Kegagalan Reformasi dalam Pembangunan Karakter Bangsa
Semangat pluralisme seharusnya dijadikan bukti diri karakter bangsa nan beragam dan beragam, seperti Indonesia. Namun belakangan ini kita sudah teramat sering menyaksikan konfrontasi antaranak bangsa.
Pertikaian ini tidak sporadis memakan banyak korban, baik korban mal maupun korban nyawa. Dipermukaan, pertikaian-pertikaian itu seolah disebabkan oleh adanya persoalan etnis dan keagamaan.
Beberapa pihak nan tak bertanggung jawab dan jahat, telah memanfaatkan keberagaman agama dan kemajemukan etnis nan ada di Indonesia. Mereka meniup-niupkan sentimen kebencian, agar antar etnis bermusuhan dan antar agama bertikai.
Mereka monoton meneriakkan semangat esprit de corp secara sempit dan salah. Semangat nan berarti bahwa kelompokku nan baik dan kelompok kalian buruk. Kami orang-orang nan benar, sedang kalian sesat.
Rusaknya karakter bangsa Indonesia ini, nyaris sama dengan apa nan terjadi sejak zaman penjajahan VOC hingga Kolonial Belanda. Untuk bisa menguasai bangsa andal ini, penjajah menggunakan strategi adu domba, devide et impera .
Dengan strategi licik ini, karakter bangsa andal menjadi rusak. Mereka jadi saling benci dan ancam. Hingga mereka lupa, siapa nan seharusnya mereka lawan. Mereka lupa, siapa nan sebenarnya jadi musuh bersama ( common enemy ) mereka.
Akhirnya, mereka saling bertikai dan bermusuhan. Hingga lupa bahwa kekayaan bumi pertiwi ini sudah terkuras dijarah penjajah. Mereka berpikir sempit dalam rangka pikir kepentingan pribadi atau golongannya saja.
Selama mereka dapat mendapatkan akses ekonomi dan politik, maka mereka akan diam. Selanjutnya orang atau kelompok lain dianggap sebagai gangguan nan harus diperangi, agar kenyamanan mereka tak direcoki.
Selama berabad-abad kejadian ini terus berlangsung di depan mata, tanpa sempat disadari. Sejarah pun mencatat bagaimana kerajaan Mataram harus terpecah-pecah jadi beberapa kerajaan kecil, sebab konfrontasi antar sesama Pangeran.
Penjajah menghembus-hembuskan fitnah, dan mendorong ambisi dari masing-masing Pangeran buat berkuasa. Memang akhirnya masing-masing Pangeran itu sukses mendapat kekuasaan, tetapi kecil sebab kerajaan besar itu telah dibelah-belah hingga sedemikian rupa oleh penjajah.
Dengan terpecah-belahnya kerajaan besar ini, maka kekuatannya tak lagi terakumulasi secara besar nan dapat mengancam keberadaan penjajah. Seperti nan dilakukan oleh Sultan Agung, nan berani melawan Belanda. Bahkan hingga menyerbunya sampai Batavia.
Perlawanan Sultan Agung memang dapat dipatahkan. Namun, belajar dari perlawanan ini penjajah lantas berusaha menggerogoti kekuatannya secara licik. Hal nan sama juga dilakukan oleh penjajah, pada kerajaan lain di bumi Nusantara ini.
Kegagalan Reformasi dalam Pembangunan Karakter Bangsa
Negara orde baru, berkuasa dengan sangat kuat selama tiga dasa warsa. Dengan ditopang oleh kekuatan militer nan represif, rezim ini menebar teror kepada rakyatnya. Selama puluhan tahun rakyat tertunduk, tanpa berani mengangkat muka, apalagi bersuara. Mereka pasrah. Namun hukum alam berkata lain, rezim ini akhirnya ditumbangkan oleh anak muda nan idealis nan memiliki integritas dan karakter mulia.
Namun sayangnya, anak-anak muda ini tak siap buat mengambil alih kekuasaan dan memperbaiki negeri ini. Mereka menerima proses peralihan kekuasaan secara transisi, dan membiarkan otoritas pemegang kuasa saat itu buat menempuh jalan demokrasi liberal dalam menentukan pemimpin bangsa nan sah.
Laksana kuda nan lepas dari kendali, ide ini disambut secara liar. Dalam sekejap berdiri puluhan partai politik dan ormas. Mereka sibuk berebut kue kekuasaan dan mencari posisi. Berbagai kelompok dari majemuk ideologi bertarung mencari pengaruh. Ada nan mengibarkan panji-panji sosialisme kerakyatan, ada pula nan membawa kesucian agama. Kelompok moderat, feodal dan radikal berbaur dalam hiruk pikuk ini.
Lantas apa nan terjadi? Kerusuhan Ambon pecah. Masalah sepele nan terjadi antar sesama pengguna jalan ini, akhirnya harus berakhir dengan banjir darah. Banyak pihak menilai, itu disebabkan sebab mereka nan bertikai berbeda agama.
Bisa dibayangkan, bagaimana rusaknya karakter bangsa ini. Masalah sederhana nan sebenarnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, entah sebab mendapat bisikan setan dari mana dapat berubah jadi teror ngeri. Bahkan hingga kini masih mereproduksi dendam dan kebencian nan tidak berkesudahan, menyisakan konflik laten nan dapat meletus sewaktu-waktu.
Belum usai dengan Ambon, konflik bersenjata meletus di Timor-timur nan berujung pada referendum. Ketika referendum usai, tragedi humanisme mulai terjadi. Konfrontasi antara kelompok integrasi nan menolak hasil referendum dan pro kemerdekaan semakin sengit. Mereka saling serang dan usir, saling teror dan bunuh.