Indonesia dan Sepak Bola
Masih terasa bagaimana respon masyarakat ketika tahu tim nasional kita melenggang ke final Piala AFF Desember tahun lalu. Semua seakan berlomba memeriahkan pertandingan tersebut dengan berbagai cara. Ada nan memakai jersey timnas kebanggaan, ada nan membuat spanduk berisikan yel-yel semangat sebagai persiapan menonton langsung laga tersebut di Senayan, ada juga nan berpikir kreatif dan menjual majemuk pernak pernik berkaitan dengan pertandingan Piala AFF tersebut atau tim nasional Indonesia.
Semua orang merasakan kegembiraan dan juga menggantungkan asa tinggi pada tim nasional buat dapat memenangkan laga final tersebut. Piala AFF menjadi satu kejuaraan bergengsi nan selalu diikuti oleh Indonesia, tapi kita belum dapat memetik hasil maksimal dari keikutsertaan ini. Kekisruhan organisasi nan memayungi kegiatan sepakbola nasional menjadi salah satu penyebab mandeknya kemajuan tim nasional kita. Kita tertinggal jauh di belakang dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Piala AFF menjadi salah satu contoh bahwa tinas kita hanya dapat mengandalkan keberuntungan. Secara teknis, permainan Tim Nasional Indonesia sudah dapat dibilang cukup baik, tapi masih belum memuaskan.
Sejarah Piala AFF
Sebelum berubah menjadi Piala AFF, kejuaraan ini bernama Tiger Cup atau Piala Tiger, yaitu suatu kejuaraan sepak bola nan melibatkan Negara-negara di Asia Tenggara nan diselenggarakan oleh Federasi Sepak Bola ASEAN atau disingkat AFF. Nama kejuaraan ini berbuah dua kali sinkron dengan nama sponsor nan digandengnya. Pada awalnya, bernama Tiger Cup sebab menggandeng sponsor sebuah perusahaan bir asal Singapura bernama Tiger Beer. Sekarang, kejuaraan ini berubah lagi menjadi Piala Suzuki AFF dengan sponsor primer perusahaan mobil Suzuki asal Jepang.
Kejuaraan ini dimulai pada 1996 di Singapura. Ketika itu, Thailand sukses meraih loka pertama setelah di final sukses mengalahkan Malaysia dengan skor 1-0. Mulai 2002, Piala Tiger diselenggarakan oleh dua negara. Thailand menjuarai kejuaraan ini pada 2000 dan 2002 berturut-turut setelah mengalahkan Indonesia di final. Sistem penyelenggaraan Piala AFF ini semakin membaik dengan diberlakukannya sistem laga kandang dan lawatan sejak 2004, meskipun baru berlaku buat termin semifinal dan final saja.
Timor Leste menjadi negara berikutnya nan ikut masuk sebagai peserta Piala AFF pada 2004. Pada tahun ini, Singapura merebut loka pertama setelah mengalahkan Indonesia di final baik di kandang maupun tandang. Pada 2007, Singapura kembali menjuarai Piala AFF setelah mengalahkan Thailand. Pada 2008, Indonesia dan Thailand menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan Piala AFF ini. Kali ini, Vietnam menjadi jawaranya. Pada 2010, Piala AFF kembali diselenggarakan di Indonesia dan Vietnam. Kampiun bertahan Vietnam tak mampu mempertahankan gelarnya sebab dikalahkan oleh Malaysia nan juga sukses mengalahkan Indonesia di final dengan agregat skor 4-2. Selama mengikuti kejuaraan ini, Indonesia masih belum mampu beranjak dari peringkat kedua.
Noda Hitam Piala AFF
Sepak bola selalu menyenangkan buat ditonton meskipun selalu muncul kontroversi nan mengejutkan. Tak ada bedanya dengan kejuaraan lain, Piala AFF menyisakan satu noda hitam nan akan terus diingat oleh global sepak bola. Pada 1998, ketika Piala Tiger diselenggarakan di Vietnam, di babak penyisihan mempertemukan Indonesia dan Thailand nan berebut loka buat melaju ke babak selanjutnya. Namun, buat menghindari rendezvous dengan Vietnam pada babak berikutnya, kedua tim memainkan sepakbola negatif nan merusak gambaran sepak bola indah.
Seorang pemain Indonesia, Mursyid Effendi, melakukan tindakan tak terpuji dengan sengaja melesakkan bola ke gawang sendiri demi kemenangan Thailand dan terhindar dari rendezvous dengan Vietnam. Kejadian ini membuat kedua tim dikenai denda oleh FIFA dan sang pemain nan melakukan gol bunuh diri tak lagi diperbolehkan bermain sepak bola di kancah internasional selama hidupnya. Kejadian ini dianggap telah merusak semangat fair play sepak bola nan selama ini didengung-dengungkan di seluruh dunia. Singapura menjadi kampiun di piala AFF 1998 setelah mengalahkan tuan rumah Vietnam dengan skor 1-0.
