Modifikasi Strategi Ala Jose Mourinho
Seorang instruktur mesti pandai-pandai melakukan modifikasi strategi demi mendapatkan hasil memuaskan dalam sebuah kompetisi. Tim nan menggunakan strategi atau formasi sama dalam satu musim, cenderung mudah dibaca lawan. Akhirnya, sekali sebuah klub sukses menahan tim tadi, klub lain akan menggunakan strategi serupa demi meraih satu atau tiga poin dari tim bersangkutan.
Modifikasi Strategi Ala Pep Guardiola
Ketika Josep Guardiola masih bermain sebagai gelandang Barcelona di era 1990-an, ia mengenali strategi asing ala Louis Van Gaal, instruktur Belanda. Kala itu, Van Gaal nan dianggap sebagai salah satu manajer tersukses Barcelona, memakai formasi kuno 3-3-3-1. Formasi ini merupakan modifikasi spesifik dari model 3-5-2 baku atau 3-4-3.
Dengan formasi aneh Van Gaal, Guardiola menyadari satu hal. Satu penyerang di depan dapat menjadi benteng nan baik buat mengakali bek-bek lawan. Sebaliknya, trio gelandang di belakang sang penyerang dapat difungsikan sebagai pencetak gol.
Kala itu, Rivaldo, salah satu gelandang serang terbaik Brazil, diposisikan sebagai salah satu dari 3 gelandang di belakang penyerang utama. Hasilnya, Rivaldo berhasil mencetak banyak gol. Keberhasilan Van Gaal dengan modifikasi taktiknya ini direkam dengan baik oleh Pep Guardiola.
Sembilan tahun berlalu sejak saat itu, Guardiola kemudian diminta melatih Barcelona. Pep mewarisi skuad andal nan sudah diasah oleh Frank Rijkaard. Yang paling penting, Guardiola mendapatkan sosok Lionel Messi, nan saat itu berposisi sebagai gelandang serang paling menjanjikan di seantero bumi.
Logikanya, sebagai instruktur baru, Pep akan mengikuti pola nan dimainkan Frank Rijkaard. Namun, Guardiola tak demikian. Ia menggunakan formasi 4-3-3 nan sangat khusus. Dalam formasi ini, ia melakukan modifikasi posisi Lionel Messi.
Sang pemain Argentina nan sebelumnya berposisi sebagai gelandang serang, dimajukan sebagai salah satu penyerang dalam format 3 striker di depan. Namun, ada kekhususan lain dari Messi. Ia tak berdiri sejajar dengan 2 penyerang lain. Messi sedikit di belakang dan berfungsi sebagai eksekutor bola.
Sementara itu, dua penyerang (sejak Samuel Eto'o, Thierry Henry, hingga David Villa) diperintahkan buat tampil melebar dan berfungsi sebagai pengumpan Lionel Messi. Modifikasi ini terbukti ampuh. Para penyerang Barcelona memiliki fisik nan tangguh, kemampuan menahan bola nan tinggi, dan pakar mengakali atau melewati bek lawan.
Maka dari itu, mau tidak mau lini pertahanan musuh harus berkonsentrasi ekstra menjaga penyerang-penyerang ini. Ketika itulah Messi datang dari belakang dan menjadi meriam pencetak gol Barcelona.
Keistimewaan posisi Messi ini didukung dengan naluri mencetak golnya nan luar biasa tinggi. Pada musim pertama ditangani Pep Guardiola, Lionel Messi mencetak 38 gol dalam 51 pertandingan. Musim berikutnya, jumlah gol Messi melonjak menjadi 47 gol.
Musim lalu, Messi kembali memperbaiki catatannya menjadi 53 gol hanya dalam 55 pertandingan. Musim ini, sudah separuh perjalanan dilalui, koleksi gol Messi mencapai 33 gol hanya dalam 30 pertandingan. Alhasil, modifikasi posisi ala Pep Guardiola terbukti sangat berhasil.
Selain menempatkan Messi pada posisi nan tak semestinya, Pep Guardiola juga terbukti suka memodifikasi posisi pemain lain. Misalnya, gelandang bertahan Javier Mascherano dan Sergio Busquets. Keduanya kadang dipasang sebagai bek tengah atau bek kanan. Padahal, tentunya insting seorang gelandang ialah tampil menyerang plus militan terhadap pemain lawan, sedangkan bek tengah mesti lebih hati-hati.
Terbukti kedua pemain ini tak canggung dengan posisi barunya. Bahkan, di Piala Super Eropa, Josep Guardiola pernah memakai 1 orang bek dan 9 pemain bertipe gelandang. Modifikasi taktik Guardiola ini juga membuat Barcelona sangat fleksibel memainkan formasi 4-3-3 atau 3-4-3.
