Istilah Redenominasi dan Gunting Syafrudin
Anda sudah pernah mendengar sebuah kebijakan nan bernama Gunting Syafrudin , bukan? Atau belum sama sekali? Kebijakan ini telah ada di Indonesia dalam sejarah perekonomian sejak setengah abad silam. Saat itu tengah terjadi pergolakan nan memunculkan berbagai permasalahan terkait masalah perekonomian negeri nan morat-marit.
Munculnya Kebijakan Gunting Syafrudin
Kemerdekaan Indonesia pada akhir tahun 1949 mengalami berbagai goncangan. Kembalinya Belanda dengan membonceng tentara NICA ke indonesia (1947) telah menimbulkan berbagai ketegangan dan beberapa peristiwa, antara lain ialah melambungnya harga dan tingginya inflasi, sementara negara ini masih terpuruk oleh hutang nan sangat banyak.
Syafrudin Prawiranegara nan kala itu menjabat sebagai menteri keuangan pada Kabinet Hatta II, mulai memutar otak buat menghasilkan taktik nan cepat dan tepat. Pada tanggal 22 maret 1950 pukul 20.00, kebijakan nan disebut-sebut dengan kebijakan gunting ini mulai diberlakukan. Mengingat nan membuat kebijakan ialah Syafrudin Prawiranegara maka diakhir nama kebijakan ini dibubuhi nama Syafrudin.
Lalu mengapa kebijakan ini dinamakan dengan kebijakan gunting? Hal ini berkaitan dengan latar kebijakan serta proses nan dilalui oleh kebijakan itu sendiri yaitu dengan menggunting uang merah (uang NICA) dan uang de javasche bank nan digunting menjadi dua.
Gunting nan dimaksud ialah pemangkasan terhadap harga uang nan tadinya tertera 5 gulden namun pada kenyataannya hanya bernilai setengah dari nilai uang. Namun kebijakan ini tak berlaku buat uang ORI.
Pada waktu itu pemerintah nan tengah dianut oleh NKRI, masih dalam keadaan RIS nan terbentuk setelah Belanda kembali ke Indonesia diboncengi NICA. Kedatangan NICA nan sempat mengotak-atik negara kesatuan ini mengakibatkan multiefek, di antaranya pda bidang perekononian Indonesia.
Kerugian demi kerugian Indonesia residu perang membuat negara kelimpungan. Usut demi usut, ternyata salah satu imbas terbesar ialah timbulnya inflasi . Pada saat itu telah ditargetkan uang nan beredar hanya 2,5 milyar, sementara nan telah tersebar di tanah air telah mencapai 3,9 milyar, hal itu ternyata sudah sangat, melebihi target, buat itulah uang ditarik. Penarikan uang inilah nan kerap dikenal dengan pengguntingan nilai uang.
Operasi Gunting Syafrudin di Masa Awal
Tercetusnya kebijakan gunting oleh Syafrudin Prawiranegara ternyata menghasilkan berbagai pro kontra. Sebagai sebuah kebijakan tentu warta ini sangat cepat tersebar dalam masyarakat. Selain cara ini membuat masyarakat kesusahan lantaran nilai uang mereka hanya berlaku setengah, kebijakan ini juga perdana di Indonesia sebab memang belum pernah ada sebelumnya.
Ada dua bentuk pengguntingan uang, yaitu gunting kiri dan gunting kanan. Pengguntingan di kiri hanya berlaku hingga tanggal 9 Agustus, dengan ketentuan bernilai setengah. Mulai tanggal 22 Maret sampai tanggal 16 April gunting kiri harus segera ditukarkan ke bank , jika melewati batas tanggal nan ditentukan tersebut, pengguntingan uang pada bagian kiri dalam nilai setengah sudah dianggap tak berlaku seiring dengan tak berlakunya uang nan digunting di kiri.
Sementara gunting kanan hanya bernilai obligasi sebesar setengah dari harga uang semula nan akan dibayar setelah 40 tahun kemudian, pertahun dikenai suku kembang 3%. Di samping itu, guntingan uang ini juga berlaku buat simpanan nan terdapat di bank, penyimpanan Rp 2,50 ke bawah tak mengalami pengguntingan harga, termasuk dengan uang ORI (Oeang Rakyat Indonesia).
