Kehidupan Sosial Ekonomi Kemasyarakatan Kerajaan

Kehidupan Sosial Ekonomi Kemasyarakatan Kerajaan

Kerajaan Kutai Martadipura dapat dikatakan cikal bakal sistem pemerintahan monarki tertua di bumi nusantara. Dari bukti prasasti nan ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur, menunjukkan bukti otentik keberadaan kerajaan nan mayoritas beragama Hindu pertama ini di wilayah nusantara.

Lokasi keberadaanya di hulu Sungai Mahakam, Muara Kaman. Pada abad ke-4, kehidupan masyarakatnya memperlihatkan kemakmuran dan kesejahteraan sehingga kaum Brahmana mempersembahkan prasasti Kutai sebagai bentuk jasa atas kebaikan rajanya. Pada dasarnya, para pakar sejarah belum menemukan nama nan sahih buat kerajaan ini.

Bukti peninggalan prasasti nan sempat ditemukan sangat sedikit. Untuk mendapatkan informasi tentang kepurbakalaan, kita masih mengandalkan prasasti-prasasti nan tersimpan di museum nasional republik Indonesia. Meskipun begitu para peneliti selalu melakukan riset dengan prasasti-prasasti nan ada di mancanegara.

Penamaan Kutai berasal dari kata queitaire. Kata tersebut memiliki arti belantara. Para pendatang dari kaum pedagang (dari India selatan) biasa menamakan sebutan itu buat kerajaan ini. Mereka singgah di ibukota kerajaan nan terletak di muara sungai Mahakam nan bernama Maradavure (Martapura).

Pada saat itu, Pulau Kalimantan masih diberi nama Naladwipa. Sedangkan warta dari dari Champa disebut Kota Kho-Thay (Kota Besar atau Bandar Kerajaan Besar). Dalam tujuh prasasti Kutai (Yupa) disebutkan adanya upacara kurban kudus dari sang raja kepada para Brahman.

Upacara kurban kudus ini disertai dengan rasa tulus dan ikhlas dari pemiliknya (biasanya penguasa nan memerintah saat itu). Dalam ritual Hindu, kurban kudus disebut juga dengan Yadnya. Ada lima praktek Yadnya di dalam agama Hindu. Lima praktek Yadnya ini dikenal juga dengan sebutan Panca Yadnya, yakni;

  1. Dewa Yadnya yaitu persembahan kurban kudus nan ditujukan buat Sang Hyang Widhi Wasa.
  2. Resi Yadnya (Brahman yadnya) yaitu persembahan kurban kudus nan ditujukan buat para resi (Brahman) sebagai balas jasa terhadap beliau. Karena, dari merekalah, ajaran-ajaran agama dapat disebar dan dikembangkan kepada umat-umatnya.
  3. Pitra Yadnya yaitu persembahan kurban kudus nan ditujukan pada para roh nenek moyang dan orang tua nan masih ada.
  4. Manusa Yadnya yaitu persembahan kurban kudus nan ditujukan buat sesama manusia
  5. Bhuta Yadnya yaitu persembahan kurban kudus nan ditujukan buat para Bhatara Kala. Tujuannya, kurban kudus tersebut bisa menetralisis kekuatan alam agar tetap serasi dan tentram.

Para Brahman menerima pemberian kurban kudus dari Raja Mulawarman sebanyak 20.000 ekor sapi. Sebagai rasa penghormatan atas kedermawan rajanya, mereka membuat tugu peringatan (prasasti).



Silsilah Penguasa Kerajaan Kutai Martadipura

Penguasa nan terkenal dari kerajaan tertua di wilayah nusantara ini ialah Mulawarman. Beliau dari putra Aswawarman. Dan Aswawarman sendiri ialah putra dari Kundungga. Nama terakhir ini seorang bangsawan dari kerajaan Campa (Kamboja) nan berhijrah ke bumi nusantara.

Belum jelas bagaimana sosok Kundungga ini. bahkan, banyak nan menduga ia belum masuk agama Budha. Dari cara penamaan putra dan cucunya, Asmawarman dan Mulawarman bisa dikenali adanya pengaruh dari bahasa Sanskerta.

Dari mulai keturunan langsung Maharaja Kundungga nan bernama Aswawarman ini dikenal sebagai pendiri kerajaan Kutai dengan gelar Wangsakerta. Istilah Wangsakerta ini memiliki arti pembentuk keluarga.

Beliau memiliki tiga putra dari salah satu ketiga putra beliau, nan bernama mulawarman mampu memerintah kerajaannya hingga mencapai kemashyuran dan kejayaannya.

