Kelemahan Dasar Pemain Timnas Indonesia - Faktor Ekspektasi Hiperbola Rakyat Indonesia
Pemain Timnas Indonesia pernah dijuluki sebagai Brazilnya Asia. Bahkan, pada 2011 dan 2012, ada dua pemain Timnas Indonesia nan mendapatkan perhatian spesifik ESPN. Kedua pemain Timnas Indonesia ini disebut-sebut akan menjadi salah satu dari 10 pemain paling potensial di Asia. Mereka ialah Oktovianus Maniani dan Andik Vermansyah.
Namun, kenyataannya, prestasi Timnas Indonesia tak pernah bagus. Kita lebih sering gagal bahkan di taraf ASEAN sekalipun. Klub-klub kita, ketika mengikuti Perserikatan Champions Asia, sudah terbiasa menjadi lumbung gol klub-klub dari Korea Selatan atau Jepang.
Nah, apakah nan menyebabkan keterpurukan sepak bola Indonesia di kancah internasional? Sampai kapankah kita berkhayal akan menembus Piala Dunia? Sebelum membahas hal-hal itu, ada kalanya kita melihat beberapa kelemahan dasar pemain Timnas Indonesia.
Kelemahan Dasar Pemain Timnas Indonesia - Faktor Kedisiplinan
Sepak bola di Indonesia sudah mendarah daging. Setiap hari, mulai dari kakek-kakek hingga cucu-cucunya sekalian, menonton televisi demi menyaksikan klub Indonesia berlaga. Belum lagi ketika Timnas Indonesia tampil. Semangat begitu membara demi mereka nan membela sang merah putih. Namun, nan sering dilupakan, para pemain sepak bola di negeri kita, terutama para pemain Timnas Indonesia, masih begitu kurang dalam hal kedisiplinan.
Sebagai contoh, masih sering kita melihat para pemain Timnas Indonesia, ketika berlaga di klub, bermain kasar terhadap pemain lawan. Ada kalanya mereka melakukan pelanggaran tidak perlu. Yang lucu, keadaan seperti ini dibiarkan saja oleh wasit.
Banyak pemain Timnas Indonesia nan melakukan tackle kasar mengarah kaki pemain lawan, mencekik lawan, hingga menggunting kaki musuh, namun lolos dari kartu. Bahkan menyerang atau meludahi wasit didiamkan saja. Jangankan kartu merah, kartu kuning saja pelit dikeluarkan dari saku wasit.
Alhasil, para pemain Timnas Indonesia nan berlaga di klub, merasa seolah tindakannya sahih atau boleh-boleh saja. Eksesnya ialah ketika para pemain Timnas Indonesia ini bermain di taraf internasional. Kalau di dalam negeri, wasit begitu baik tak memberi kartu kuning atau pelanggaran, lain ceritanya di taraf nan lebih tinggi. Sekali kesalahan saja akan dihadiahi pelanggaran, sekali memprotes wasit saja akan mendapatkan kartu kuning, dan sekali tindakan brutal nan tak diapa-apakan di dalam negeri, akan berbuah pengusiran dari lapangan.
Alhasil, sering kita melihat hujan kartu kuning jatuh kepada para pemain timnas Indonesia ketika memperkuat TImnas Garuda. Anehnya, kadang kala pula kita justru membela pemain Timnas Indonesia nan melakukan tindakan tak perlu tersebut, meskipun jelas ulahnya mencederai sportivitas.
Selain masalah disiplin di dalam lapangan, kedisiplinan di luar lapangan juga berperan penting. Masih banyak contoh para pemain nan mangkir latihan sebab malas. Ada pula seorang pemain Timnas Indonesia nan cedera kaki sebab terkena pecahan kaca saat mengejar ayam (karena ia bertelanjang kaki).
Beberapa pemain nan sudah tampil di televisi dan membintangi sekian iklan, kadang pula merasa tak krusial buat berlatih bersama klub atau timnas. Anehnya lagi, Norma para pemain Ttimnas Indonesia nan seperti ini dibiarkan saja. Tidak ada sanksi tegas dari klub sebab pemain-pemain tersebut begitu krusial perannya di klub atau timnas. Akibatnya para pemain Timnas Indonesia menjadi manja dan tak profesional.
Kelemahan Dasar Pemain Timnas Indonesia - Faktor Ketakutan pada Tim Besar
Jika dari segi kedisiplinan dan keprofesionalan kurang, mental kampiun pun berbicara. Barangkali sebab sekian lama tidak pernah memenangi gelar di taraf senior, para pemain Timnas Indonesia seperti bermental ayam sayur ketika menghadapi tim elit dunia.
