Ismail Marzuki

Ismail Marzuki

Si Pitung ialah tokoh Betawi kenamaan. Tak salah jika julukan Robin Hood dari Betawi (hanya sebab Robin Hood lebih terkenal di dunia) inheren pada dirinya, mengingat sama seperti “pendahulunya” dari Inggris, Si Pitung merampok harta kompeni dan tuan tanah nan hayati dengan cara menjilat Kompeni.



Ringkasan Sejarah

Secara umum, kisah petualangan Si Pitung dimulai ketika ia menjual kambing di Pasar Tanah Abang pada usia 16 hingga 17 tahun. Ketika perdagangan selesai, uang Pitung dirampas oleh para perampok pasar.

Si Pitung tak mau pulang sebelum sukses mengembalikan uang nan dirampas tersebut. Demi tekadnya ini Pitung kemudian memperdalam ilmu agama (belajar tarekat sufi) dan ilmu beladirinya.

Maka, terkenallah ilmu Si Pitung seperti Rawa Rontek (yang dapat membuatnya menghilang). Dengan dasar beladiri nan baik (konon si Pitung jago memukul dan alirannya disebut genre syahbandar) digabung dengan Rawa Rontek, Pitung berhasil mengelabui kompeni sekaligus menjarah harta mereka nan terlibat dengan Kompeni buat diberikan kepada orang miskin.

Kompeni sudah berusaha mati-matian buat menaklukkan Si Pitung, tapi sang jagoan betawi ini sukses lolos. Akhirnya, Schout van Hinne sukses menembak Pitung dengan peluru emas mengingat Si Pitung selama ini kebal jika ditembak peluru biasa.

Karena dikhawatirkan kematian Si Pitung akan membangkitkan perlawanan rakyat sekaligus demi “menghilangkan status jawara” bagi Si Pitung, Kompeni merahasiakan loka pemakaman Pitung.



Pitung dan Indonesia

Jika diperhatikan, perlawanan Si Pitung merepresentasikan timpangnya keadaan masyarakat Betawi dan Nusantara pada masa itu sekitar akhir 1800-an. Orang-orang eksklusif mendapatkan legitimasi penuh dari Kompeni sebagai penguasa buat menumpuk kekayaan.

Sedangkan orang-orang rendahan terus menderita demi jeratan sistem ekonomi pra-kapitalis nan dibangun mereka (keberadaan VOC sendiri sebenarnya sudah menunjukkan sejak awal Belanda “mendidik” orang-orang Nusantara buat berpikir kapitalis).

Orang-orang eksklusif nan mendapat legitimasi tersebut jelas tak mendapatkan kedudukan “nyaman” bersama Kompeni tanpa penjualan harga diri. Hal inilah nan mengusik golongan bawah buat menggugat mereka, nan ditampilkan dalam sosok Si Pitung. Ia merampas hak orang-orang nan tertindas.

Ketika dalam sebuah lingkungan (entah masyarakat atau dalam masa sekarang negara) terjadi kecacatan, jauhnya jurang pemisah antara majikan-buruh; si kaya-si miskin; pejabat pemerintah-rakyat; nan terjadi ialah munculnya orang-orang nan resisten terhadap kekuasaan. Mereka akan menghalalkan segala cara demi menumbangkan kekuasaan; kalau tidak, membuat kekuasaan tersebut tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Si Pitung ialah bukti konkretnya pada masa lalu. Kini, bukan tak mungkin orang semacam Pitung akan datang dan mengacaukan konglomerat-konglomerat atau korporasi nan memonopoli Indonesia.



Ismail Marzuki

Tokoh Betawi lainnya yaitu Ismail Mazuki. Ismail Marzuki ialah salah seorang komponis besar Indonesia nan lahir pada tahun 1914 di Kwitang, Jakarta Pusat. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat.

Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, nan saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal getol memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair nan bernapaskan Islam. Jadi tak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.

Ismail pun tidak segan mengeluarkan uang sakunya buat membeli piringan hitam lagu Barat, khususnya Perancis dan Italia. Banyak nantinya karya nan diciptakan Ismail memiliki irama Latin, seperti rumba, tango dan beguine. Ismail memang sangat menyukai lagu-lagu berirama itu.

Setelah menyelesaikan pendidikan MULO atau setingkat SLTP, Ismail kemudian mengikuti panggilan hatinya buat bekerja dalam musik. Setelah sempat bekerja di sebuah toko penjual piringan hitam, Ismail akhirnya masuk ke serikat orkes Lief Java. Di sini ia menjadi pemain gitar, saksofon dan akordion.

Karirnya semakin bersinar setelah Belanda membentuk sebuah radio nan diberi nama Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM). Orkes Lief Java , loka Ismail bermain, diberi kesempatan buat mengisi siaran musik.

Bakat dan jiwa musik Ismail makin berkembang luas. Selain makin banyak menggubah lagu, Ismail pun juga banyak menyanyi, dan suaranya banyak didengar dan dikenal masyarakat melalui NIROM.

Namun, sang ayah, walau pun menyukai global musik, tak begitu setuju dengan karir Ismail di jalur musik. Beliau kuatir dengan anggapan masyarakat pada saat itu nan masih memandang rendah profesi seniman.

