Kewajiban Suami Ketika Poligami
Poligami menurut hukum Islam sebenarnya dimaksudkan buat melindungi janda-janda miskin dan anak yatim. Dengan memberikan izin buat praktik poligami, Islam berharap agar kehidupan janda-janda miskin dan anak-anak yatim tersebut dapat lebih baik. Selain itu, dengan dinikahi secara sah, keberadaan janda-janda tersebut dapat terhindar dari fitnah.
Konsekuensi dari izin ini ialah mendahulukan buat menikahi janda nan paling lemah, paling miskin, dan nan paling tak menarik secara fisik. Jangan lupa, masih ada persyaratan lain nan juga penting. Selain harus mampu secara ekonomi, seseorang nan akan melakukan poligami diharuskan dapat bersikap adil kepada istri-istrinya.
Ukuran adil ini bergantung pada apa nan dirasakan tiap-tiap istrinya, bukan pada apa nan dirasakan sang suami. Nah, apabila Anda merasa sanggup buat memenuhi persyaratan tersebut, silakan mulai bicarakan dengan istri bahwa Anda memiliki niatan buat melakukan poligami menurut hukum Islam.
Dilema Janda dan Poligami
Menjadi janda ialah mimpi jelek bagi tiap wanita. Selain dipergunjingkan, cacat negatif dilekatkan padanya. Inilah sisi jelek manusia, nan tak dipunyai oleh hewan sekalipun. Sebuas-buasnya hewan, dia tak pernah menggunjingkan hewan nan lain. Menjadi janda seperti hayati berdekatan dengan bara fitnah.
Panas dan menyakitkan hati. Ketika keluar rumah, jadi bahan pembicaraan. Tidak pernah keluar rumah, malah dibilang stres. Sedikit dan bersikap ramah, dikira genit. Tdak pernah dandan dan sporadis bicara, dituduh putus asa. Mau kawin lagi, dipermasalahkan. Tidak kawin-kawin, dipersoalkan. Bahkan, dapat jadi, tanpa karena nan jelas seorang janda dapat disisihkan dari pergaulan dan segala aktivitasnya disorot.
Selain harus menghadapi persoalan tersebut, seorang janda dipaksa buat bisa mencari penghidupan sendiri serta merawat dan mendidik anaknya sekaligus. Ada kalanya, dia harus mengambil keputusan dan tindakan krusial tanpa dapat meminta pertimbangan pada orang lain. Segala persoalan keluarga dia sendiri nan harus memikir dan mencari solusinya.
Misalnya, genting bocor, got mampet, bangkai tikus, anak berkelahi, sampai berbagai cicilan nan harus dibayarnya. Karena persoalan sosial, ekonomi, biologis, dan psikologis, nan dialami seorang janda sangatlah kompleks, apabila seorang lelaki sanggup memenuhi persyaratan, diberikan izin buat melakukan poligami menurut hukum Islam , terutama buat menikahi janda.
Kesemuanya itu dimaksudkan buat melindungi janda tersebut secara lahir maupun batin. Bukan sekadar buat melampiaskan nafsu dan kesenangan. Ironisnya, praktik poligami nan dimaksudkan buat melindungi janda ini, adakalanya malah melahirkan janda-janda baru
Niat “mulia” poligami ini jadi kehilangan makna ketika pada akhirnya anak kandung terluka dan istri tersakiti serta lebih memilih menjadi janda. Pertanyaannya kemudian, siapa nan terlindungi dan siapa nan terlantar sebab poligami?
Lakukanlah Poligami nan Sah
Banyak juga orang melakukan poligami nan tak resmi, yaitu dengan nikah siri. Bila dipandang dari hukum Islam, nikah siri memang dihalalkan, tapi dari sisi adminstrasi negara ialah hal nan melanggar. Pemerintah mewajibkan terdaftarnya pernikahan lebih didasari pada kemashalahatan wanita dan anaknya. Pasalnya, bukan tak mungkin ada laki-laki melakukan poligami dengan berbohong.
Ia mengatakan telah mendapat izin dari isterinya, namun nyatanya tak demikian. Atau dapat jadi, ia mengatakan masih bujangan, padahal ternyata sudah menikah. Tentu saja ini sangat mencederai wanita. Ia merasa ditipu oleh suaminya. Ini masih dari masalah wanita.
Demikian halnya dengan anaknya. Jika anaknya kelak mau masuk sekolah akan mengalami kesulitan. Pasalnya, salah satu syarat buat dapat sekolah harus memiliki akte kelahiran. Jika orang tuanya menikah dengan cara ‘di bawah tangan’, maka akan kesulitan buat mengurusnya.
Prores pengurusan akte kelahiran mesti melampirkan tanda bukti buku nikah. Jika tak ada, bagaimana dapat dicatatkan akte nikahnya. Maka dari itu, nikahilah wanita dengan tertulis dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Banyak hal krusial mengapa poligami tetap harus dilakukan dan dicatat di Kantor Urusan Agama. Sekali lagi penulis menyatakan, bahwa poligami menurut hukum islam ialah boleh. Bukan sunnah ataupun wajib. Dan penulis menganjurkan buat mencatatkan pernikannya di kantor urusan agama.
