Marah dalam Pandangan Agama

Marah dalam Pandangan Agama

Marah ialah salah satu gejala nan timbul dari sebuah kondisi pada diri manusia. Anda tentu sudah pernah mengalaminya. Apalagi jika memang ada nan memicu terjadinya marah semisal hal-hal nan membuat Anda merasa tak senang, merasa sakit, atau hal-hal nan membuat kita menjadi sangat ingin marah.

Marah dalam konteks problematika sosial bagi masyarakat Indonesia, menjadi hal nan dianggap biasa sebagaimana kita melihat orang-orang marah-marah di televisi. Tak hanya mengeluarkan kata-kata tak baik dengan volume menggelegar, marah juga sudah berbentuk aksi-aksi kekerasan fisik.

Lantas, apa nan disebut dengan marah itu sendiri? Bagaimana kondisi nan terjadi pada diri manusia manakala dia sedang marah? Apakah definisi marah dan bagaimana agama memandang marah serta solusi nan diberikannya?



Marah Itu Alamiah

Marah atau nan biasa kita kenal dengan bagian emosi, secara fisik mengakibatkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah nan sangat tak teratur, serta terjadinya peningkatan pada adrenalin dan juga noradrenalin.

Saat orang melakukan tindakan marah, meski ia sadar dalam memutuskan tindakan tersebut, maka marah itu kemudian menjadi sangat dominan dari sisi perilaku, pengetahuan, dan fisiologis manusia tersebut. Apalagi jika ini disebabkan oleh ancaman pihak luar.

Selanjutnya, marah kemudian mewujud dalam tampilan fisik manusia berupa raut muka nan berbeda, bahasa pada tubuh nan tidak biasa dan sulit terkontrol, respons psikologis, hingga kemudian dapat saja berupa serangan kepada publik jika sudah tak dapat dkendalikkan lagi.

Dalam bahasa nan lain, marah kemudian dipahami sebagai ungkapan atau konduite nan memang sengaja dirancang spesifik buat memberikan peringatan kepada para penganggu agar mereka segera menghentikan tindakan mengangganggunya tersebut. Ini menunjukan adanya faktor luar nan memengaruhi.

Namun meski muncul dari faktor luar, ini memicu pada permasalahan nan ada pada diri orang nan marah tersebut. Hal ini terjadi sebab biasanya mereka tak dapat mengendalikan diri dan tak mampu memberikan penilaiaan secara objektif.

Dalam pandangan para psikolog modern, marah kemudian dipandang sebagai suatu emosi nan bersifat primer, alami, dan matang. Dengan kata lain, marah pada akhirnya juga memiliki dimensi fungsional buat menjaga kelangsungan hayati manusia sebab ia mampu menggerakkan kemampuan psikologis buat melakukan tindakan koreksi.

Namun jika marah sudah menjadi hal nan tak dapat dikendalikan lagi, maka nan terjadi ialah marah nan membawa akibat negatif tersendiri. Ini sebab akan membawa pengaruh jelek pada pribadi dan juga sosial.

Melihat bahasan di awal, pada posisi lain marah akan berpengaruh juga pada masalah kesehatan. Yakni terjadi pada mereka nan menekan dan memendam marah. Tipikal orang seperti ini biasanya lebih cenderung bagai pesakitan dibanding dengan mereka nan meluapkan kemarahan dengan sewajarnya.Sementara jika lampiasan kemarahan dilakukan secara berlebih, maka nan timbul ialah sakit juga. Jika sudah demikian, apakah sebenarnya nan disebut dengan marah itu sendiri?



Pengertian Marah Menurut Psikolog

Ada beberapa ahli nan sudah mengatakan apa sebenarnya definisi dari marah itu sendiri. Sebagaimana nan dikatakan Charles Spielberger, Ph.D., psikolog pakar nan memang mengambil tiga spesialisasi studi nan berkaitan tentang marah, marah merupakan konduite normal dan sehat sebagai salah satu wujud aktualisasi diri emosi manusia nan ada di alam ini.

Marah sebagai bentuk emosi, juga sama dengan jenis emosi lainnya sebab memang pada dasarnya melibatkan perubahan psikologis dan biologis pada diri manusia.

Yang terjadi pada saat manusia marah ialah terjadinya peningkatan pada denyut nadi dan tekanan darah. Hal nan serupa juga terjadi pada level hormon, adrenalin, dan juga terjadi peningkatan pada noradrenalin. Sementara itu seorang konsultan pencegahan stres dan juga kekerasan, Mark Gorkin, membagi-bagi marah ke dalam empat kategori nan terdiri dari; marah disengaja, marah impulsif atau mendadak, marah konstruktif atau nan disertai dengan ancaman pada orang lain, dan marah destruktif atau marah nan ditumpahkan seseorang tanpa merasa bersalah sama sekali.

