Beberapa Cerita Rakyat Indonesia
Cerita rakyat Indonesia begitu beragam. Setiap daerah mempunyai cerita rakyat nan berbeda-beda. Cerita tersebut ada nan berupa legenda, cara hidup, budaya dan kebiasaan. Cerita-cerita itu selain dimaksudkan buat membagikan ilmu pengetahuan, juga buat membangun karakter anak-anak penerus bangsa.
Budaya Lisan
Sebelum adanya budaya menonton TV, rakyat Indonesia cukup akrab dengan budaya lisan. Budaya lisan ini tertuang dalam begitu banyak cerita. Sebelum adanya wahana hiburan nan begitu banyak seperti saat ini, orang tua pada zaman dahulu biasanya akan mengajak anak-anak mereka mendengarkan orang tua atau orang-orang nan dituakan nan sedang bercerita.
Bila orang tua mampu, maka orang tua sendirilah nan akan bercerita. Dari cerita rakyat Indonesia itu, diharapkan anak-anak akan mengambil hikmah dan akan mencontoh perbuatan nan baik dan tak akan mencontoh perbuatan nan dursila sebab akan tahu apa akibatnya.
Teknik Bercerita
Tidak banyak orang nan mampu membawakan cerita dengan baik dan bisa menarik pendengarnya. Tapi bila ingin berusaha sedikit saja, sesungguhnya anak-anak sudah cukup terpesona dengan teknik bercerita nan sangat sederhana sedikitpun. Misalnya, dengan mengubah suara, intonasi, gerakan tangan dan mimik. Bila perlu gunakanlah alat peraga dan kostum nan berwarna-warni.
Beberapa Cerita Rakyat Indonesia
Timun Mas
Timun Mas bercerita tentang seorang gadis kecil nan harus berhadapan dengan seorang raksasa nan akan memangsanya. Cerita Timun Mas ini dapat menginspirasi anak-anak buat menjadi berani menghadapi rintangan apapun. Tentu buat menghadapi rintangan tersebut dibutuhkan senjata atau keterampilan menggunakan senjata dan kapan waktu nan tepat buat menggunakannya.
***
Kancil dan Buaya
Kisah kancil nan hendak menyeberang sungai ialah sebuah cerita nan dapat menginspirasi anak-anak agar tak mudah menyerah bila menghadapi suatu rintangan. Cerita ini mengajarkan bahwa buat meraih tujuan, tenaga fisik saja tak cukup. Dibutuhkan kerja otak nan menghasilkan kecerdikan nan akan membantu meraih tujuan tersebut.
***
Pulau Kemarau (Cerita Rakyat Palembang)
Kisah ini tentang seorang pemuda Cina nan hendak menikahi putri dari Palembang. Karena takut emas nan akan dijadikan mas kawin dirampok, maka orang tua sang pemuda mengirimkan emas tersebut dengan cara unik. Emas itu dimasukkan ke dalam bahtera nan penuh dengan sayuran.
Tapi orang tua pemuda tak memberitahukan taktik mereka tersebut. Ketika sang pemuda mengetahui bahwa bahtera nan dikirimkan tersebut tak membawa emas, dia marah dan membalikkan perahu. Saat bahtera terbalik itulah dia tahu bahwa emas tersebut ada di antara sayuran.
Untuk menyelamatkan emas itu, sang pemuda terjun ke sungai Musi nan dalam. Mengetahui bahwa sang kekasih tidak muncul ke permukaan lagi, sang putri berusaha menyelamatkan sang pemuda. tapi derasnya arus sungai Musi telah menenggelamkan mereka berdua. Di loka tenggelam keduanya itulah muncul sebuah pulau nan kini dinamai Pulau Kemarau. Sebuah pulau nan berada di tengah-tengah sungai Musi.
Kisah ini mengajarkan kepada anak bahwa komunikasi itu sangat krusial dan kemarahan hanya akan menimbulkan kerugian sebab akan membuat orang nan sedang marah tak dapat berpikir dengan tenang dan menggunakan logikanya.