Seiring dengan perjalanan waktu, strategi Guardiola mulai dapat dibaca instruktur lawan. Kadang, ada nan rela memasang formasi ultradefensif demi menghalangi agresi bergelombang Barcelona. Sebagai contoh, Internazionale Milan di semifinal Perserikatan Champions musim 2009/2010 dan Real Madrid di semifinal Perserikatan Champions musim berikutnya. Kebetulan, Jose Mourinho melatih kedua klub tersebut.
Strateginya ialah dengan menaruh sebanyak mungkin pemain di daerah menjelang kotak penalti. Menghadapi keadaan ini, musim 2011/2012, Pep Guardiola kembali melakukan modifikasi taktik. Ia tak lagi hanya mengandalkan Messi sebagai pencetak gol.
Formasi 4-3-3 atau 3-4-3 terbaru Pep Guardiola justru terlihat sebagai formasi 4-3-2-1 atau 3-4-2-1. Ada seorang penyerang nan ditarik lebih ke belakang atau gelandang nan dimajukan buat menemani Lionel Messi. Hasilnya, dengan dua "penyerang palsu", Barcelona lebih efektif dalam menyerang.
Hingga saat ini, di musim 2011/2012 Barcelona sudah mencetak 104 gol hanya dalam 33 pertandingan. Yang unik, dua top skor Barcelona musim ini ialah dua pemain "gelandang" atau dua penyerang palsu, yaitu Lionel Messi dan Cesc Fabregas.
Dengan modifikasi strategi terbaru Pep Guardiola, klub-klub versus juga terbukti semakin susah menaklukkan Barcelona. Tercatat, dalam 33 pertandingan sejak Pep Guardiola memodifikasi formasi terbaru, Barcelona baru kalah sekali.
Modifikasi Strategi Ala Jose Mourinho
Lain Josep Guardiola, lain pula Jose Mourinho. Instruktur asal Portugal terkenal dengan kemampuannya memotivasi pemain dan menampilkan tim dengan daya juang tinggi dalam 90 menit. Mourinho memang lebih suka dengan taktik defensif nan bertolak belakang dengan taktik Pep Guardiola. Namun, taktik Mourinho ini unggul dalam urusan determinasi.
Biasanya Mourinho akan memasang dua hingga tiga gelandang bertahan nan menyambung lini belakang ke barisan penyerang. Ia juga cenderung lebih memanfaatkan kelincahan pemain sayap buat menyuplai bola pada striker utama di depan.
Strategi ini sudah dilakukan Mourinho di Chelsea, Internazionale, dan terakhir di Real Madrid. Sebagai contoh, di Real Madrid Mourinho musim ini sering memasang tiga gelandang bertahan sekaligus. Logikanya, dengan taktik ini, Real Madrid akan lebih sering ditekan lawan. Namun, pada praktiknya tak demikian.
Para gelandang bertahan Real Madrid berfungsi bagaikan penyaring maut agresi lawan. Bola nan dibawa gelandang versus nan baru masuk ke tengah lapangan, langsung dirampas ketiga gelandang ini buat diberikan pada Cristiano Ronaldo atau Angel Di Maria, dua penyerang sayap Real Madrid nan dapat bergerak ke manapun di lapangan.
Kebetulan, tiga gelandang bertahan Real Madrid (Xabi Alonso-Lassana Diarra-Sami Khedira-atau Esteban Granero) ialah tipe pekerja keras plus perusak permainan lawan. Di atas kertas, mungkin formasi Mourinho tercatat sebagai 4-2-3-1. Namun, praktiknya dapat berubah sinkron modifikasi Mourinho menjadi 4-3-2-1 atau 4-1-4-1.
Ketika menghadapi tim kuat seperti Barcelona, Jose Mourinho juga terbiasa melakukan modifikasi lain. Caranya, Mourinho akan memajukan salah satu bek tengah sebagai gelandang bertahan. Dengan strategi ini, Real Madrid lebih mampu memutus genre bola kepada Lionel Messi. Sayangnya, modifikasi strategi ini lebih sering gagal mengimbangi agresivitas Barcelona. Bahkan, Real Madrid pernah hanya menguasai bola sebanyak 20% dampak modifikasi strategi ini.
Baik Josep Guardiola maupun Jose Mourinho memang terkenal dengan modifikasi strategi mereka nan agak tak biasa. Meskipun demikian, strategi ini justru membuat Barcelona dan Real Madrid meraih kesuksesan.
Kita tak dapat menilai mana nan lebih baik, taktik ofensif Josep Guardiola atau strategi defensif Jose Mourinho, kecuali dari hasil pertandingan dan cara bermain kedua klub asuhan mereka. Yang jelas, modifikasi strategi ala Guardiola dan Mourinho menambah seru laga El Clasico antara Barcelona vs Real Madrid nan dianggap sebagai laga terseru di dunia.