Sebaliknya, Ismail tak terpengaruh dengan pencitraan nan dibuat oleh Belanda tersebut. Bahkan setiap naik kelas, ia selalu minta dibelikan berbagai macam alat musik, macam harmonika, mandolin.

Ismail nan memiliki talenta dan fasilitas bermusik nan besar tak menyia-nyiakan karunia nan ada. Ia pun mengembangkan kemampuan musiknya lebih jauh lagi dengan mencoba buat menggubah lagu.

Karya pertamanya nan berjudul O Sarinah pun lahir di tahun 1931, ketika usianya 17 tahun. Tembang ini bermakna lebih dari sekadar nama seorang wanita, tetapi juga perlambang bangsa nan tertindas penjajah.

Pada periode pertama, karya Ismail banyak dipengaruhi oleh irama musik nan terkenal saat itu, yakni jazz, hawaiia, seriosa atau klasik ringan dan keroncong. Karyanya nan terkenal ialah Keroncong Serenata, Kasim Baba, Bandaneira dan Lenggang Bandung.

Periode kedua pada jaman penjajahan Jepang, Ismail aktif dalam orkes radionya Jepang. Tembang-tembang macam Rayuan Pulau Kelapa, Sampul Surat , dan Karangan Bunga dari Selatan lahir di jaman ini.

Sementara lagu-lagu perjuangan nan paling masyhur muncul semasa Revolusi Perang Kemerdekaan 1945-1950, antara lain Sepasang Mata Bola (1946), Melati di Tapal Batas (1947), Bandung Selatan di Waktu Malam (1948), Selamat Datang Pahlawan Muda (1949).Banyak penghargaan seni nan diberikan kepada Ismail sebab dedikasi pada musik, perjuangan dan kecintaannya pada Tanah Air.



Habib Ali Alhabsji

Majelis Taklim Kwitang, boleh dikatakan sebagai majelis taklim tertua di Jakarta. Kelompok ini telah berdiri sejak seabad lalu. Pendirinya ialah Habib Ali Alhabsji. Warga Betawi menyebutnya sebagai Habib Ali Kwitang.

Ia dilahirkan di kampung Kwitang, loka majelis taklim ini berada pada 20 April 1870 atau 133 tahun lalu. Sejak usia 20 tahun, Habib Ali telah menjalankan pedagogi agama di berbagai pelosok Ibukota.

Di samping itu, Habib Ali nan sejak usia enam tahun telah yatim sebab ditinggal wafat ayahnya Habib Abdurahman, sejak muda juga telah melakukan perniagaan kecil-kecilan. Ayahnya Habib Abdurahman, kelahiran kota Semarang, kemudian bermukim di kampung Kwitang.

Di makamkan di Cikini, habib Abdurahman ialah misan pelukis kenamaan Raden Saleh, nan juga kelahiran Semarang. Ia bermukim di Kwitang, setelah menikah dengan Hajjah Salmah, puteri seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara.

Di majelis taklim Kwitang inilah Habib Ali, dan juga putranya Habib Muhammad, dan kemudian cucunya Habib Abdurahman kini memimpin majelis taklim lahir. Seperti dikemukakan Habib Abdurahman, nan merupakan generasi ketiga dari majelis Kwitang ini, Habib Ali meninggal global pada Juni 1968 dalam usia 98 tahun.

Dia digantikan putranya Habib Muhammad nan meninggal pada 1993. Dengan demikian Habib Abdurahman telah memimpin pengajian ini selama 10 tahun.Setelah Habib Ali meninggal, murid-muridnya seperti KH Abdullah Syafiie dan KH Tohir Rohili masing-masing mendirikan Majelis Taklim Syafiiyah, di Bali Matraman, Jakarta Selatan, dan Tohiriah di Jl Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan.

Kedua majelis taklim ini telah berkembang demikian rupa sehingga memiliki perguruan Islam, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Karena punya akar nan sama, tiga majelis ini (Kwitang, Syafiiyah, dan Tahiriyah) selalu merujuk kitab an Nasaih ad-Diniyah karangan Habib Abdullah Alhadad, seorang sufi terkenal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Ratibnya hingga kini dikenal dengan sebutan Ratib Hadad.

Sufi nan kitab karangannya juga dijadikan acum di Mesir dan sejumlah negara Arab, memang banyak mengangkat segi akhlak, agar manusia memiliki akhlakul karimah seperti nan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Kembali kepada almarhum Habib Ali, ia memiliki banyak murid orang Betawi, termasuk KH Noer Ali, ulama dan tokoh pejuang dari Bekasi, sebab pernah memiliki madrasah Unwanul Falah.

Madrasah Islam dengan sistem kelas didirikan pada tahun 1918, dan letaknya di Jl. Kramat Kwirang II, berdekatan dengan Masjid Al-Riyadh, Kwitang. Untuk pertama kali waktu itu, madrasah ini juga terbuka buat murid-murid wanita, sekalipun loka duduknya dipisahkan dengan murid pria.

Ratusan di antara murid-murid sekolah ini, kemudian menjadi da'i terkemuka, dan banyak nan memimpin pesantren, termasuk Al-Awwabin pimpinan KH Abdurahman Nawi di Depok, dan Tebet, Jakarta Selatan.