Ironis Politik

Ironis Politik

Sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memang selalu menarik dan menggelitik, terlebih lelucon Gusdur . Namun, terkadang membawa kisah ironis tersendiri. Bagaimana tidak, lelaki kelahiran Jombang Jawa Timur pada 4 Agustus 1940 nan kini sudah almarhum ini, sempat membuat geger demokrasi Indonesia. Gus Dur nan secara fisik tak sempurna, sukses memenangi pemilu presiden pada 1999 bersama Megawati Soekarno Putri sebagai wakilnya.

Sungguh disayangkan, gebrakan politik nan dilakukan Gus Dur di era awal pemerintahannya membuat banyak orang geleng-geleng kepala sebab heran dan akhirnya tak lagi menaruh simpati. Baru delapan bulan menjabat, Gus Dur sudah dilengserkan rakyat Indonesia. Bagaimana sepak terjang sosok Gus Dur nan penuh lelucon itu saat menjabat presiden?



Tukang Guyon

Berbicara Gus Dur, warga kaum Nahdhatul Ulama (NU) tak akan dapat melepaskan kiprah sosok Kiai Haji Hasyim Asyari, sang pendiri NU, nan tak lain ialah kakek Gus Dur.

Inilah tampaknya nan menjadikan Gus Dur mempunyai basis massa banyak dan tak diragukan loyalitasnya. Terlebih, kultur masyarakat Indonesia, dalam hal ini Jawa, menghormati keturunan kiai sama saja menghormati kiai itu sendiri. Tidak heran jika warga NU sangat banyak ditemui di Jawa dan mereka termasuk pengikut fanatis.

Hidup di tengah lingkungan pesantren, menjadikan Gus Dur sosok kiai nan harus ditaati sampai kapan pun. Membela Gus Dur sampai wafat dapat saja dilakukan para warga NU. Namun, di balik semua itu, Gus Dur ialah sosok nan nyeleneh , tetapi diakui kecerdasannya. Hingga menjabat sebagai presiden pun ia kerapkali melontarkan guyonan-guyonan khasnya.

Sayangnya, sebagian efek guyonan ini pulalah nan menjadikan Gus Dur harus lengser sebab dinilai bercanda dalam mengurus negara.



Anugerah Demokrasi

Keberadaan Gus Dur nan mampu menjadi presiden dengan keterbatasan fisiknya, oleh Barat, disebut-sebut sebagai anugerah dan mukjizat sebuah demokrasi. Global terkagum dan bangga.

Mereka berharap Gus Dur nan tak lain ialah seorang kiai mampu menjadi contoh pertama nan memimpin demokrasi di Indonesia. Bahkan, The New York Times sebagai harian terhebat di Amerika memposisikan Gus Dur di loka krusial mengalahkan Sri Paus dan Dalai Lama di Tibet. Namun, kiprah Gus Dur ternyata tak lama.



Ironis Politik

Setelah diangkat sebagai mukjizat demokrasi, Gus Dur pun disebut-sebut sebagai pencatat ironis dalam global demokrasi. Era Gus Dur disebut sebagai era tercepat lengser. Gus Dur dinilai tak punya visi dan misi nan jelas dalam menjalankan pemerintahannya.

Selain itu, ia kerapkali memancing suasana menjadi memanas. Setiap kali ada problematika dalam pemerintahan, Gus Dur tak segan-segan menyebut siapa dalangnya. Pada termin tertentu, hal ini bagus buat seorang presiden. Namun, jika dilakukan tanpa kontrol hingga overdosis, nan terjadi ialah ketidaksimpatian rakyat sendiri.

Akhirnya, Gus Dur pun harus melepaskan jabatannya di hadapan para mahasiswa saat ia hanya mengenakan celana pendek dan sandal jepit, oleh sebagian orang disebut sebagai simbol kesederhanaan Gus Dur. Rakyat kemudian merindu pemimpin nan bervisi jelas, bukan kiai nan bahagia dengan guyonan semata.



Gus Dur dan Pernyataan “Gitu aja kok repot!”

Gus dur bukanlah Gur Dur bila tak melontarkan pendapat nan menggegerkan. Sudah menjabat sebagai presiden pun, kebiasaannya melemparkan pernyataan atau pendapat umumnya kontroversial berlangsung.

Gusdur selalu menyebutkan kata-kata, “Gitu aja kok repot!”. Kata-kata ini bukan tanpa sebab. Menurut KH. Mustofa Bisri, Gus Dur selalu menyebutkan kata-kata tersebut sebagai reaksinya terhadap cara berpikir seseorang nan belum tentu disepakati oleh semua orang.

Berikut petikan kalimat nan ditulis KH. Mustofa Bisri dalam bukunya “Gus Dur Garis Miring PKB” mengenai pernyataan Gusdur “Gitu aja kok Repot”.

Orang lain mungkin ada nan berpikir, sesuatu nan diyakini sahih atau baik, belum tentu sahih dan baik dilakukan. Gusdur aku kira tak begitu. Bila dia meyakini apa nan dikatakan benar, di akan mengatakannya. Bila dia konfiden sesuatu baik dilakukan, dia akan melakukannya. Kalau dia sangat konfiden –biasanya jika ada semacam dukungan dari beberapa kiai sepuh nan higienis hatinya dan tak punya pamriha apa pun – dia akan ngotot.

