Sosiologi dan Politik – Pikiran Rakyat, Kontrol Pemerintah
Kehidupan bermasyarakat nyatanya melahirkan banyak fenomena. Bahkan keilmuan pun dapat terlahir dari segerombol manusia dengan berbagai peringai tersebut. Seperti ilmu Sosiologi dan Politik . Dua ilmu tersebut, Sosiologi dan Politik, secara tak sadar terlahir dari masyarakat itu sendiri.
Dua buah ilmu, Sosiologi dan Politik, tersebut takjarang justru melahirkan berbagai kontroversi dan permasalahan di lingkungan masyarakat. Suatu ironis nan nyatanya memang benar-benar seperti itu.
Kedua ilmu nan cukup mendasari kehidupan bermasyarakat itu pada perjalanannya akan melahirkan beberapa tokoh. Tokoh-tokoh tersebut ialah mereka nan tentu saja memiliki ketertarikan tinggi terhadap permasalahan sosial dan politik. Bukan hanya tertarik secara keilmuan, tokoh-tokoh sosial dan politik itu biasanya juga langsung terjun ke masyarakat. Mengontrol fungsi kedua ilmu tersebut nan tak berjalan dengan semestinya.
Sosiologi dan Politik Lahir dari Masyarakat
Dalam perbincangan mengenai ilmu Sosiologi dan Politik, keduanya lahir dari rahim nan sama: Masyarakat. Namun dengan nasib nan anakronis. Persis seperti apa nan telah dibicarakan di atas.
Meskipun lahir dari rahim nan sama, Sosiologi dan politik merupakan dua hal nan berbeda. Jika sosiologi menjelaskan konduite generik dari kumpulan individu, maka politik, lebih kepada konduite individu kepada umum. Namun, ada pemahaman dari rahim sosiologi nan dinamakan Interaksionisme Simbolik, bahwa manusia sebagai individu ialah cerminan dari masyarakatnya.
Sosiologi dan Politik – Dua Ilmu nan Berbeda
Dari teori itu, lahir seorang Adolph Hitler nan melaksanakan Holocaust kepada orang Yahudi, tentunya masyarakat Jerman sendiri nan melahirkannya, dan bukan teori sebab Hitler itu devian, anak Iblis, dan sejenisnya. Hitler ialah anak dari simbol-simbol nan dia pelajari sepanjang hidup.
Kepentingan nan diciptakan Adolf Hitler diarahkan melalui simbol nan diberikan masyarakat. Pemimpin lahir dari simbol pemberian masyarakat. Itulah Sosiologi dan Politik nan tak saling meniadakan.
Titik primer permasalahan manusia, dalam Sosiologi dan Politik sebagaimana nan terungkap dalam karya primer Sosiologi, Mind, Self, and Society karya George Herbert Mead. Menyebutkan bahwa konduite manusia dipengaruhi interaksinya. Jiwa dalam diri akan selalu mengalami proses nan dipengaruhi dari lingkungannya. Ini dikarenakan akar-akar historis dari teori ini ialah pragmatisme. Sifat ini satu pengandaian dengan kisah buram politik.
Pada awalnya politik bertujuan mulia, yakni memberikan jalinan komando kepada manusia buat mengurusi hal bersama. Hal nan tak mungkin dilakukan secara individual. Yang berperan ialah si Individu paling diandalkan. Dia punya ide jelas tentang tongkat komando. Dia punya jiwa pemimpin. Dalam politik, inilah sistem parokial atau monarki absolut.
Meskipun mengakui kepemimpinan, Mead dalam situasi masyarakat nan telah terbentuk menyangkal kemandirian pimpinan, bahwa pemimpin ialah toserba penyelesaian masalah nan sudah ada sejak lahir. Toserba itu jelas dimodali oleh orang lain. Dengan kata lain dalam Mind, Self, and Society , bahwa nan berperan masyarakat dahulu kemudian pikiran. Pikiran dibentuk oleh masyarakat. Inilah nan menyebabkan Sosiologi dan Politik saling berkesinambungan.
Jika pikiran dibentuk oleh masyarakat -berdasarkan teori pendidikan Dewey- pendidikan ialah implan pemikiran, maka wilayah naluriah (dorongan nafsu, hasrat) sama sekali berada di luar sistem. Masyarakat memilih siapa nan harus memimpin program mereka, inilah nan dimaksudkannya dengan sistem demokrasi. Sebuah sistem nan lahir dari perpaduan antara Sosiologi dan Politik.
Tapi, ada pilihan lain. Yakni demokrasi nan diperalat oleh pimpinan nan memiliki konsep antipolitik. Politik bukan lagi agregasi kepentingan bersama. Melainkan muncul dari celak nafsu sang pemimpin nan seolah digdaya, berkuasa sebab mengusai tentara. Hal ini ialah sisi jelek dari dominasi secara Sosiologi dan Politik.
