Filsafat Wahyu dan Nabi
Agama islam bukan merupakan agama nan mempelajari mengenai agama islam saja, namun lebih daripada itu, dimana agama islam memberikan kebebasan buat belajar ilmu pengetahuan sejauh apapun sepanjang tak menyimpang dari ajaran agama islam atau lebih ditekankan sebagai salah satu senjata buat semakin mendekatkan kepada sang Ilahi.
Pada awal keberadaan agama islam, telah banyak muncul ilmuwan diberbagai bidang, mulai kedokteran, matematika hingga ilmu perbintangan. Salah satu ilmuwan islam nan mempunyai peran nan besar dalam kehidupan modern saat ini salah satu nan memiliki nama lengkap ialah Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina (980-1037 M). Lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina (Avicenna).
Ibnu Sina nan mempunyai latar belakang dari keluarga bermadzhab Ismailiyah memang sudah akrab dengan pembahasan nan berkenaan dengan hal nan ilmiah dimana hal itu disampaikan secara langsung oleh ayahnya. Ibnu Sina memang terkenal kecerdasannya sejak di masih kecil, sehingga banyak para guru nan mengajarnya mengetahui kelebihan dari muridnya satu ini.
Dalam perjalanan hidupnya, ibnu sina tak hanya sebagai bapak kedokteran modern, Ibnu Sina juga merupakan filosof terbesar Islam nan sukses membangun sistem filsafat secara sistematis. Filsafat Ibnu Sina membahas hal-hal nan berkaitan dengan metafisika. Ibnu sina sukses menjadi ilmuwan nan mempunyai berbagai kelebihan pada berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan.
Metafisika-nya Ibnu Sina
Ibnu Sina ialah filosof nan merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme (Yunani). Lalu, ia padukan dengan keyakinan agama nan dianut (Islam). Ibnu Sina tertarik mengupas salah satu cabang dari ilmu filsafat, yaitu metafisika.
Metafisika dari akar katanya berarti “di balik nan ada”. Atau membahas segala nan tidak tampak wujudnya oleh indera manusia. Dengan kata lain, metafisika merupakan filsafat nan membahas segala hal-hal “gaib” atau di luar jangkauan indera manusia. Pertama kali diperkenalkan oleh Aristoteles (filosof klasik Yunani) dalam bukunya nan juga berjudul Metafisika. Dengan dasar itulah ibnu sina mengembangkan keilmuan metafisikan buat membandingkan dengan agama nan dianutnya yaitu agama islam.
Hanya saja, jangan samakan pengertian metafisika dengan hal-hal klenik atau perdukunan. Metafisika-nya Ibnu Sina merupakan upaya dalam menelusuri kebenaran hingga batas kemampuan logika manusia. Dalam pengembangannya adalah buat mengetahui kebenaran dalam agama islam nan masih dapat ditelusuri dalam ranah akal manusia.
Ibnu Sina lebih menekankan rasionalitas (logika) daripada keyakinan buta (fanatik). Di sinilah ia banyak mendapat kritik dan sikap antipati dari kalangan muslim ortodoks. Bahkan, Ibnu Sina dituduh ateis. Jika ditelusuri lebih mendalam, apa nan di inginkan oleh ibnu sina hanyalah buat mengetahui kebenaran ajaran agamanya dalam ranah kejernihan akal manusia, dengan ini diharapkan misteri-misteri mengenai ajaran agama islam bisa terpecahkan ke dalam taraf pemikiran logika akal manusia.
Karena itu, nama dan pengaruh Ibnu Sina lebih dikenal di Barat daripada di Timur. Terutama ketika buku-bukunya, seperti As- Syifa’, Nafat, Qanun, Sadidiyya, Al-Musiqa, dan puluhan buku lainnya, diterjemahkan ke bahasa Latin. Di Barat, Ibnu Sina jadi salah satu peletak dasar perkembangan filsafat abad pertengahan. Maka tidaklah heran kepopuleran ibnu sina lebih mencorong dalam global ilmu pengetahuan di bangsa barat bahkan lebih dikenal dengan nama Avicenna—penyebutan bangsa barat terhadap salah satu ilmuwan islam ini.
Filsafat Jiwa dan Filsafat Wujud
Bahasan tentang jiwa telah jadi fokus primer Ibnu Sina dalam filsafatnya. Memang, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles, Galius atau Plotinus. Diartikan jiwa sebagai bagian nan bukan merupakan jasmaniah (immaterial) dari seorang individu. Dalam klarifikasi jiwa bisa dipercaya mencakup pikiran dan kepribadian seseorang. Selain itu jiwa mempunyai persamaan arti atau sinonim dengan roh, akal, atau awak diri.
Tetapi, ia memadukan dan mengolah semuanya itu dengan corak khas filsafatnya sendiri. Yang dikenal dengan filsafat iluminasi (faham pancaran). Membahas dengan terperinci dan gamblang mengenai hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa. Interaksi antara jiwa dengan raga pada setiap individu manusia berusaha dikupas secara mendalam oleh ilmuwan nan lahir pada tahun 370 Hijriyah dan pada akhirnya menjelaskan mengenai keabadian jiwa manusia nan akan dipertanggungjawabkan di zaman lain.