Sebenarnya seminggu sebelum kebijakan gunting ini, Syafrudin juga telah mengeluarkan suatu kebijakan nan disebut dengan Sertifikat Devisa (SD), nan diberlakukan terhadap aplikasi ekspor impor di tanah air ini.
Dalam aplikasi ini diadakan penekanan terhadap impor dan dilakukan pendorongan terhadap ekspor . Dengan anggaran main eksportir akan mendapat uang sebanyak harga barang dan memperoleh sertifikat devisa nan berasal dari 50 % harga ekspornya.
Sementara itu, orang nan akan menimpor harus mematuhi beberapa peraturan seperi harus membeli sertifikat devisa seharga jumlah barang nan akan diimpor, selain itu juga harus menyediakan uang sebanyak harga barang nan akan dibeli, dan ini ialah ketentuan nan ditetapkan oleh pemerintah.
Awalnya kurs ditetapkan 200% oleh pemerintah, nan berarti bahwa setiap pembelian sertifikat devisa seharga Rp 10.000 harus membayar sebanyak Rp 20.000, dan peraturan ini bisa berubah kapan saja seiring dengan naik-turun perkembangan pasar. Sementara buat pemakai devisa dikenakan kurs 300% dalam ketentuan selisih nan didapat masuk ke dalam kas pemerintah.
Pro kontra nan sukses dituai oleh dua kebijakan ini memang diakui pula oleh Syafrudin. Di sisi lain, Syafrudin juga mengatakan bahwa tindakan sertifikat devisa sangat memberatkan para importir, namun pertimbangan ini dibuat atas kepeduliaannya pada petani nan telah bekerja ekstra.
Dan ternyata hasilnya cukup gemilang, harga pasar tak naik, rupiah menguat sementara itu kantong negara mengalami peningkatan berlipat-lipat. Uang negara yag awalnya 1,871 milyar rupiah, dalam waktu nan cepat berubah menjadib 6,990 milyar rupiah. Hal itu sangat fantastis, dan sejak itu pulalah kebijakan ini mendapat sorotan positif baik dari jenjang pemerintahan hingga masyarakat luas.
Istilah Redenominasi dan Gunting Syafrudin
Terbukti gemilangnya sebuah kebijakan gunting sungguh diakui oleh bangsa ini, meskipun sebelumnya bertubi-tubi dihujani protes. Begitulah cobaan nan harus diterpa sebuah pilihan nan pada dasarnya belum pernah ada, namun pertimbangan nan matang akan terasa hampa jika belum ada realisasi nyata.
Syafrudin sebagai pencetus memang patut diacungi jempol lantaran konsepnya nan luar biasa harus mengalami berbagai rintangan, namun keyakinan dan keberaniannya malah mengantar Indonesia buat menyorotnya sebagai pahlawan khususnya buat global ekonomi Indonesia.
Indonesia mulai kuat kembali, roda perekonomian berjalan lebih baik dan masyarakat generik mulai tersenyum. Semua berkat kebijakan gunting nan bejalan sinkron dengan target, Syafrudin pun dapat tersenyum lega.
Kebijakan gunting mengusung konsep pemangkasan nilai uang, nan artinya satuan harga nan tertera hanya dihargai setengah saat berlaku dengan ketentuan batasan tanggal tertentu. Kebijakan ini lahir atas dongkrakan peredaran uang nan melebihi sasaran sementara khas kosong. Itu artinya terjadi penurunan nilai mata uang atau inflasi nan akhirnya menyebabkan harga tinggi.
Intu berbeda dengan redenominasi atau sebuah penetapan kembali nominasi nan terdapat pada uang. Contohnya pada nominasi lama Rp 1.000 maka saat diredenominasi menjadi Rp 1, dengan artian harga seribu nan tadinya ada, berubah menjadi satu. Konsep ini sebenarnya sudah pernah ada di Indonesia.