnya.

Semuanya itu berlawan dengan kode etik jurnalistik wartawan Indonesia. Bahkan, penelitian Aliansi Jurnalis Independen menyebut 85 persen wartawan Indonesia tak memahami kode etik jurnalistik. Sungguh, fakta nan memprihatinkan. Tak pelak lagi, profesi wartawan nan mulia kadang dianggap remeh oleh narasumber. Padahal, banyak juga wartawan nan taat aturan.



Apa itu Kode Etik?

Kode etik jurnalistik itu sendiri dirumuskan di kongres Persatuan Wartawan Indonesia pada tahun 1947 di malang. Hingga pada 2006, disepakati bersama kode etik jurnalistik oleh banyak organisasi wartawan. Mengutip Alex Sobur.

“Jurnalistik ialah suatu pekerjaan nan meminta tanggung jawab wartawan dalam menjalankan profesinya. Untuk memenuhi tanggung jawabnya ini maka wartawan harus memenuhi etika profesi yaitu Kode etik wartawan Indonesia (KEWI), alinea pertama, nan berbunyi

…Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan buat landasan moral/etika profesi nan menjadi panduan operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.” Pada butir kelima KEWI ini juga disebutkan “Wartawan Indonesia tak menerima suap dan tak menyalahgunakan profesi” (Sobur, 2001:103).

Berangkat dari pemikiran bahwa wartawan harus memiliki pedoman (guidance) ketika menjalankan tugas. Sama seperti profesi lainnya, dokter, akuntan, dst kode etik wartawan mengatur kepantasan, kepatutan, atau keelokan.

Kode etik menjadi penting sebab kebebasan wartawan dapat kebablasan tanpa ada pengaturan nan jelas. Penggunaan kode etik akan meminimalisir potensi konflik dari suatu berita. Misalnya, ketika suatu pihak tak bahagia atas suatu warta nan menyangkut dengan dirinya boleh menggunakan hak jawabnya di media tersebut. Atau, ketika terjadi kekeliruan dalam penulisan berita, esoknya sudah terpampang ralat, klarifikasi, dsb.



Pasal Kode Etik
  1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat buat memperoleh informasi nan benar
  2. Wartawan Indonesia menempuh tata cara nan etis buat memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan bukti diri kepada sumber informasi
  3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran serta tak melakukan plagiat
  4. Wartawan Indonesia tak menyiarkan informasi nan bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tak menyebutkan bukti diri korban kejahatan susila
  5. Wartawan Indonesia tak menerima suap dan tak menyalahgunakan profesi
  6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sinkron kesepakatan
  7. Wartawan Indonesia segara mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab


Penerapan Kode Etik

Kode etik jurnalistik wartawan Indonesia tak bersifat memaksa. Penerapannya bergantung pada individu masing-masing. Jadi, penerapan kode etik oleh Wartawan Indonesia ini sulit dimonitor. Institusi pers atau organisasi pers nan menaungi wartawan hendaknya memberi hukuman (indispliner) ketika menemukan wartawannya melanggar kode etik.

Sekali lagi, penerapan kode etik muncul dari rasa tanggung jawab wartawan itu sendiri. Jadi, mendorong penerapan kode etik jurnalistik wartawan Indonesia harus dimulai dari individu wartawan, media, baru ke lingkup masyarakat.