Kerajaan Malaka sebagai Loka Penyebaran Islam
Kerajaan Malaka ialah sebuah kerajaan Melayu nan pernah ada di tanah Malaka (Malaysia sekarang). Kerajaan ini pernah mencapai kejayaannya pada abad 15 dengan menguasai Selat Malaka sebagai jalur perdagangan di bawah konservasi kekaisaran Ming. Kerajaan ini berdiri atas jasa Parameswara.
Kerajaan Malaka tak mempunyai bukti arkeologis maupaun catatan sejarah sebagai bukti keberadaannya. Bukti adanya kerajaan ini hanya berdasarkan kronik dari Dinasti Ming di Cina dan Sulalatus Salatin. Dari dua bukti sejarah ini masih terdapat kesimpangsiuran nan belum jelas tentang bagaimana kerajaan ini berdiri.
Ketidakjelasan bagaimana agama Islam menjadi agama rakyat Malaka dan menjadi agama resmi dari Kerajaan Malaka juga belum ada dalam bukti tadi. Namun, dari bukti keruntuhan kerajaan ini oleh Portugis pada 1511, pemerintahannya saat itu dipimpin oleh seorang sultan.
Berdirinya Kerajaan Malaka
Menurut sebagaian sejarawan, Kerajaan Malaka berdiri pada 1380-1403, dengan pendirinya bernama Parameswara. Parameswara berasal dari Kerajaan Sriwijaya putra dari Raja Sam Agi, Raja Sriwijaya. Parameswara melarikan diri ke daerah Semenanjung Melayu melewati Selat Melayu (kala itu belum bernama Malaka), sebab Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan dampak agresi Kerajaan Majapahit.
Pada waktu datang kesemenanjung Malaka itulah Parameswara berjumpa dengan penduduk orisinil nan bermata pencaharian sebagai nelayan. Berhubung Parameswara dan rombongan ialah orang nan lebih pendidikan dan kebudayaan nan lebih tinggi, mereka sukses mengajari penduduk orisinil berbagai pengetahuan. Dan dari situ loka itu berkembang menuju ke arah nan lebih baik.
Pada perkembangannya, loka itu berubah menjadi ramai, pusat perdagangan, dan sebagai loka lewatnya kapal-kapal dagang dari daerah lain. Parameswara dan rombongnanya sukses mengajari penduduk orisinil buat bercocok tanam berbagai tanaman nan belum pernah mereka lihat sebelumnya, seperti pisang, tebu, dan berbagai rempah-rempah.
Para pendatang ini sukses menemukan hasil tambang nan berupa biji-biji timah, dari situ berkembang pembuatan peralatan dari timah. Dengan berkembangnya Semenanjung Melayu menjadi Kerajaan Malaka, maka berkembang pula perdagangan nan lebih ramai. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dengan beberapa daerah di Sumatra.
Dari Sumatra, mereka membeli beras dan kebutuhan lain nan tak ada di Malaka. Kebutuhan akan beras terpaksa tergantung pada hasil padi dari daerah Sumatra.
Keadaan alam nan belum menentukan dan keadaan masyarakat nan belum mengenal tata cara tanam nan baik, membuat sektor pertanian di Malaka belum dapat berkemabang saat itu. Penduduk masih menitikberatkan pada perdagangan saja, tanpa mengembangkan sektor nan lain.
Ada beberapa versi asal usul nama Malaka. Menurut pakar sejarah dari Malaysia, Parameswara ketika di Tumasik diserang oleh Kerajaan Siam, kemudian melarikan diri ke daerah Muar. Tetapi pada perjalanannya, ia diganggu oleh banyak biawak nan ada di sungai.
Kemudian arahnya berubah menuju ke daerah Burok, dan mencoba bertahan dari kejaran pasukan Siam. Tetapi usaha itu gagal dan mereka melarikan diri lagi ke daerah Sening Ujong, dan sampai ke Sungai Bertam di pesisir pantai.
Lalu ketika menetap di daerah itu oleh penduduk sekitar Parameswara diangkat menjadi raja. Suatu saat, ketika ia sedang berburu, tiba-tiba anjingnya bertarung dengan pelanduk dan kalah. Ia begitu terpesona oleh peristiwa nan terjadi.
Saat menyaksikan peristiwa itu ia sedang berteduh di bawah pohon malaka. Dari sini kemudian Parameswara memberi nama Malaka pada daerah itu, dan sebagai nama kerajaannya, yaitu Kerajaan Malaka.
Versi selanjutnya berasal dari pengertian rendezvous berbagai pedagang dari daerah lain buat melakukan transaksi. Nama loka itu diambil dari bahasa Arab, malqa nan artinya "tempat bertemu". Itulah dua di antara beberapa versi nan ada. Versi nan sahih sampai sekarang masih diperdebatkan.