Dalam filsafat jiwa ini, Ibnu Sina juga membagi jiwa menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut.
- Jiwa tumbuh-tumbuhan. Jiwa nan hanya memilki daya (kekuatan) buat makan, tumbuh, dan berkembang biak.
- Jiwa binatang. Jiwa dengan daya gerak, menangkap (persepsi), indera, representasi (menyimpan apa nan diterima oleh indera), imaginasi (menyusun apa nan disimpan dalam representasi), perkiraan (menangkap hal-hal abstrak), dan rekoleksi (menyimpan hal-hal abstrak nan diterima estimasi).
- Jiwa manusia. Jiwa dengan daya kompleks. Selain memiliki daya-daya sebelumnya (jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang), jiwa manusia mengeksplorasi segala hal abstrak. Kemampuan ini oleh Ibnu Sina diterjemahkan sebagai akal.
Selanjutnya Wujud ialah nan terpenting, dan mengalahkan esensi. Penjelasannya, esensi ada dalam akal, sedangkan wujud di luar akal. Wujud membuat esensi nan sebelumnya berada di dalam akal, jadi mempunyai kenyatan di luar akal. Penjabarannya wujud diartikan sebagai sesuatu nan nyata, bias dilihat oleh indera penglihatan makhluk hidup. Dengan begitu menunjukkan bahwa wujud mampu menampakkannya di hadapan makhluk hayati secara realitas.
Tanpa wujud, esensi tak memiliki arti apa-apa. Karenanya, wujud menjadi lebih krusial daripada akal. Demikian kembang rampai pemikiran Ibnu Sina mengenai keutamaan wujud. Dijelaskan lebih lanjut bahwa wujud mempunyai peran nan besar dalam kehidupan manusia dimana tanpa keberadaannya maka tak mempunyai makna apa-apa.
Dalam perwujudannya, akal tak memiliki peran nan berarti tanpa didukung oleh keberadaan suatu obyek atau lebih dikenal dengan wujud tersebut. Maka kedua hal tersebut harus berjalan beriringan agar pemaknaan suatu gejala atau obyek bisa berlangsung dengan baik. Bisa diambil garis besar bahwa wujud memiliki peran nan sangat signifikan dalam teori filsafat nan dikemukakan oleh Ibnu Sina ini.
Untuk itu, Ibnu Sina dikenal sebagai pelopor filsafat eksistensialisme. Jauh sebelum filsafat eksitensialisme didengungkan oleh Martin Heidegger dan Soren Kierkegaard, tokoh eksistensialis filsafat modern. Hal ini menunjukkan bahwa ibnu sina menjadi salah seorang ilmuwan nan mampu menjadi pionir bagi agama islam dengan kecerdasannya dalam bidang ini.
Filsafat Wahyu dan Nabi
Selain jiwa dan wujud, filsafat Ibnu Sina juga mengupas tentang wahyu dan nabi. Dari empat jenis akal nan ia kemukakan, yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad, mengarahkan manusia buat merengkuh akal aktif. Berbagai elemen akal nan dijelaskan oleh ibnu sina menunjukkan bahwa beliau ingin mendefinisikan strata akal ke dalam ranah nan bhineka dimana dapat dilihat dari cara penggunaan akal tersebut.
Pada dasarnya dengan pengklasifikasian beberapa jenis akal tersebut akan bermuara pada satu tujuan yaitu akal aktif. Jenis akal (akal aktif) nan menurut Ibnu Sina memiliki ciri buat mudah menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci, bentuk akal paling tinggi dan hanya dimiliki oleh nabi-nabi. Dijabarkan lebih lanjut bahwa akal aktif mempunyai cirri-ciri eksklusif dimana tak setiap manusia mampu memiliki akal tersebut, seperti gambaran sebelumnya nan menunjukkan bahwa akal ini hanya dimiliki oleh nabi-nabi saja.
Keberadaan akal seharusnya mampu dijalankan manusia dengan berbagai potensi nan ada serta tak meneruskan kepada taraf pemikiran nan tak memiliki ujung atau batas buat berfikir, bagaimanapun akal niscaya mempunyai keterbatasan sehingga manusia tak akan mampu berfikir segala hal hanya dengan akal saja.
Untuk itu, Ibnu Sina berkesimpulan bahwa tak ada agama nan hanya berdasarkan akal semata (murni). Akal bersimbiosis dengan wahyu dan diterjemahkan oleh nabi. Lalu, kebenaran pun dapat terungkap dengan jelas. Begitulah Ibnu Sina mencoba menjelaskan interaksi wahyu dan nabi dalam perspektif filsafatnya.
Pada akhir tulisan ini, keberadaan agama dalam hal ini dikhususkan agama islam bahwa setiap perkara nan telah digariskan dalam wahyu oleh sang pencipta tak bisa diukur dengan akal semata, melainkan ada hal lain nan tak berwujud nan mempunyai taraf ketidakberbatasan akal manusia buat merengkuhnya dengan segenap akal nan dimiliki manusia.