Orang nantinya tak setuju, ya biar. Dia sendiri kan juga sering tak setuju pendapat atau sikap orang lain. Kalau orang lain nan tak setuju juga ngotot? Ya, adu argumen. Gitu aja kok repot!"

Di antara pendapat Gus Dur nan menimbulkan reaksi protes banyak orang adalah, ihwal pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang embargo Komunisime, Leninisme, dan Marxisme. Gusdur ketika menyampaikan pendapatnya tersebut tak mempertimbangkan reaksi orang terhadap pendapatnya itu, terutama reaksi orang nan sejak awal tak menyukainya.

Gusdur kelihatan cuek , kalau pun pendapatnya itu dapat dijadikan senjata bagi mereka nan tak menyukainya buat menyerang atau menyudutkannya. Ujung-ujungnya Gus Dur biasanya akan menyatakan, ‘Saya toh cuma menyampaikan pendapat’.



Sikap Gus Dur Selalu Menimbulkan Pro-Kontra

Boleh jadi orang Indonesia sepakat tentang Gus Dur hanya dalam satu hal, yaitu bahwa dia ialah tokoh kontroversial tulen. Cukup banyak julukan orang untuknya. Mulai dari nan baik-baik hingga nan buruk-buruk. Namun Gus Dus cuek saja.

Sampai saat ini, pesti belum ada orang nan dapat menandingin Gus Dur dari sisi memiliki banyak julukan. Karena banyaknya pergaulan nan diikutinya dan perhatian Gus Dur terhadap kelompok lain tentu sangat peran dalam hal banyaknya mendapatkan julukan.

Ada nan menjulukinya sebagai orang nan humanis ketika Gus Dur begitu fanatik dan gigihnya dengan sikapnya selalu memuliakan orang lain. Ada nan menjulikinya sebagai nasionalis ketika Gus Dur begitu mencintai negeri ini seperti apa nan pernah dilakukan orang tua dan kakeknya.

Ada juga nan menjulukinya sebagai artis ketika melihat kiprahnya di bidang kesenian dan budaya, apalagi ia pernah menjabat sebagai ketua DKJ dan juri FFI. Ada juga nan mengklaimnya sebagai cendikiawan dan pemikir ketika ia selalu disaksikan sebagai pembicara dalam seminar-seminar nasional dan menuliskan pemikiran-pemikirannya.

Pendek kata, sebab pergaulan dan perhatiannya sedemikian luas, sebagai publik figur, Gus Dur pun mendapat julukan macam-macam.

Acapkali terjadi, satu sikap Gus Dur dipandang berbeda oleh dua pihak nan berlawanan. Yang suka memandangnya sebagai hal nan positif dan nan tak suka tentu saja memandangnya negatif. Maka jangan heran bila suatu ketika Gus Dur dicap plin-plan oleh satu pihak dan dalam ketika nan sama, pihak lain mengatakan bahwa Gus Dur sedang melakukan strategi sinkron srateginya.



Cerita Tanggal Lahir Gus Dur nan Kontroversial

Di dalam buku “Gus Geer: Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa” dimuat kisah tentang tanggal lahir Gus Dur nan kontroversial. Dikatakan bahwa Gus Dur lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam pada tahun 1940. Tepatnya di daerah Denanyar, Jombang.

Namun peristiwa tanggal kelahiran Gus Dur menjadi kontroversial ketika ia masuk sekolah. Saat itu Gus Dur mendaftarkan diri sebagai siswa di sebuah SD di Jakarta. Gus Dur ditanya oleh pihak sekolah, “Namamu siapa Nak?”

“Abdurrahman,” jawab Gus Dur.

“Tempat dan tanggal lahir?”

“Jombang….,” jawab Gus Dur, kemudian terdiam beberapa saat.

“Tanggal empat, bulan delapan, tahun 1940,” lanjutnya.

Gus Dur agak ragu. Rupanya, saat itu Gus Dur sedang menghitung tanggal dan bulan kelahirannya, Gus Dur hanya ingat bulan Hijriyahnya, yaitu bulan arabnya. Dia tak ingat bulan masehinya.

Gus Dur ketika itu hanya ingat kalau dia lahir di bulan Sya’ban. Dalam kalendar Arab, Sya’ban ialah bulan kedelapan. Lalu guru mengingatnya dengan bulan masehi, yaitu bulan Agustus.

Maka sejak itu, Gus Dur dianggap lahir pada tanggal 4 Agustus 1940. Padahal sebenarnya, ia lahir pada tanggal 7 September 1940.

Nama panjang Gus Dur ialah Abdurrahman Addakhil. Namun belakangan “Addakhil”nya diganti dengan “wahid”. Karena ia sebagai anak kyai, maka ia dipanggil dengan sebutan Gus.

Gus Dur ialah anak pertama dari enam bersaudara. Gus Dur lahir dari keluarga terhormat. Karena kakek dari ayahnya, K.H Hasyim Asy’ari ialah tokoh pendiri Nahdatul ulama. Sedangkan kakek dari Ibunya ialah K.H Bisri Syamsuri, tokoh agama terkenal juga pada waktu itu.

Sedangkan ayah Gus Dur, K.H Wahid Hasyim ialah tokoh gerakan nasionalis dan pernah menjabat sebagai menteri Agama pada tahun 1949.

Inilah artikel sederhana nan mengupas tentang lelucon Gusdur nan terkenal dengan “Gitu aja kok repot” dan sejarah singkat tentang dirinya.