Sejarah Kode Etik Jurnalistik AJI
Jurnalistik sebagai sebuah bidang ilmu nan menyajikan warta kepada masyarakat mestilah memperhatikan beberapa hal dalam pelaporannya. Kode etik jurnalistik, begitulah istilah nan sering digunakan buat merujuk pada suatu anggaran nan harus dipatuhi atau dijadikan patokan dalam mencari, menyusun, dan menyajikan berita.
Junalistik di Indonesia berkembang begitu pesatnya terlebih lagi pada masa reformasi. Pembredelan nan pada orde eksklusif membayangi kehidupan jurnalistik di Indonesia seakan-akan tak dikenal lagi. Untuk itu dibutuhkan kode etik jurnalistik AJI , kode etik nan telah disahkan oleh salah satu forum formal Jurnalistik di Indonesia.
Tentu saja bukan tanpa tedeng aling-aling, menganggap pembredelan seakan sudah tak dikenal lagi. Hal tersebut disebabkan perubahan masa nan menjadikan masyarakat menjadi lebih dapat menerima dan terbuka dengan berita-berita nan mereka akses.
Aliansi Jurnalistik Indonesia atau AJI merupakan wadah para jurnalis. Para jurnalis tak hanya tergabung secara administratif saja dalam AJI, namun mereka dapat berdiskusi, melakukan jajak bersama, mengedepankan etiket dalam jurnalisme, atau membantu relasi mereka nan sedang terlilit masalah nan berkaitan dengan jurnalistik itu sendiri.
Pembentukan AJI bukan serta merta buat melindungi para pekerja jurnalisme saja. Lebih dari itu, AJI menjadi wadah bagi setiap jurnalis nan tergabung di dalamnya dalam menyoroti dan mengkaji segala sesuatu nan berhubungan dengan global jurnalistik. Juga, memberikan wawasan jurnalistik kepada masyarakat sehingga tumbuh pemahaman dalam diri masyarakat mengenai jurnalisme.
Sebagai sebuah aliansi, AJI tentulah memiliki kode etik nan menjadi acuan, patokan, dan arahan bagi setiap jurnalis dalam melaksanakan tugasnya di global jurnalistik. Kode etik jurnalistik AJI tersebut menjadi mendorong para jurnalis agar tak menulis sembarangan tanpa mempertimbangkan hal-hal nan dapat merusak reputasi media tempatnya bekerja, dan lebih parah lagi mencoreng global jurnalistik Indonesia.
Kode etik jurnalistik AJI dibuat tak hanya didasarkan atas pertimbangan global jurnalistik semata, tetapi gejala sosial kemayarakatan pun menjadi pertimbangan. Meski tak tersirat, dalam kode etiknya, ada pertimbangan nan menghindari sekali hal-hal nan nantinya akan berefek pada gejolak massa nan tersulut sebab pemberitaan nan kurang berimbang. Berikut disajikan kode etik jurnalistik AJI nan dipublikasikan oleh Wikisource.
Kode Etik Jurnalistik AJI
Ini ada 18 kode etik jurnalistik AJI nan sampai sekarang masih digunakan buat perjuangan hak para jurnalis dan wartawan.
- Kode etik jurnalistik AJI. Jurnalis menghormati hak masyarakat buat memperoleh informasi nan benar.
- Kode etik jurnalistik AJI . Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
- Jurnalis memberi loka bagi pihak nan kurang memiliki daya dan kesempatan buat menyuarakan pendapatnya.
- Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat nan jelas sumbernya.
- Jurnalis tak menyembunyikan informasi krusial nan perlu diketahui masyarakat.
- Jurnalis menggunakan cara-cara nan etis buat memperoleh berita, foto dan dokumen.
- Jurnalis menghormati hak nara sumber buat memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
- Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan nan diketahuinya tak akurat.
- Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, bukti diri korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
- Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/ sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
- Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu dapat merugikan masyarakat.
- Jurnalis tak menyajikan warta dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
- Jurnalis tak memanfaatkan posisi dan informasi nan dimilikinya buat mencari laba pribadi.
- Jurnalis tak dibenarkan menerima sogokan. (Catatan: nan dimaksud dengan sogokan ialah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, nan secara langsung atau tak langsung, bisa mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik).
- Jurnalis tak dibenarkan menjiplak.