Indonesia dan Sepak Bola
Gelaran Piala AFF tahun kemarin dirasakan memberi akibat nan sangat luas terhadap seluruh masyarakat. Terbukti dengan tertariknya mereka nan tadinya menganggap sepak bola hanya permainan olahraga biasa saja kemudian menjadi ikut terlibat dalam keramaian dan dukungan kepada tim nasional kita. Meskipun pada akhirnya, Indonesia kembali gagal meraih gelar juara, tapi perhatian dan semangat nan dialirkan seluruh masyarakat menunjukkan kalau Indonesia masih memiliki asa buat dapat kembali berlaga di kejuaraan internasional.
Selama penyelenggaraan piala AFF kemarin, dapat kita lihat disparitas aktivitas di banyak kalangan. Anak-anak dengan suka ria bermain bola dengan menggunakan jersey nan bertuliskan pemain kebanggaan mereka masing-masing. Mereka berimajinasi menjadi seorang pesepak bola nan hebat seperti idolanya nan dilihat selama berlangsungnya kejuaraan Piala AFF ini. Beberapa nama mencuat seiring dengan performa mereka dalam laga nan dilakoni, seperti Christian Gonzales, Irfan Bachdim, Firman Utina, Bambang pamungkas, Oktavianus Maniani, dan Andik Vermansyah.
Meskipun secara holistik performa tim nasional Indonesia masih belum dapat dibilang sangat membanggakan, tapi melihat situasi nan terjadi dalam organisasi sepak bola Indonesia, boleh dikatakan cukup menghibur dan mendapat kemajuan nan lumayan. Kekisruhan di global sepak bola di Indonesia sedikit dapat terlupakan ketika Final Piala AFF diselenggrakan di Gelora Bung Karno. Seluruh masyarakat terhibur dan semangat memberi dukungan penuh buat timnas. Penyelenggaraan perserikatan sepak bola di Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah nan cukup menumpuk.
Panitia penyelenggara nan kurang professional menyebabkan pihak-pihak nan tak berkepentingan dapat melakukan intervensi. Begitu juga dengan pengaturan suporter nan kurang terjaga. Suporter sering menimbulkan kekacauan dan merusak fasilitas generik sebab emosi nan tak dapat dikendalikan. Semua ini terkesan sangat carut marut dan tak memberi contoh teladan sebagai penyelenggara atau suporter yang fair . Namun secara keseluruhan, penyelenggaraan Piala AFF 2010 dapat dikatakan sukses.
Munculnya beberapa nama baru pada Tim Nasional Indonesia atau Tim Garuda seperti Irfan Bachdim, membuat optimisme masyarakat akan kemajuan sepak bola kita kembali meningkat. Masyarakat seakan menggantungkan asa tinggi dalam final Piala AFF nan baru lalu. Optimisme ini merupakan tanda positif bagi penyelenggaraan kejuaraan sepak bola berikutnya di negara kita.
Antusiasme Piala AFF
Ketika Timnas Indonesia berlaga di babak Final Piala AFF nan diselenggarakan di Gelora Bung Karno, jutaan pasang mata tertuju ke sana baik nan melihat melalui televisi atau menonton langsung di stadion. Mereka nan datang langsung ke stadion rela mengantri sejak dinihari sampai waktu kick off dibunyikan demi buat melihat Timnas Garuda berlaga dengan gagah dan memenangkan pertandingan. Meskipun pada akhirnya, tim kita harus mengalah pada tim tamu, Malaysia, tetapi antusiasme dan kebanggaan masyarakat atas prestasi tim sepak bola ini harus dipertahankan.
Pemerintah sudah seharusnya tak mengabaikan optimisme masyarakat nan bangkit lagi dalam kejuaraan Piala AFF ini setelah sebelumnya sempat tenggelam sebab permasalahan nan tidak kunjung selesai di tubuh PSSI. Para pemain nasional kita tak kalah hebat dan membanggakan dibandingkan dengan para pemain sepak bola luar negeri. Inilah nan harus terus dipelihara dan ditingkatkan performanya oleh para pengurus pusat. Jika tak ada nan dapat dibanggakan di negeri ini selain kekayaan alamnya, setidaknya sepak bola kita mampu membuat setiap orang membusungkan dada dan berkata, “Saya orang Indonesia.” Semangat!