Kita masih mengingat laga Indonesia menghadapi Uruguay beberapa waktu silam. Kala itu, Indonesia nan unggul 1-0, dapat dihujani 7 gol hingga laga usai. Bahkan, semestinya bertambah lagi. Bagi kebanyakan orang, mencetak 1 gol buat peringkat ketiga Piala Global 2010 ialah hal istimewa. Namun, terbobol 7 gol oleh siapa pun juga ialah hal konyol buat dibanggakan. Kebiasaan berapologi atas kekalahan inilah nan sudah menggerogoti mental pemain Timnas Indonesia.
Setiap kita melawan Jepang, Cina, atau Korea Selatan, terbobol 4 gol ialah prestasi luar biasa. Padahal, 22-25 tahun sebelumnya, Indonesia masih cukup andal buat menahan ketiga negara besar di Asia Timur itu. Demikian pula, ketika kita menghadapi tim-tim lemah di ASEAN seperti Filipina, Myanmar, Kamboja, atau Laos, kemampuan individu pemain begitu terlihat menawan.
Namun, sekalinya berjumpa dengan Arab Saudi atau negara-negara Arab lain, para pemain Timnas Indonesia seperti kehilangan semangat tempur. Tidak hanya permainan nan lemas, pemain Ttimnas Indonesia seolah diajari bermain bola dan trik mempermainkan mental versus ala negara-negara Arab. Uniknya, Timnas negara Arab ini, berganti diutak-atik sekenanya oleh tim-tim elit dunia. Dapat dibayangkan apa nan terjadi jika pemain Timnas Indonesia berhadapan dengan Inggris, Brazil, Argentina, atau Jerman.
Kelemahan Dasar Pemain Timnas Indonesia - Faktor Ekspektasi Hiperbola Rakyat Indonesia
Kelemahan dasar pemain Timnas Indonesia masih ditambah lagi dengan faktor ekspektasi rakyat nan begitu berlebihan. Sekali kita menang 5-0 atas Kamboja, rakyat merasa kita seolah-olah menjuarai Piala Dunia. Maka, ketika timnas berhadapan dengan negara nan lebih baik seperti Arab Saudi, Qatar, atau Uni Emirat Arab, dan para pemain Timnas Indonesia tidak berkutik, kita buru-buru menyalahkan taktik pelatih, menyalahkan wasit, dan sebagainya. Padahal, kedua versus ini berbeda levelnya.
Dalam sejarah, Kamboja memang selalu menjadi lumbung gol Indonesia. Wajar kalau kita menang besar. Sementara, dalam sejarah pula, tim negara Arab selalu menyulitkan para pemain Timnas Indonesia. Wajar kalau kita kalah (dari segi hasil). Sebagai contoh, ialah kasus perbandingan Alfred Riedl dan WIm Rijsbergen, dua instruktur Indonesia nan pernah menangani para pemain timnas Indonesia pada 2010 dan 2011.
Pada Timnas nan dilatih Alfred Riedl, para pemain Timnas Indonesia terlihat begitu kompak dalam menghadapi lawan-lawan. Permainan menyerang selalu ditampakkan dalam Piala AFF 2010. Namun, jika kita jeli, sejak kemenangan beruntung atas Thailand 2-1 (berkat dua gol penalti Bambang Pamungkas), Indonesia bermain buruk. Mereka memang menyerang, tapi tidak punya penyelesaian akhir mumpuni.
Sementara itu, Wim Rijsbergen ialah instruktur Indonesia di Pra Piala Global 2014. Versus nan dihadapi berada dua-tiga level di atas wakil ASEAN. Dengan mental nan buruk, tim kita kehilangan tenaga dan dihancurkan oleh negara-negara Arab seperti Iran di tahun 2011. Bukan berarti taktik Wim Rijsbergen nan buruk, melainkan level dan kesalahan dasar pemain Timnas Indonesia urusan mental nan lebih berperan.
Ekspektasi hiperbola dari para pendukung Indonesia ini menciptakan adanya dua kubu pendukung. Yang pertama, ialah rakyat Indonesia nan benar-benar mencintai dan menghargai para pemain Timnas Indonesia. Mereka tidak peduli menang atau kalah, nan krusial sudah berusaha maksimal demi negara. Yang kedua, ialah tipe pendukung glory hunter , mereka nan haus gelar semata.
Wajar kalau ketika Timnas bermain buruk, atau dijadikan bulan-bulanan, mereka berubah menjadi pencaci paling ulung para pemain Timnas Indonesia. Sebuah hal nan sesungguhnya sangat ironis. Jika kita memang orang Indonesia, apa pun nan terjadi, kita harus mendukung pemain timnas Indonesia.
Anda mengetahui Spanyol nan kampiun Euro 2008 dan Piala Global 2010? Dua gelar kampiun ini baru terjadi setelah penantian nan begitu panjang. Spanyol cuma pernah menjuarai Euro 1964 sebelum Euro 2008. Artinya, 44 tahun mereka menanti dengan sabar. Pendukung sejati Timnas Garuda wajib menerapkan hal nan sama buat pemain Timnas Indonesia.