Haruskah Departemen Hukum dan HAM menjadi Departemen Kepuasaan Hukum?
Telah berdiri sebuah departeman bersamaan dengan berdirinya Republik Indonesia sepanjang 66 tahun, yaitu Departemen Hukum dan HAM . Departemen Hukum dan HAM merupakan departemen nan paling misterius dari semua departemen portofolio di Indonesia.
Departemen Hukum dan HAM, sepanjang masa darma itu, pernah dipimpin oleh 42 menteri dan nan setingkat menteri. Artinya, setiap rata-rata 2 tahun sekali terjadi pergantian menteri di Departemen Hukum dan HAM. Inilah satu-satunya departemen di mana menteri nan rata rata pekerjaanya paling singkat di republik ini. Menarik kan?
Tentu saja menarik sebab orang sepanjang ingatan mereka tentang republik ini berdiri akan selalu mengenal menteri kehakimannya. Salah satu jabatan eksekutif populer nan barangkali disebut buat kali ketiga setelah presiden, wakil presiden, dan menteri dalam negeri.
Di Departemen Hukum dan HAM, kepentingan nan digoreskannya merupakan garda depan dari titik balik peradaban bangsa ini. Mau ke mana Indonesia berada? Maka perhatikanlah departemen nan menaungi para hakimnya, yaitu Departemen Hukum dan HAM.
Seorang presiden niscaya akan gamang berkerja sama dengan orang nan menguasai dan memperkarakan para pelaku kriminal bangsa nan jumlahnya 200 juta lebih ini. Terlebih ketika pelakunya merupakan orang terkuat dari sisi bisnis maupun politik.
Presiden manapun akan menganggap bahwa ‘menikahi’ seorang menteri hukum dan ‘menggaulinya’ dengan baik, lebih krusial daripada memperhatikan pernikahan pribadinya sendiri. Tentu saja idiom itu hanya berlaku bagi seorang presiden nan visioner dan memahami bahwa hukum setipis apa pun pilarnya dan selemah apa pun penjaganya, tetap harus tegak jika masih ingin disebut republik.
Jika Departemen Hukum dan HAM ternyata dapat di gadaikan dan dapat dibeli, maka tunggulah sendiri saat kehancurannya. Hukum diremehkan, orang tak percaya aparat, mereka pun tak percaya pada negara. Lalu, apa pentingnya bernegara dan patuh pada wibawa aparat nan mau-maunya berdiri seenaknya di atas hukum dan lantas mengorbankan mereka nan sejatinya merupakan korban dari ketamakan para aparatnya sendiri?
Oh, tentu saja Departemen Hukum dan HAM masih berwibawa. Kita masih punya hakim nan pemberani, kita masih ada KPK, dan tak semua jaksa dapat dibeli. Namun, bila mencermati kasus per kasus di bawah ini, Anda sebenarnya dapat menilai tentang jati diri hukum di Indonesia nan berada di dalam kekuasaaan wibawanya Departemen Hukum dan HAM.
Politik dalam Departemen Hukum dan HAM
Pada Kabinet Persatuan Nasional, di zaman di mana revolusi fisik hampir tak ada. Gonjang ganjing politik mengakibatkan jabatan Menteri Hukum dan HAM atau menteri kehakiman, atau menteri hukum dan perundang-undangan, berganti selama 4 kali dalam rentang dua tahun saja antara 1999-2001. Berturut-turut Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, Baharuddin Lopa, S.H., Marsilam Simanjuntak, S.H., dan akhirnya Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. Berturut-turut secara salvo memimpin departemen nan menjadikan departemen lain sebagai sudut basah ini.
Departemen Hukum dan HAM dapat dikatakan sebagai sudut nan menjaga sudut lain basah. Barangkali inilah departemen nan paling tak menarik. Yang tak berkaitan dengan pembangunan. Tidak basah seperti departemen lain, kurang ramai dengan obyekan nan bersifat membangun sesuatu atau berbau investasi. Oleh karenanya, demi membuat pola tatanan ‘yang selaiknya ikut arus’, maka terdapat modus sendiri bila berbicara tentang apa saja nan dapat dijadikan objekan di Departemen Hukum dan HAM.
Pandangan manusia Indonesia tentang hukum dapat tercermin dari posisi itu. Rupanya bagi sebagian pemimpin, ada kalanya menteri hukum itu sesuatu nan politis. Orang tak berpikir lagi dengan darma kepada bangsanya sendiri, darma kepada hukum dan keadilan, melainkan kepada situasi politik nan menguntungkan golongannya.