***
Asal Mula Kota Cianjur
Konon, di suatu daerah di Jawa Barat, sekitar daerah Cianjur, hiduplah seorang lelaki nan kaya raya. Kekayaannya meliputi seluruh sawah dan ladang nan ada di desanya. Penduduk hanya menjadi buruh tani nan menggarap sawah dan ladang lelaki kaya tersebut. Sayang, dengan kekayaannya, lelaki tersebut menjadi orang nan sangat susah menolong, tak mau memberi barang sedikitpun, sehingga warga sekelilingnya memanggilnya dengan sebutan Pak Kikir. Sedemikian kikirnya, bahkan terhadap anak lelakinya sekalipun.
Di luar sepengetahuan ayahnya, anak Pak Kikir nan berperangai baik hati sering menolong orang nan membutuhkan pertolongannya.
Salah satu Norma di daerah tersebut ialah mengadakan pesta syukuran, dengan asa bahwa panen di musim berikutnya akan menjadi lebih baik dari panen sebelumnya. Karena ketakutan semata, Pak Kikir mengadakan pesta dengan mengundang para tetangganya. Tetangga Pak Kikir nan diundang berharap akan mendapat jamuan makan dan minum nan menyenangkan.
Akan tetapi mereka hanya dapat mengelus dada manakala jamuan nan disediakan Pak Kikir hanya ala kadarnya saja, dengan jumlah nan tak mencukupi sehingga banyak undangan nan tak bisa menikmati jamuan. Diantara mereka ada nan mengeluh,”Mengundang tamu datang ke pesta, tapi jamuannya tak mencukupi! sungguh kikir orang itu”. Bahkan ada nan mendoakan nan tak baik kepada Pak Kikir sebab kekikirannya tersebut.
Di tengah-tengah pesta, datanglah seorang nenek tua renta, nan langsung meminta sedekah kepada Pak Kikir. “Tuan, berilah aku sedekah dari harta tuan nan berlimpah ini”, kata sang nenek dengan terbata-bata. Bukannya memberi, Pak Kikir malah menghardik nenek tersebut dengan ucapan nan menyakitkan hati, bahkan mengusirnya.
Dengan menahan sakit hati nan sangat mendalam, nenek tersebut akhirnya meninggalkan loka pesta nan diadakan Pak Kikir. Sementara itu, sebab tak tega menyaksikan kelakuan ayahnya, anak Pak Kikir mengambil makanan dan membungkusnya. Kemudian dengan sembunyi-sembunyi dia mengikuti si nenek tersebut hingga di ujung desa. Makanan tersebut diserahkannya kepada sang nenek.
Mendapatkan makanan nan sedemikian diharapkannya, sang nenekpun memakannya dengan lahap. Selesai makan, dia mengucapkan terima kasih dan mendoakan anak Pak Kikir agar menjadi orang nan hayati dengan kemuliaan. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya hingga tibalah di salahsatu bukit nan dekat dengan desa tersebut.
Dari atas bukit, dia menyaksikan satu-satunya rumah nan paling besar dan megah ialah rumah Pak Kikir. Mengingat apa nan dialaminya sebelumnya, maka kemarahan sang nenek kembali muncul, sekali lagi dia mengucapkan doa agar Pak Kikir nan serakah dan kikir itu mendapat balasan nan setimpal. Kemudian dia menancapkan tongkat nan sejak tadi dibawanya, ke tanah loka dia berdiri, kemudian dicabutnya lagi tongkat tersebut. Aneh bin ajaib, dari loka ditancapkannya tongkat tersbut kemudian mencarlah air nan semakin lama semakin besar dan banyak, dan mengalir tepat ke arah desa Pak Kikir.
Menyaksikan datangnya air nan seperti air bah, beberapa warga desa nan kebetulan berada dekat dengan bukitpun berteriak saling bersahutan mengingatkan warga desa, “banjir!!!”