Marah juga oleh ahli disebut sebagai bentuk komunikasi, sebab ada orang nan baru memahami sesuatu jika orang tersebut marah. Kemudian, persoalan geografis juga memengaruhi tentang bagaimana cara orang mengekspresikan kemarahan. Jika di Indonesia orang marah dengan berteriak-teriak dan mengeluarkan kata-kata nan tak layak bahkan pada termin melakukan tindakan kekerasan fisik, maka hal itu sporadis ditemui di Jepang.

Kondisi adat dan budaya Jepang mengajarkan marah dengan hanya cukup berdiam saja. Bahkan, negara Amerika nan mengaku sangat terdididik pun memiliki budaya mengekespresikan marah dengan cara berterus terang atau dilampiaskan sepuas-puasnya.

Selanjutnya, kita kemudian mendengar penelitian lain, nan mengabarkan bahwa marah ialah hal nan sangat manusiawi. Ini sebab marah itu memang sengaja dihadirkan pada diri manusia nan ternyata membawa akibat tersendiri bagi kesehatan.

Hal ini ilandasi oleh sebuah penelitian nan mengatakan; mereka nan cenderung memendam rasa marah, akan lebih cepat sakit dibanding dengan mereka nan meluapkan marahnya sebab dapat mengendurkan syaraf-syaraf di tubuh.



Marah dalam Pandangan Agama

Dalam konteks agama Islam, marah ialah sebuah bentuk rahmat atau cara Tuhan memberikan kasih sayang. Karena memang sebagaimana telah dilakukan penelitian, marah pun dapat membawa pada hal-hal nan bersifat positif.

Saat orang marah, kesamaan buat mengeluarkan kata-kata kasar, mencaci maki, dan menghina, akan dengan mudah berhamburan jika tak dikontrol dengan baik. Maka bagi mereka nan mampu menahan amarah, meski secara medis kemudian diangap tak sehat, tetapi agama memberikan penghargaan tersendiri dengan mengatakan bahwa orang nan mempu menahan marah ialah mereka nan kuat sebab menahan marah sama saja artinya dengan mereka nan mampu bersabar.

Ini kemudian diperkuat dengan salah satu hadis Muhammad Saw sebagai Nabi Umat Islam, nan diriwayatkan dari Abu Hurairah nan mengatakan bahwa Rasul Allah bersabda: "Orang nan kuat itu bukanlah orang nan bisa bergulat. Akan tetapi orang kuat ialah orang nan bisa menahan nafsunya ketika sedang marah." (Mutafaq'alaih).

Selain hadis di atas, berkali-kali Muhammad Saw, berwasiat kepada sahabat-sahabatnya agara menahan marah, bahkan kalau memang mampu diusahakan agar tak marah.

Ia juga memberikan tips tersendiri jika kita sebagai manusia dilanda marah nan memang bersifat manusiawi. Jika kita marah, maka Rasul menganjurkan agar jika posisi saat kita marah sedang berdiri, maka duduklah. Jika belum hilang juga, maka berbaringlah.

Dan jika cara-cara ini kemudian masih juga tak ampuh dalam meredakan amarah, maka kita disarankan oleh Nabi agar segera mengambil air wudhu lalu melakukan salat dua rakat. Dari sini kemudian dipahami bahwa marah itu ialah simbol panas atau barah nan hanya akan padam oleh sejuknya air.

Marah itu sekali lagi juga ialah hal nan manusiawi. Maka dari itu, Rasul tak pernah melarang seseorang buat marah, Ia hanya menganjurkan cara-cara agar kita dapat menguasai rasa marah itu sendiri. Pasalnya dari marah, kemudian hal-hal nan dilarang agama kemudian bermunculan; benci pada sesama, memutuskan silaturahmi, hingga peperangan.

Maka dari sanalah kemudian Rasul memberikan sebuah agunan bagi mereka nan dapat menahan marah lewat sebuah hadis berikut ini: Ada seorang lelaki nan datang menemui Rasulullah saw dan mengatakan, "wahai, Rasulullah, ajarkanlah kepada aku sebuah ilmu nan dapat mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan dari neraka."

Maka Rasullah Saw menjawab dengan sabdanya, "jangan tumpahkan kemarahanmu. Pasti surga akan kau dapatkan." (HR. Thabrani). Hal nan kemudian diperkuat dengan sebuah hadits nan diriwayatkan Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Ausath nan mengatakan, bahwa Rasullallah Saw bersabda; "Barang siapa mampu menahan amarahnya, maka Allah Akan menahan azab-Nya dari dirinya."

Nah, demikianlah artikel tentang ihwal marah. Semoga bermanfaat.