Aturan-aturan Kode Etik Jurnalistik
Indonesia, memiliki empat pilar primer penjaga demokrasi dan hukum keteraturan nan ada di dalamnya. Pilar pertama ialah Legislatif, pilar pembuat hukum dan peraturan. Pilar kedua ialah Yudikatif, pilar pengawas peraturan dan hukum. Pilar Ketiga ialah Eksekutif, pilar nan menjalankan hukum-peraturan tersebut di tengah masyarakat.
Adapun pilar keempat ialah Pers. Bila keempat pilar tersebut menjadi korup, unruled . Maka penyangga negara telah hancur dan musnah. Lebih lebih pilar keempat yakni Pers. Masyarakat lebih mendengarkan masukan dari para jurnalis, dibandingkan dengan negara, sebab jurnalis lebih cepat lebih tepat dalam memberikan kebutuhan informasi publik. Namun bila terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik nan mereka untuk sendiri, maka telah terjadi situasi korup.
Kejadian luar biasa begitu menghentak pers telah ikut menjadi korup. Jurnalisme telah mengkhianati masyarakatnya. Menyebarkan warta bohong, dan kecemasan.
Maka sudah selayaknya bila masyarakat akan berada dalam titik kepercayaan diri paling rendah terhadap informasi. Masyarakat menjadi chaos , saling curiga antartetangga, sebelum akhirnya terjadi konflik horisontal, seperti perang saudara dan kriminalitas nan merajalela.
Hanya orang bodoh dan tidak berakal, nan membiarkan semua itu terjadi. Pada saat masyarakat sedang tergerak buat melakukan pemugaran diri, pembersihan diri dari korupsi, di setiap aspek. Sementara para jurnalis malah terjerumus di dalam praktik kotor, kebohongan, dan memuat warta menghasut, maka sudah selayaknya para pengkhianat itu dihukum setimpal.
Kebebasan Pers
Pers dan jurnalistik sering kali dilindungi oleh kesepakatan generik tentang kebebasan pers. Namun kesepakatan itu bukan berarti membuat para jurnalis tak tersentuh hukum. Indonesia merupakan negara nan memperhatikan keadilan bagi para jurnalis dalam pekerjaanya. Anggaran main, etika, telah diperundangkan oleh masyarakat demi terjaminnya kebebasan pers nan penuh disiplin.
Pers di Indonesia memiliki UU Pers No. 40 tahun 1999 dan Undang-undang Penyiaran No. 23 Tahun 2002. Seharusnya, keberadaan Undang-undang itu menjadi panduan buat menjamin pers nan berkualitas. Namun dikarenakan hampir tak ada pengadilan buat pers melalui perundang-undangan nan telah disediakan. maka baik masyarakat maupun pers sendiri, merasakan dampak fatal.
Pers selalu diadili dengan menggunakan pasal karet KUHP tentang pencemaran nama baik. Tindakan tersebut, merupakan hal nan hanya menghancurkan prosedur kerja jurnalistik, melainkan juga tak memberikan nilai positif bagi kedua belah pihak. Ditambah lagi dengan istilah, penyelesaian secara kekeluargaan nan sangat galat bila dihadapkan kepada hukum pers. Karena pers berdampak luas kepada khalayak, dan bukan persoalan pribadi nan sempit.
Pelanggaran Kode Etik
Semua terjadi ketika sistem kerja kejurnalistikan memberi peran buat menghasilkan para jurnalis nan malas dan tak fight . Akar kemalasan itu biasanya, dari jumlah upah nan jurnalis terima. Menjadikan pekerjaan mereka cenderung asal dan menggunakan jalan pintas.
Bila mana jalan pintas itu ternyata berujung pada keran gratifikasi, maka jurnalis pun ikut-ikutan mengikuti insting ekonominya, dan menikmati suap. Lalu bertebaranlah, para jurnalis gadungan, alias wartawan amplop nan sekadar ingin ikut menikmati fasilitas uang saku nan disediakan oleh setiap instansi baik pemerintahan maupun swasta. Kemalasan mereka membawa kepada sarang madu nan disediakan oleh pihak berkepentingan, membawa jurnalis menjadi tumpul, buta, dan bisu.