Penduduk desa kemudian menjadi panik, dan saling berserabutan ke sana ke mari. Ada nan segera mengambil harta nan dimilikinya, ada nan segera mencari dan mengajak sanak keluarganya buat mengamankan diri. Melihat kepanikan tersebut, anak Pak Kikir segera menganjurkan para penduduk buat segera meninggalkan rumah mereka. “Cepat tinggalkan desa ini, larilah ke atas bukit nan aman” katanya memerintahkan. Dia menyuruh warga buat meninggalkan segala harta sawah dan ternak mereka buat lebih mengutamakan keselamatan jiwa masing-masing.
Sementara itu, Pak Kikir nan sangat menyayangi hartanya tak mau begitu saja pergi ke bukit sebagaimana anjuran anaknya. Di berpikir bahwa apa nan dimilikinya dapat menyelematkannya. Dia tak mau diajak pergi, walau air semakin naik dan menenggelamkan segala apa nan ada di desa tersebut. Ajakan anaknya buat segera pergi dibalas dengan bentakan dan makian nan sungguh tak enak didengar. Akhirnya anak Pak Kikir meninggalkan ayahnya nan sudah tak dapat dibujuk lagi.
Warga nan selamat sungguh bersedih meliaht desanya nan hilang bak ditelan air banjir. Tetapi mereka bersyukur sebab masih selamat. Kemudian bersama-sama mereka mencari loka tinggal baru nan aman. Atas jasa-jasanya, anak Pak Kikirpun diangkat menjadi pemimpin mereka nan baru.
Dengan dipimpin pemimpin barunya, warga bersepakat buat membagi tanah di daerah baru tersebut buat digarap masing-masing. Anak Pak Kikirpun mengajarkan mereka menanam padi dan bagaimana caranya menggarap sawah nan kemudian dijadikan sawah tersebut. Warga selalu menuruti anjuran pemimpin mereka, sehingga daerah ini kemudian dinamakan Desa Anjuran. Desa nan kemudian berkembang menjadi kota kecil inipun kemudian dikenal sebagai Kota Cianjur.
***
La Dana dan Kerbaunya
La Dana ialah seorang anak petani dari Toraja. Ia sangat terkenal akan kecerdikannya. Kadangkala kecerdikan itu ia gunakan buat memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu menjadi kelicikan.
Pada suatu hari ia bersama temannya diundang buat menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi Norma di tanah toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang.
Lalu La Dana mengusulkan pada temannya buat menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya ialah mereka bisa memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung sebab usulan tersebut diterima oleh tuan rumah.
Seminggu setelah itu La Dana mulai tak sabar menunggu agar kerbaunya gemuk. Pada suatu hari ia mendatangi rumah temannya, dimana kerbau itu berada, dan berkata “Mari kita pangkas hewan ini, aku sudah ingin makan dagingnya.” Temannya menjawab, “Tunggulah sampai hewan itu agak gemuk.” Lalu La Dana mengusulkan, “Sebaiknya kita pangkas saja bagian saya, dan kamu dapat memelihara hewan itu selanjutnya.” Kawannya berpikir, kalau kaki belakang kerbau itu dipotong maka ia akan mati. Lalu kawannya membujuk La Dana agar ia mengurungkan niatnya. Ia menjanjikan La Dana buat memberinya kaki depan dari kerbau itu.
Seminggu setelah itu La Dana datang lagi dan kembali meminta agar bagiannya dipotong. Sekali lagi kawannya membujuk. Ia dijanjikan bagian badan kerbau itu asal La Dana mau menunda maksudnya. Baru beberapa hari berselang La Dana sudah kembali kerumah temannya. Ia kembali meminta agar hewan itu dipotong.
Kali ini kawannya sudah tak sabar, dengan marah ia pun berkata, “Kenapa kamu tak ambil saja kerbau ini sekalian! Dan jangan datang lagi buat mengganggu saya.” La dana pun pulang dengan gembiranya sambil membawa seekor kerbau gemuk.