Dengan demikian, wibawa jabatan nan kental birokrasinya seperti menteri kehakiman, malah menjadi jabatan nan lebih kental perbedaan makna politisnya. Karena itulah dari Departemen Hukum dan HAM, kita dapat lebih akrab dengan para asisten menteri, terutama di akhir-akhir ini nan cerewetnya lebih besar dari menterinya sendiri. Karena wakil menteri Hukum dan HAM ini mewakili golongan dari dalam istana kepresidenan.
Menteri sebelumnya, menjabat hanya 2 tahun. Patrialis Akbar sebagai menteri ke-31 dari Departemen Hukum dan HAM , tersandung perkara Gayus Tambunan nan dapat lari dari tahanan dan tersandung beratnya juga peliknya urusan korupsi Wisma Atlet nan dilakukan oleh para kolega partai berkuasa.
Setiap menteri hukum dan HAM nan ingin mencoba melakukan hal nan berbeda dari Norma generik para menteri di Departemen Hukum dan HAM, akan berhadapan dengan jaringan nan tak kalah berat. Karena para hakim sudah dapat disuap, bahkan melawan tafsiran hukum dan enggan dihukum berat.
Departemen Hukum dan HAM - Hukum vs Sosial Media
Kita semua sudah memahami itu. Di sisi lain, terdapat pula permasalahan kriminalitas nan dapat dengan mendadak menjadi populer di mata rakyat lewat sosial media. Kebanyakan permasalahan pidana dan perdata dapat diselesaikan stalmate antara dua pihak nan bertikai. Namun media massa selalu menyorot apa saja nan dapat dikatakan hot news .
Biasanya konfilk dijaga dan dipelihara agar media laku terjual. Ketika rakyat berharap hukum ditegakan, mereka digiring buat memberikan tanggapan aparat negara lewat saluran nan jauh sekali dari hal nan mesti, yakni sosial media semacam facebook dan sejenisnya. Artinya juga kebanyakan rakyat akan cenderung mengadu ke malka sosial media.
Mereka menjual kehidupan hukum dengan harga nan murah. Mereka mencampakkan konsep hukum negeri ini dengan gerakan massa, gerakan presure . Gerakan penuntutan parlemen jalanan itu terkadang mempengaruhi keputusan hukum sehingga hukum tak lagi buta, melainkan cenderung kepada suara-suara nan liar.
Kasus pembebasan Prita Mulya Sari lewat gerakan penggalangan dana dan kasus Aal nan sempat mendunia sebab syahdan diajukan ke bui gara-gara maling sendal, misalnya. Warta nan sampai ke masyarakat lewat media sebenarnya kurang dijadikan sandaran buat proses apa nan sebenarnya terjadi. Tapi orang sudah terburu skeptis terhadap aparat.
Belajar dari kasus nan terjadi sebelumnya nan dapat dijadikan yurisprudensi hukum, seorang nenek maling dua biji kakao nan dipenjarakan sebulan oleh perusahaan perebunan nan ‘maling tanah’. Perusahaan nan diatur rangka mencurinya oleh negara menuntut seorang nenek renta nan mencuri syahdan sebagai pelajaran. Yang tampak dari situ ialah butanya hukum Indonesia dari rasa keadilan. Karena klaim nan besar ternyata disahkan dalam suatu kondisi di mana rakyat kehilangan kesempatan mereka bersaing dampak diremehkannya kejujuran oleh para aparat sendiri.
Haruskah Departemen Hukum dan HAM menjadi Departemen Kepuasaan Hukum?
Departemen Hukum dan HAM juga merupakan sarang dari ketidakpercayaan masyarakat tentang apa nan tersisa dari mereka di mata hukum. Menjadikan sikap manusia kepada hukum bagaikan cinta platonik. Bersama-sama tapi tak satu hati.
Sejak disematkan kata HAM pada masa Yusril Ihza Mahendra, seharusnya sudah dapat dipahami bahwa urusan hukum ialah kebutuhan fundamental rakyat nan berasal dari hak asasi mereka sendiri nan perlu dilindungi dan didampingi sebagai warga masyarakat nan perlu diberikan contoh terbaik dari Departemen Hukum dan HAM.
Namun alih-alih memperoleh hal nan ideal, Departemen Hukum dan HAM ini akhir-akhir ini dikejutkan oleh keberadaan fasilitas nan berbeda dari satu napi ke napi lainnya di pusat detensi atau forum pemasyarakatan. Di Bali, sebuah LP dapat rusuh. Di Jakarta, sebuah LP dapat dikunjungi selain dari jam besuk. Di Jawa, ada joki penjara. Ada pula nan mengatur bisnis kejahatannya dari penjara. Ini sama saja dengan mengartikan jeruji besi nan ada pada Departemen Hukum dan HAM telah tercuri. Ironis sekali.