Raja Mulawarman mampu memperluas wilayah kekuasaan hampir seluruh propinsi Kalimantan Timur saat ini. Ada sebanyak 21 garis keturunan penguasa kerajaan nan terletak dekat dengan Kabupaten Bontang saat ini. Urutan keluarga raja:

  1. Maharaja Kundungga bergelar Maharaja Indra Warman Dewa anumerta Dewawarman
  2. Asmawarman
  3. Candrawarman
  4. Mulawarman
  5. Sri langka Dewa
  6. Marawijaya Warman
  7. Guna Parana Dewa.

Sedangkan buat penamaan raja selanjutnya diakhiri dengan kata Warman, tapi terpisah: Gajayana, Wijaya, Tungga. Nama raja selanjutya nan berkuasa yakni Sri Aji Dewa, Jayanaga Warman, Mulia Putera, Nalasinga Warman, Nala Pandita, Nala Parana Tungga, Indra Pruta Dewa, Gadingga Warman, Dharma Setia Dewa.



Kehidupan Sosial Ekonomi Kemasyarakatan Kerajaan

Berdasarkan inskripsi prasasti nan sudah diterjemahkan oleh para pakar sejarah, kehidupan sosial kemasyarakatan tertib, teratur dan aman. Masyarakatnya mudah beradaptasi sinkron dengan perkembangan jaman.

Hal ini bisa dibuktikan dari diterimanya bahasa sansekerta dalam upacara-upacara keagamaan. Sedangkan tradisi kebudayaan sendiri masih dapat tetap terpelihara dan dipertahankan.

Tradisi budaya orisinil nan masih terpelihara antara lain masih dipertahankannya pemimpin upacara keagamaan dari orang orisinil penduduk setempat, bukan brahmana nan berasal dari orang India.

Data-data kehidupan ekonomi masyarakat masih belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan pola hayati masyarakat dan lingkungan geografisnya, ekonomi masyarakat ditopang dari sektor pertanian.

Pada saat itu, interaksi antar manca negara nan kemungkinan dapat terjalin yakni dengan orang-orang China dan India. Interaksi dagang dengan mereka lewat bahari sangat mungkin terjadi sebab letak geografisnya ikut mendukung.

Pada abad ke-4 Masehi, peradaban di China daratan dan India sangat maju. Jalur pelayaran ialah moda transportasi nan termudah antar negara. Sayangnya, letak kerajaan ini tak termasuk jalur perdagangan primer lewat laut.

Hal ini bisa dibuktikan dengan minimnya informasi dari para pedagang-pedagang daratan China nan mengadakan transaksi dagang. Para pedagang china daratan memilih jalur bahari via Tumasik terus ke Selat Malaka. Perjalanan darat mereka memilih jalur nan ramai seperti jalur sutera.

Selama berabad-abad, kerajaan ini tak mengalami perkembangan dan kemajuan nan berarti di segala bidang. Mereka hanya dikenal sebagai orang dari suku kutai nan hayati di tepi sungai.

Suku kutai ini lebih identik pengertiannya dengan suku dayak orisinil Kalimantan dibandingkan dengan definisi nan telah kita terima. Suku Dayak orisinil Kalimantan masih kental menggunakan tradisi lisan seperti Suku Dayak Tunjung dan Suku Dayak Benuaq. Sedangkan Suku Kutai nan kita maksud sudah tercampur dengan tradisi luar.

Masyarakat orisinil Kerajaan di Kutai Martadipura ialah Suku Dayak orisinil Kalimantan nan masih memakai budaya lisan. Mereka lebih dekat dengan upacara-upacara seperti belian (tari-tarian pengobatan dari kesembuhan penyakit), mantra-mantra buat tolak bencana dan ilmu-ilmu gaib. Dampak ketertingalan dalam bidang sosial dan politik.

Orang-orang dari luar membawa budaya masuk ke dalam kehidupan mereka. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan pesat kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Pada saat itu Singasari berkembang pesat dengan rajanya nan bernama Kertanegara.

Penguasa Singasari berambisi menyatukan berbagai wilayah kerajaan dalam satu kesatuan. Penamaan kutai memberi arti persatuan di sekitar kawasan Kalimantan Timur.

Akhirnya suku dayak orisinil Kalimantan ikut melebur dengan penamaan Kutai. Mereka nan menolak dengan penggabungan itu melarikan diri ke pedalaman hutan dengan membawa tradisi aslinya.

Berdirilah Kerajaan Kertanegara di Kutai. Perkembangan kerajaan baru ini lebih pesat dibandingkan dengan Kerajaan di Kutai Martadipura.

Sehingga terjadi peperangan di antara dua kerajaan ini tak terelakkan lagi. Maharaja Dharma Setia tewas ditangan Raja Kutai kertanegara ke-13 nan bernama Aji Pangeran Anum Panji Mendapa.