Kerajaan Malaka nan baru berdiri di tengah kekhawatiran mendapatkan gangguan dari penguasa daerah lain nan lebih besar. Sultan pertama kerajaan ini Prameswara nan bergelar Sultan Muhammad Iskandar Syah. Ia berusaha menjalankan politik damai tanpa peperangan.
Ada dua kerajaan besar nan dapat menjadi ancaman, yaitu Majapahit dan Cina. Politik damai nan dilakukan oleh sultan pertama ini melalui jalinan interaksi diplomatik dan ikatan pernikahan.
Sultan Muhammad Iskandar Syah sebagai sultan pertama Kerajaan Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada 1205 buat mendapat pengakuan atas kerajaan nan baru didirikannya itu.
Dengan niat baik, sultan mengirimkan upeti ke Kaisar Yongle sebagai simbol persahabatan, dan kaisar tadi memberikan konservasi kepada kerajaan nan baru berdiri itu. Sehingga Kerajaan Siam nan sebelumnya sering menganggu dan musuh lama dari sultan tak berani menganggu wilayah kerajaan.
Untuk menjaga kedamaian dengan Kerajaan Majapahit di Jawa, sultan menikah dengan salah satu putri Kerajaan Majapahit. Dari politik nan dilakukannya itu, kerajaan berjalan dengan damai tanpa ada gangguan nan berarti. Politik warisan Sultan Muhammad Iskandar Syah ini dianut oleh para sultan selanjutnya.
Contohnya Sultan Mansyur Syah nan memerintah pada 1459-1477. Ia menikah dengan putri Kerajaan Majapahit, buat menjaga perdamaian dan persahabatan. Dengan Kerajaan Cina, sultan tetap menjalankan interaksi diplomatik nan baik dengan saling mengirimkan utusan dan memberikan hadiah.
Di tahun 1205, Kaisar Cina mengirimkan Laksamana Ceng Ho buat mengunjungi Kerajaan Malaka, guna mengadakan perjanjian persahabatan. Inilah nan membuat kerajaan ini tetap aman. Secara tak langsung, dua kerajaan besar, Majapahit dan Cina, melindungi Malaka.
Di tahun 1411, Sultan Malaka berkunjung ke Cina sebagai balasan kunjungan Laksamana Cheng Ho. Di Cina, Sultan dan rombongan disambut dengan upacara meriah nan menandakan bahwa kaisar sangat bahagia dengan kunjungan Sultan Malaka beserta rombongan. Ketika pemerintahan Sultan Mansyur Syah, demi menjaga interaksi diplomatik nan lebih baik, sultan menikahi salah satu Putri Kaisar Yunglo nan bernama Hang Li Po.
Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah, Kerajaan Malaka mempunyai seorang laksamana nan baik bernama Hang Tuah. Laksamana itu mampu melaksanakan tugas dari sultan buat menjalankan politik nan baik dengan kerajaan tetangga. Hang Tuah mampu menguasai beberapa bahasa, seperti Cina, Siam, dan Keling.
Di tangan laksamana inilah Kerajaan Malaka mampu menjaga daerah lautnya dari perompak nan sering menganggu perairan. Berkat Laksamana Hang Tuah pula kerajaan ini tetap dapat menjalin interaksi politik damai, melalui kunjungan-kunjungan buat tetap menjalin kerjasama.
Sampai akhir hayatnya, laksamana ini tetap dikenang sebagai laksamana nan hebat, sehingga sering dimitoskan hingga kini oleh bangsa Melayu. Laksamana Hang Tuah meninggal di Malaka dan dimakamkan di loka asalnya, Sungai Duyung Singkep.
Kerajaan Malaka sebagai Loka Penyebaran Islam
Islam menyebar di Kerajaan Malaka melalui pedagang-pedagang nan berkunjung ke Malaka. Pedagang Islam ini mengetahui bahwa Malaka merupakan salah satu bandar di timur nan mengalami kemajuan di bidang perdagangan, sehingga banyak dari mereka berkunjung buat melakukan perdagangan dengan penduduk Malaka.
Dengan berbaurnya para pedagang ini, maka Islam otomatis memengaruhi kepercayaan penduduk sekitarnya. Lambat laun, Islam menyebar ke dataran Malaka. Penyebaran agama Islam ke Malaka semakin maju dengan masuk Islam-nya raja pertama Malaka, Prameswara, pada tahun 1414.
Masuknya raja ke agama Islam, turut mengubah gelarnya menjadi Sultan Muhammad Iskandar Syah, dan dari sini pula agama Islam menjadi agama resmi Kerajaan Malaka. Perkembangan Islam di Malaka semakin mengalami kemajuan dengan banyaknya rakyat Malaka nan memeluk Islam.
Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah, Islam semakin mengalami perkembangan nan pesat dan Malaka menjadi pusat perkembangan agama Islam. Itulah kisah para pendiri Kerajaan Malaka nan tentunya dapat diambil tauladan.