Kewajiban Suami Ketika Poligami
Seorang suami nan melakukan poligami hendaknya mengerti akan kewajibannya. Karena bolehnya poligami menurut hukum Islam tidak terlepas adanya hak dan kewajiban suami. Yang paling mendasar, bahwa suami mesti adil terhadap kedua isterinya.
Adil di sini hendaknya dalam hak fisik maupun psikisnya. Hak fisik nan dimaksud adalalah, dalam hal urusan nan berhubungan dengan biaya hidup. Suami harus dapat membagikan biaya hayati nan layak. Jangan sampai ada disparitas nan mencolok antara keduanya.
Penulis pernah menyaksikan sendiri seorang suami nan melakukan poligami. Ia memberikan perlakuan nan tak wajar. Dalam hal materi nan diberikan tak sebanding. Ia lebih sayang kepada isteri nan kedua ketimbang isteri nan pertamanya. Ia selalu membelikan apa nan dibutuhkan oleh isterinya nan kedua, sedang buat isterinya nan pertama ia selalu memberikan perbedaan.
Selain itu, dalam hak psikis yaitu hak tinggalnya juga berbeda. Ia lebih suka tinggal di rumah isteri nan kedua ketimbang tinggal di rumah isterinya nan pertama. Ini tentu saja tak adil. Harusnya ia memberikan jatah gilir tinggal di rumah isteri dengan teratur. Meski kelihatan masalah gilir ialah masalah sepele, namun tetap saja menjadi bagian dari hal nan harus dipenuhi oleh suami.
Bagi para suami nan ingin atau bahkan sudah berpoligami cobalah renungkan hadis Rasulullah Saw., “Siapa nan mengawini dua perempuan, sedangkan ia tak dapat berbuat adil kepada keduanya, pada hari kiamat nanti separuh tubuhnya akan terlepas dan terputus.”
Benarkah Poligami itu Sunnah?
Bagi pro poligami kerap menyatakan bahwa poligami ialah sunnah. Dengan dalil mengikuti apa nan dilakukan Nabi Saw. dan diperkuat dengan surat An-Nisa’ ayat 2-3.
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar nan baik dengan nan buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hakmu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu ialah dosa nan besar.
Dan jika kamu risi tak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) nan kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu risi tak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan nan kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tak berbuat zhalim”.
Sejatinya, tak ada dalil nan menunjukkan kesunnah-an melakukan poligami. Yang ada hanyalah boleh melakukannya. Jika sunah, kenapa Allah memberikan ‘ultimatum’, jika tak dapat adil hendaklah menikahi satu orang saja.
Selain itu, bila melihat sejarah Rasulullah Saw. Rasul baru melakukan poligami setelah meninggal Khadijah ra. Sekitar 28 tahun Rasulullah Saw. monogami. Lalu mengapa begitu mudahnya sebagian orang menyatakan bahwa poligami sunnah. Jika sunnah, kenapa di saat Rasulullah Saw. sudah tua baru melakukan poligami?
Cukup banyak pertanyaan nan dapat diajukan buat membantah pendapat kelompok nan menyatakan bahwa poligami ialah sunnah. Sekali lagi penulis mengatakan bahwa poligami ialah boleh hukumnya. Maksudnya, tak ada kewajiban dan ganjaran pahala di dalamnya.
Apalagi bila melihat penyebab Rasulullah Saw. melakukan poligami, makin pahamlah tentang hukumnya. Rasulullah Saw. hanya menikahi wanita-wanita nan sudah tak ada suaminya demi menyelamatkan masa depan anaknya. Jadi intinya, aplikasi poligami terjadi lantaran adanyta alasan sosial.
Bila alasan tersebut sudah tak ada, apakah masih ada kewajiban melakukan poligami? Jadi Rasulullah Saw. melakukan poligami bukan dilandasi oleh keinginan nafsunya. Ia melakukan poligami demi menyelamatkan nasib anak nan berada di tangan janda tersebut.
Sejatinya, mensunnahkan poligami hanya semata-mata mengikut Rasulullah tentu penetapan hukum nan tak berdasar. Karena hukum berada pada poros kondisi. Jika berubah kondisi dan masa, maka dapat jadi hukum mengalami perubahan. Jika Rasulullah saw. melakukan poligami lantaran kondisi wanita janda nan memiliki anak kesulitan buat memenuhi kebutuhan hidupnya oleh Rasulullah Saw. dinakihinya.
Pertanyaannya, apakah para pelaku poligami memikirkan hal ini? Jangan-jangan mereka melakukan poligami lebih dilandasi oleh keinginan nafsunya. Bukan dilandasi buat menyalamatkan kondisi janda dan anaknya tersebut. Hal ini bisa dilihat dari apa nan terjadi di kalangan nan melakukan poligami.
Maka dari itu, penulis lebih sepakat menyatakan bahwa poligami menurut hukum Islam ialah boleh, bukan sunnah maupun wajib. Semoga artikel ini bermanfaat bagi sobat Ahira.