- Jurnalis menghindari rekaan dan pencemaran nama baik.
- Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain nan menghambat aplikasi prinsip-prinsip di atas.
- Kasus-kasus nan berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Sejarah Kode Etik Jurnalistik AJI
Di tahun 1991 sebelum adanya pembreidelan tiga media, terjadilah sebuah rendezvous informal nan dilakukan beberapa jurnalis di daerah Menteng Jakarta Pusat tepatnya di Taman Ismail Marzuki. Dalam rendezvous itu para jurnalis melakukan pembahasan tentang kondisi pers di Indonesia pada saat itu. Nah, kemudian muncullah sebuah ide buat membentuk sebuah organisasi jurnalis nan independen. Namun pembicaraan tinggal pembicaraan sebab tak terjadi sesuatu nan nyata.
Sebelum berdirinya kode etik Jurnalisrik AJI atau Aliansi Jurnalis Independen itu sendiri sudah pernah ada sebuah komunitas diskusi jurnalis. Misalnya ada SPC atau Surabaya Press Club, Lembaga Wartawan Independen di Bandung , Solidaritas Jurnalis Independen di Jakarta dan Lembaga Diskusi Wartawan Yogya. Lalu pada akhirnya para aktivis dari beberapa komunitas jurnalistik ini membentuk AJI sebuah aliansi bukan sebuah persatuan.
Pada tahun 1994 di tanggal 21 Juni telah membantu momentum buat lehirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. Kasus pembridelan itu menjelma menjadi sebuah penggalangan solidaritas sejumlah jurnalis muda nan mempunyai keinginan buat membuat wadah independen bagi para jurnalis.
Setelah peristiwa pembreidelan beberapa wadah jurnalis seperti DeTik, Editor dan Tempo para mahasiswa bersama sejumlah LSM dan artis melakukan sebuah aksi penolakan.aksi penolakan itu dilatarbelakangi oleh pertimbangan prosedural buat menemui pimpinan PWI Pusat buat meminta para pemimpinnya memperjuangkan nasib pawa wartawan nan menjadi korban pembridelan.
Lalu rendezvous dengan pimpinan PWI dilakukan di Gedung Dewan Pers tepatnya di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat dan mereka meminta supaya dipertemukan dengan Menteri Penerangan Harmoko dan PWI berjanji buat mengupayakan rendezvous itu.
Sebulan setelah penolakan dan rendezvous pertama itu mereka menemui kembali PWI Pusat buat menanyakan janji mereka sebulan nan lalu buat mempertemukan para aktivis dengan Menteri Penerangan. Namun sayang usaha mereka buat berjumpa dengan Harmoko tak sukses dan perjuangan nasib karyawan dan wartawan belum jadi terlaksana. Nah, berawal dari situ para jurnalis kode etik jurnalistik AJI tak percaya dengan apapun nan dikatakan oleh PWI.
Kemudian rendezvous antara jurnalis muda nan kedua setelah rendezvous di Taman Ismail Marzuki dilakukan si Wisma Tempo di wilayah Sirnagalih Jawa Barat buat merancang apa aksi berikutnya nan harus mereka lakukan. Kenapa loka rendezvous kedua diadakan di daerah Sirnagalih tersebut? Alasannya ialah sebab pertimbangan praktis, dapat menjamin keamanan dan kerahasiaan rendezvous tersebut.
Undangan unruk rendezvous itupun dilakukan secara diam-diam sebab tak mudah juga mencari orang nan mau menyewakan gedungnya buat aktivitas mereka. Setelah itu digelarlah rendezvous dengan berbagai jurnalis dari berbagai daerah di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Sebelum rendezvous kedua itu berlangsung ada beberapa warta nan menyebutkan bahwa ada sekelompok orang nan mampu mengatur para jurnalis.
Lalu buat menghindari adanya politisi , kabar miring dan pengklaiman sepihak mereka meminta para jurnalis senior mereka seperti Erros Djarot, Goenawan Mohamad, Fikri Djufri dan Aristides Katoppo buat tak datang dalam rendezvous unruk membuat sebuah wadah gerakan jurnalis muda tersebut. Namun keesokan harinya baru mereka disuruh datang setelah rendezvous dan pembahasan selesai.
Itulah sejarah dan kode etik jurnalistik AJI salah satu aliansi para jurnalis.