Hak Menghirup Udara Bersih
Upaya pencegahan merokok harus harus diarahkan kepada kepentingan menjaga lingkungan dan kepentingan orang lain, agar memunculkan sikap toleransi dan tanggung jawab sosial nan lebih tinggi. Sebaliknya bila upaya pencegahan merokok diarahkan kepada kepentingan individu, selalu banyak nan abai sebab merasa kalau sakit pun tetap sendiri dan tak akan dipedulikan orang lain. Sudut pandang upaya pencegahan merokok ini memang harus diperbaiki.
Perokok pasif atau mereka nan hanya menghirup asap rokok dari seorang perokok aktif, beresiko lebih besar menderita berbagai penyakit. Ini memang sudah jadi misteri umum, tapi sebab tak ada tanggung jawab sosial dan sikap toleransi dari pada perokok kepada lingkunganya, maka perokok pasif tetap menjadi korban. Berkaitan dengan hal tersebut, beredar sebuah lelucon nan mengatakan, buat menghindari resiko penyakit lebih besar maka sebaiknya kita menjadi perokok aktif saja. Tentu hal tersebut tak sahih dan sebaiknya dihindari. Sebab, akan lebih sehat jika semua orang melakukan upaya pencegahan merokok dengan cara tak merokok.
Bahwa dengan tak merokok hayati akan lebih sehat, juga sudah diketahui masyarakat generik jauh hari sebelumnya. Tapi kenapa merokok tetap saja menjadi kegemaran nan makin hari makin bertambah banyak ? Ini tak terlepas dari masalah propaganda, promosi nan hiperbola dan tak digarapnya dengan optimal sisi-sisi sosial nan menyentuh para perokok. Memang tak mudah membuat pencerahan dari masing-masing individu nan secara kolektif saja sudah dianggap perbuatan nan benar. Memang merokok secara sosial bukanlah perbuatan tercela seperti mencuri. Namun sebab mengganggu orang lain, maka dalam propaganda atau promosi juga harus disertakan bahwa merokok dengan mengganggung orang lain, sama saja dengan perbuatan mencuri atau perbuatan tercela lainnya. Bila hal ini terus dikampanyekan, maka hasilnya akan jauh lebih efektif dibanding dengan promosi nan langsung melarang merokok.
Merokok ialah perbuatan individu nan sangat pribadi sifatnya, dan di dalamnya terdapat berbagai macam latar belakang kenapa seseorang merokok dan orang lain tak merokok. Faktor-faktor inilah sebenarnya nan harus diperhatikan ketika akan mengkampanyekan antara merokok. Bila embargo merokok dikaitkan dengan kesehatan, apa jadinya bila ternyata ada seorang perokok berat nan ternyata sehat-sehat saja bahkan jauh lebih sehat dibanding dengan nan tak merokok. Ini juga akan jadi masalah. Bila embargo merokok dikaitkan dengan perbuatan buang-buang uang, tentu akan tak efektif bila ternyata perokok aktif jauh lebih makmur dibanding dengan orang nan tak merokok. Ini juga akan jadi masalah ketika akan mengkampanyekan embargo merokok dengan hitungan-hitungan uang.
Ada sebuah lelucon tentang hal ini, yakni rendezvous dua orang lelaki tua dan muda di ruang tunggu. Seorang lelaki tua nan tak merokok merasa keberatan sebab anak muda di sebelahnya tidak henti merokok, maka iapun menegurnya. Habis berapa batang sehari, Dik, tanya lelaki tua. Kadang satu bungkus kadang dua bungkus, jawab si anak muda enteng. Berapa harganya, tanya lelaki tua. Minimal sepuluh ribu per bungkus, pak, jawab anak muda. Sepuluh ribu sehari, kalau seminggu sudah tujuh puluh ribu terbuang percuma, sebulan sudah dua ratus delapan puluh ribu, dalam setahun sudah terkumpul hampir 3,5 juta. Kalau adik ini sudah merokok selama sepuluh tahun saja, sudah terbeli mobil bekas. Anak muda melirik, bapak merokok, tanya kemudian. Lelaki tua menggeleng. Bapak sudah punya mobil, tanya anak muda. Lelaki tua itu menggeleng lagi. Kalah dong sama saya, merokok sebungkus sehari, tapi sudah punya mobil baru dua.