Oleh karenanya, Interaksionisme Simbolik atau teori Sosiologi nan lain tak mampu menjelaskan perihal Holocaust (pemusnahan massal manusia), Genocide (pembantaian etnis), histeria (ketegangan), stress (tekanan mental), dan perihal nan dipandang para behavioristik sebagai Sosiopat.
Pandangan manusia nan bergerak berdasarkan nalurinya sebagai sosiopat pun tak sahih sepenuhnya. Apalagi jika insting itu di-institusionalisasi, mengalami proses birokratisme nan rumit, menjadikannya sangat ideal seperti apa nan dilakukan Adolph Hitler dengan Holocaust-nya. Pelaku di global sosiologi dan politik nan terkenal sebab cara pandangnya.
Holocaust bukanlah rekaman amarah, amukan, pelanggaran norma, atau bahkan aktualisasi diri sosial sesaat. Holocaust diperhitungkan secara matang dalam ruang komando kementerian. Disiapkan ratusan pemikir sosial mengenainya, dan eksekusinya dilaksanakan dengan cara seefisien mungkin.
Jika manusia terdorong memonitor diri dalam lingkungan hubungan simbolik, di mana dimungkinkan hukum-hukum ‘akal sehat’ seperti persepsi berjalan dalam koridornya, maka Holocaust tak akan pernah terjadi! Kenyataanya holocaust terjadi juga. Inikah kemenangan holocaust dibandingkan civilisasi nan menjadi tujuan dari hadirnya ilmu politik?
Dalam rumusan mind , belakangan pikiran beroperasi lebih efektif dalam kehidupan dan menolak simbol atau norma. Global konkret penuh dengan masalah, dan teori ini disalahgunakan oleh para pemimpin bangsa abad 21, seperti Adolph Hitler, George W. Bush, Mobutu Sese-seko, Susilo Bambang Yudhoyono, Thaksin Shinawatra, atau Osama bin Laden. Dominasi dan penerapan ilmu sosiologi dan politik nan salah terjadi pada para pemimpin tersebut.
Para tokoh nan telah disebutkan, telah melakukan konstruk ‘mindgames’ atau permainan pikiran kepada masyarakat melalui jalan media. Masyarakat dikelompokkan dalam posisi nan sama. Di Indonesia kasusnya berjalan dengan cara halus. Sang pemimpin mengaku dijahati, dizalimi [politik pencitraan], oleh karenanya harus dikasihani dengan didukung agar dapat balas dendam pada nan menjahati. Mereka menjalankan sebuah strategi “rahasia” dalam menerapkan ilmu sosiologi dan politik nan dimilikinya.
Masyarakat nan seharusnya berkuasa, menunjukan simpati. Masyarakat seolah menonton film action dan mendukung si jagoan nan dizalimi buat balas dendam. Pada akhirnya, kepemimpinan politik di Indonesia memiliki corak sosiologi: Pembalasan dendam gaya sinetron.
Sosiologi dan Politik – Pikiran Rakyat, Kontrol Pemerintah
Sehingga ini bukan zamannya Hitler lagi dan simbol-simbolnya. Ketika pikiran telah berkembang dalam wadah nan disediakan subjek (pemerintah), maka Objek (rakyat) berjalan dalam wadah itu, tanpa menyadari bahwa alam pikirannya telah dikendalikan. Mereka merasa bahwa diri mereka telah berpikir dengan bebas, dilindungi oleh UU, misalnya. Namun, kebebasan itu merupakan kebebasan semu. Kebebasan semu nan ditawarkan oleh Sosiologi dan Politik di masyarakat.
Tak ada pemenuhan batin, tidak ada komunikasi intrapersonal, nan ada seruan dan pamfletisme. Hal ini menjelaskan kenapa masyarakat Indonesia bersikap sinis pada aplikasi pilkada. Namun berbondong-bondong rebutan ikut, bila ada pertandingan tim nasional. Dalam sudut pandang Sosiologi. Society tidak terbentuk di ranah politik. Namun, terbentuk di wilayah sepak bola. Ini sebagai akibat, pengontrolan pikiran pemerintah, nan membuat rakyat letih lelah dan tak mau berpikir lagi. Sebuah kenyataan nan berbeda drastis serta berbanding terbalik antara Sosiologi dan Politik.
Ada nan menarik mengenai keterkaitan semu nan telah dijelaskan di atas. Ketika sosiologi tak lagi dapat menjelaskan global politik seperti masa Perang Dunia. Simak saja dari istilahnya. Sosio dalam bahasa latin artinya kawan. Sementara ada idiom dalam politik, bahwa politik tak mengenal mitra abadi, nan dikenal hanya kepentingan abadi. Terlihat jelas bahwa, sosiologi dan politik sebenarnya ialah dua ilmu nan memungkinkan terjadinya adu persepsi di kalangan masyarakat.