Faktor Pendorong Partisipasi Politik

Faktor Pendorong Partisipasi Politik

Budaya politik parokial merupakan budaya politik nan terdapat dalam suatu masyarakat, dimana masyarakat tersebut tak memiliki partisipasi politik, bahkan tak peduli sama sekali terhadap perkembangan politik di negaranya.

Masyarakat nan memiliki budaya politik ini lazimnya tinggal di pedalaman nan menutup diri terhadap perubahan sosial dan tak mendapatkan pendidikan nan layak, sehingga mereka cukup saja mewakilkan aspirasinya kepada kepala adat jika ada hal-hal nan berkaitan dengan event politik nan diselenggarakan oleh negara misalnya Pemilu, Pilleg, Pilkada dan sebagainya.



Peranan Partisipasi Politik

Padahal partisipasi politik nan meluas merupakan karakteristik khas dari modernisasi politik. Di jaman sekarang ini pemerintahan dan politik nan biasanya hanya merupakan urusan satu golongan elit kecil saja, sekarang masyarakat awam pun sudah banyak nan tahu dan mengerti politik sehingga mereka dapat menyadari atau tak bagaimana tindakan-tindakan pemerintah dapat mempengaruhi kehidupan mereka nan dapat menimbulkan opini dalam bentuk partisipasi.

Tingkat partisipasi dipengaruhi dengan kondisi negara, apabila negara dalam kondisi nan baik maka taraf partisipasinya pun akan tinggi/baik tetapi jika negara dalam keadaan mundur taraf partisipasi pun turun/kurang baik. Oleh sebab itu faktor primer penentu partisipasi ialah kondisi negara/pemerintahan itu sendiri.

Partisipasi politik merupakan kegiatan nan dilakukan oleh para warganegara dengan tujuan bisa mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi dapat dilakukan secara impulsif dan secara sinambung, secara damai atau kekerasan, sah atau illegal, efektif atau tak efektif nan dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk. Pembaruan nan efektif selalu menuntut perubahan-perubahan dalam partisipasi politik nan dikombinasikan dengan sedikit persuasi agar partisipasi politik dapat tercapai sinkron dengan harapan.



Pengertian Partisipasi Politik

Keith Davis mendefinisikan partisipasi sebagai berikut: "Partisipasi bisa didefinisikan sebagai keterlibatan mental atau pikiran dan emosi atau perasaan seseorang didalam situasi kelompok nan mendorongnya buat memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta tanggung jawab terhadap usaha nan bersangkutan." (Sastropoetro, 1988:13).

Definisi tersebut bisa dideskripsikan, bahwa partisipasi tak hanya melibatkan aspek perasaan dan pikiran serta sumbangan dan melakukan sesuatu dengan rasa bahagia dan tak merasa terpaksa sinkron dengan maksud dan tujuan penyampai pesan. Adapun nan dimaksud dengan sumbangan di loka ini bisa meliputi bermacam bentuk dan jenis sinkron dengan partisipasi nan diharapkan.

Yang dimaksud dengan partisipasi politik ialah "kegiatan warganegara partikelir (private citizen) nan bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah."(Hutington-Nelson,1994:6). Definisi lain partisipasi politik "semua kegiatan nan mempunyai tujuan-tujuan tertentu, tidak peduli apakah itu sah atau tak sah menurut norma-norma nan berlaku di dalam sistem politik nan bersangkutan." (Hutington-Nelson,1994:8)



Faktor Pendorong Partisipasi Politik

Pada hakikatnya bahwa taraf partisipasi politik di kota lebih tinggi daripada taraf partisipasi politik di pedesaan, hal itu merupakan dampak dari disparitas status sosial, pendidikan dan pekerjaan nan dijadikan ukurannya. Dari segi angka-angka pemilihan secara keseluruhan, maka banyak dari disparitas antara loka tinggal dikota dan di desa. Namun ini berbeda dengan kondisi parokial, di mana semua orang baik kota dan desa begitu skeptis, pada pemilu.

Bila mengikuti rumus. Untuk mencapai taraf pendidikan dan pekerjaan nan lebih tinggi akan meningkatkan partisipasi politik nan tentunya dilaksanakan dalam jangka panjang dan membutuhkan waktu nan cukup lama sebab ini merupakan kedua hal nan bisa mendorong lahirnya partisipasi politik nan berkualitas dan diharapkan.

Faktor pendorong primer partisipasi politik yaitu pembangunan pemerintahan di segala bidang nan adil dan merata nan dapat meningkatkan kualitas partisipasi politik masyarakat nan bagi kebanyakan orang partisipasi politik hanya merupakan cara atau jalan buat mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini partisipasi politik merupakan wahana nan digunakan buat mencapai tujuan negara yaitu ikut serta dalam penyelenggaraan negara yaitu turut serta dalam pemilu.