Penyakit Di Seputar Merokok
Namun demikian ketika berbicara tentang merokok, maka tak dapat tak dikaitkan dengan masalah kesehatan. Ini memang logika lurusnya. Ada lebih dari sepuluh penyakit nan mengincar seorang perokok aktif maupun juga pasif. Beberapa di antaranya adalah, impotensi, jantung, osteoporosis, kanker paru, pembekuan genre darah, dan masih banyak lainnya.
Selain itu, dari segi estetika, bau nan ditinggalkan oleh asap kotor hasil pembuangan dari paru-paru perokoknya sangat tak sedap. Efeknya, keluarga atau orang di sekitar perokok aktif akan merasa terganggu dan terpaksa menghirup sampah berupa asap kotor dan bau tak sedap itu. Kesemua ini dapat dijadikan model buat mengkampanyekan upaya pencegahan merokok. Namun kampanye upaya pencegahan merokok jangan kalah dibanding dengan iklan rokok itu sendiri, baik dari sisi kemasan, pesan nan efektif, kuantias penyebar luasan pesan pencegahan merokok itu sendiri. Bila elemen-elemen tersebut masih kalah dibanding dengan iklan rokok, maka upaua pencegahan merokok akan tak efektif.
Hak Menghirup Udara Bersih
Melakukan upaya pencegahan merokok ialah hak orang di sekitar seorang perokok aktif, sebab, bernafas dengan oksigen murni dan higienis ialah sebuah pilihan nan patut diperjuangkan oleh semua orang. Memberikan sebuah ruangan spesifik merokok, dapat juga jadi sebuah jalan keluar, seperti nan saat ini banyak dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan membangun sebuah ruangan spesifik di loka generik agar perokok pasif bisa menghirup sampah asap nan mereka keluarkan sendiri. Namun cara ini juga sebenarnya tak tepat, sebab ada kesan bahwa pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan supervisi terhadap konduite masyarakatnya, terlihat mendua. Kalau memang sedang dicari upaya pencegahan merokok, kenapa di sisi lain justru disediakan loka spesifik bagi siapa saja nan maru merokok. Ketidak konsistenanya dari pemerintah ini pun menjadi biang keladi kenapa para perokok jumlahnya dari tahun ke tahun tak pernah menurun.
Rokok Shisha Lebih Bahaya
Banyak nan mengatakan, bahwa rokok Arab atau Shisha lebih enak dan sehat dibandingkan rokok biasa. Ternyata pendapat tersebut salah besar. Karena menurut penelitian sebuah forum anti tembakau Prancis, kandungan sekali hisapan Shisha, ialah sama dengan 70 kali menyedot rokok biasa. Ini dikarenakan alat hisap atau bong nan digunakan berukuran besar dan memungkinkan lebih banyak asap nan masuk ke paru dalam sekali hisap.
Kandungan racun Tar dalam 1 Shisha juga luar biasa yaitu setara dengan 27-102 rokok biasa. Sedangkan kadar karbon monoksida nan terhirup dalam Shisha menyerupai kadar CO nan dikandung 15-50 buah rokok. CO ialah zat nan mencegah paru mendapatkan pasokan oksigen nan bersih. Bahayanya, ia memicu timbulnya penyakit jantung.
Semua hal tersebut di atas tentu tak sekedar fakta nan dibeberkan dengan percuma, namun dalam rangka melakukan upaya pencegahan merokok demi kesehatan masyarakat. Jadi, berhentilah egois dan tetap nekat merokok di wilayah umum, bahkan keluarga. Sebab kesehatan ialah hak semua orang.
Karena kesehatan ialah hak semua orang, semestinya pemerintah juga memperhatikan hal ini. Bila jumlah penduduk di Indonesia ialah 300 juta jiwa, maka nan memiliki hak buat sehat, diantaranya dengan menghirup udara nan higienis ialah 300 juta jiwa tanpa kecuali para perkokok itu sendiri. Bila jumlah para perokok ialah tiga puluh proses dari seluruh jumlah penduduk misalnya, maka tak ada alasan bagi pemerintan buat memberi ruang kepada para perokok dan sebaliknya mengingkari hak sehat seluruh penduduk termasuk juga para perokok.
Tapi bila berbicara tentang sumber pendapatan negara dari cukai rokok saja, memang luar biasa. Jadi, pemerintah tidak akan pernah mampu benar-benar mencegah merokok sebab hatinya selalu mendua. Pada saat mendua, maka pesan menjadi bias. Dan rupanya hal inilah nan terjadi dengan masyarakat Indonesia, kenapa jumlah perokok aktif tetap saja tinggi dan tak pernah ada tren menurun jumlahnya.