Meski demikian, jurnalis juga manusia. Sudah selayaknya para jurnalis, diberikan pula agunan nan lebih rewarding terhadap fungsi kerja mereka. Sampai saat ini, kejahteraan jurnalis tak jauh lebih baik, dibandingkan dengan kesejahteraan para guru.
Ada jurnalis nan dibayar, 5.000 rupiah per berita. Meskipun bagi jurnalis sendiri, profesi ini memang profesi nan sama mulianya dengan para pendeta atau ulama di mata sesama manusia. Karena mereka menjaga stabilitas masyarakat dalam hubungannya sesama masyarakat.
Oleh karenanya, pengkhianatan para jurnalis terhadap kode etik, sama saja dengan dosa seorang ulama atau rahib. Tapi lebih berdosa lagi, bila mereka tak mampu mengisi perutnya. Sehingga terdapat konklusi umum, bahwa praktik kode etik nan ketat, juga dibarengi dengan peningkatan imbalan kepada profesi ini.
Aturan-aturan Kode Etik Jurnalistik
Kita sama-sama tahu bahwa media massa sering disebut pilar keempat dalam demokrasi. Media massa menjadi pengimbang nan tidak dapat dianggap sepele dari kekuasaan-kekuasaan lain di tataran taraf eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Menjadi seorang wartawan ialah menjadi pengemban tugas krusial dalam sebuah negara. Namun, wartawan sebagai salah satu profesi kerap kali menemukan benturan-benturan dalam ranah prakteknya.
Sering kita temui wartawan nan menyalahgunakan statusnya sebagai jurnalis buat kepentingan-kepentingan nan menguntungkan pribadi atau kerap melakukan hal-hal nan menimbulkan kerugian pada orang lain. Berangkat dari sini, lahirlah apa nan dinamai kode etik jurnalistik.
Profesi Wartawan
Bicara profesi, global wartawan ialah profesi nan tugas intinya melakukan darma kepada masyarakat dalam hal layanan informasi publik.
Ringkasnya, wartawan berkewajiban menyampaikan kebijakan, kondisi, hal-hal, dan lain-lainnya nan perlu diketahi publik. Dalam menjalankan tugasnya, wartawan mendapatkan hak-hak istimewa nan meliputi; pelindungan dari undang-undang tentang kebebasan berpendapat, berhak memakai bahan-bahan, aneka dokumen dan pernyataan pernyataan publik, diperbolehkan menyentuh ranah pribadi seseorang atau public figure dalam mencari informasi seksama sebagai tindak perwakilan mata dan telinga publik, sepanjang tak melanggar kode etik.
Penyelewengan
Sebagai manusia biasa, wartawan bukanlah sosok nan sempurna. Karena banyak hal dan didukung dengan keleluasaan nan telah disebutkan, beberapa oknum wartawan kerap melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik. Kemudian, masyarakat sendiri nan dirugikan.
Ini memang manusiawi sebab merujuk pada kata kekuasan ialah selalu cenderung diselewengkan. Dari sinilah, diperlukan kode etik wartawan buat menghindari tindak-tanduk oknum nan memanfaatkan statusnya sebagai wartawan demi merugikan orang lain.
Kode Etik
Secara bahasa, kode berarti 'simbol atau suatu program pengaturan'. Sementara etik ialah 'moral atau juga etika'. Dengan demikian, kode etik jurnalistik ialah pengaturan-pengaturan tentang etika seorang wartawan dalam melakukan tugasnya sebagai pilar keempat sebuah bangsa.
Secara garis besar, kode etik jurnalistik tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
- Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat buat memperolah informasi nan benar.Wartawan Indonesia menempuh tatacara nan etis buat memperoleh dan menyiarkan infomasi serta memberikan bukti diri kepada sumber informasi.
- Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tak mencampur fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
- Wartawan Indonesia tak menyiarkan informasi bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul serta tak menyebut bukti diri korban kejahatan susila.
- Wartawan Indonesia tak menerima suap dan tak menyalahgunakan profesi.
- Wartawan Indonesia memilih hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sinkron kesepakatan.
- Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Begitulah kode etik seorang wartawan. Sinkron namanya, wartawan ialah orang nan mewartakan kejadian saja. Bukan menambah-nambah dengan opini pribadi. Maka dari itu, wartawan harus menjaga kode etiknya sebagai profesi nan sangat mulia dan mengemban aspirasi rakyat. Semoga bermanfaat.