Landasan Partisipasi Politik

Di dalam kondisi masyarakat nan berlainan, partisipasi politik bisa berakar dalam landasan-landasan golongan nan berlainan. Dalam hal ini Huntington dan Nelson menjelaskan bahwa buat menganalisa partisipasi dari segi tipe-tipe nan berlainan digunakan penyelenggaraan partisipasi nan biasanya merupakan landasan-landasan nan lazim, yaitu:

  1. Kelas Perorangan-perorangan dengan status sosial, pendapatan pekerjaan nan serupa.
  2. Kelompok/ komunal Perorangan-perorangan dari ras, agama, bahasa atau etnisitas nan sama.
  3. Lingkungan (Neighborhood) Perorangan-perorangan nan secara geografis bertempat tinggal berdekatan satu sama lain.
  4. Partai Perorangan-perorangan nan mengidentifikasikan diri dengan organisasi formal nan sama nan berusaha buat meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan.
  5. Golongan (faction) Perorangan-perorangan nan dipersatukan oleh hubungan nan monoton atau intens satu sama lain, dan salah satu manifestasinya ialah pengelompokkan patron-klien, artinya satu golongan nan melibatkan pertukaran manfaat-manfaat secara timbal balik diantara perorangan-perorangan nan mempunyai sistem status, kekayaan dan pengaruh nan tak sederajat. (Huntington-Nelson,1994)


Mengapa pada Budaya Politik Parokial Partisipasi Politik Begitu Rendah?

Dalam budaya politik parokial terdapat integrasi antara pemimpin politik dengan pemimpin lainnya, misalnya pemimpin agama, ekonomi, budaya.

Seorang kepala adat memimpin segala hal tidak hanya politik ketika menjadi wakil masyarakatnya buat menyampaikan aspirasinya, tapi sekaligus menjadi pemimpin agama pada upacara-upacara keagamaan, pemimpin ekonomi ketika mempertahankan hayati ( survival ) keluarga dan warganya dengan bertani, berkebun, berburu, dan sebagainya.

Juga sebagai pemimpin budaya nan harus menjaga adat istiadat supaya tak dipengaruhi oleh budaya lain nan bisa merusak kearifan lokal.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pendidikan nan rendah memicu budaya politik parokial semakin kuat tertanam dalam keyakinan masyarakat. Sebenarnya tidak hanya masyarakat pedalaman, tidak menutup kemungkinan juga masyarakat perkotaan jika taraf partisipasi politiknya minim dapat dikategorikan memiliki budaya politik nan sama dengan karena nan berbeda.



Faktor Pendidikan nan Rendah

Jika pada masyarakat pedalaman budaya politik parokial terjadi sebab kurangnya pendidikan sehingga akses informasi terhadap pendidikan politik sangat minim, maka pada masyarakat perkotaan justru sebaliknya, meskipun pendidikannya nisbi lebih baik dan didukung oleh sarana-prasarana nan memadai buat pendidikan politik.

Justru sebab informasi dari media cetak dan elektronik seputar masalah politik negara nan tidak ada habisnya mengakibatkan masyarakat kota menjadi hilang asa ( hopeless ) terhadap sistem politik nan sedang berjalan.

Budaya politik parokial rentan sekali dimanfaatkan, karena sifatnya desentralisir.

Di pedalaman, ketua adat nan menjadi pemimpin politik masyarakat sekitarnya. Jika ketua adatnya sukses dirayu dengan uang, jabatan, dan lain-lain lalu siap mengarahkan masyarakatnya buat memilih seseorang atau suatu partai tanpa masyarakat ketahui terlebih dahulu. Itulah kekurangan nan mungkin sering dimanfaatkan oleh oknum tertentu.



Tanggung Jawab Pemerintah

Pemerintah memiliki tanggung jawab lebih dalam mengubah budaya politik parokial ini supaya taraf partisipasi politik masyarakat dalam politik meningkat melalui peningkatan kualitas pendidikan nan merata ke semua wilayah Indonesia terutama daerah-daerah terpencil nan nan harus diprioritaskan.

Diharapkan dengan meningkatkan kualitas pendidikan bukan hanya partisipasi politik nan meningkat juga ekonomi, sosial, dan budaya mengalami perkembangan.

Di samping itu, pemerintah menciptakan budaya politik nan kompetitif, sportif, dan manusiawi. Jauh dari politik uang ( money politik ), primordialisme atau kesukuan, dan intimidasi terhadap suatu partai politik. Dari hal ini diharapkan agar masyarakat nan berpendidikan namun telah putus harapan sebab labilnya suasana politik kembali memiliki asa dengan berpartisipasi pada Pemilu, Pilleg, Pilkada, dan sebagainya.