Polemik
Terdapat banyak tokoh perumusan Pancasila sekaligus banyak polemik pula berkaitan dengan Pancasila. Banyak nan menyebutkan Pancasila ialah "kolaborasi" antara Mohammad Yamin dan Soekarno.
Namun, pada kenyataannya, dalam surat wasiat nan diberikan Moehammad Hatta kepada Guntur Soekarno Putra, anak tertua Soekarno, tertanggal 16 Juni 1978, dijelaskan oleh Hatta bahwa menjelang akhir Mei 1945, Radjiman Wediodiningrat, pemimpin BPUPKI membuka kedap dengan menanyakan dasar negara nan cocok bagi Indonesia.
Salah satu peserta rapat, Bung Karno kemudian menyampaikan gagasan Pancasila pada 1 Juni 1945. Saat itu, Bung Karno merumuskan Pancasila sebagai berikut.
- Nasionalisme
- Internasionalisme atau humanitarianisme
- Demokrasi
- Kesejahteraan sosial
- Kepercayaan pada Tuhan
Piagam Jakarta
Selanjutnya, Komisi Sembilan dari BPUPKI nan terdiri dari sembilan orang nan terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, mereka nan disebut Nasionalis Sekular, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, dan Muhammad Yamin.
Di posisi lain, ada nasionalis agamis nan terdiri dari Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasjim. Perdebatannya tentu berkisar apakah Indonesia, dengan mayoritas penduduknya Muslim, akan "mengunggulkan" umat Islam atau tidak.
Hasil kedap Komisi Sembilan ini ialah perubahan dari Pancasila versi Soekarno di atas. Perubahan tersebut dikenal sebagai Piagam Jakarta nan dibuat pada 22 Juni 1945. Isinya sebagai berikut.
- Ketuhanan Kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan nan adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan nan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Polemik
Menurut para Nasionalis Agamis dalam Komisi Sembilan di atas, term "dengan kewajiban menjalankan syariat bagi penganutnya" jelas hanya merujuk kepada umat Islam semata. Term ini krusial buat menghormati posisi umat Islam nan menjadi umat beragama terbanyak di negara kita. Term ini juga tak akan mungkin disalahpahami dengan mengartikan adanya paksaan penggunaan syariat dalam negara kita.
Lebih jauh, bagi nasionalis agamis, Piagam Jakarta mirip dengan Piagam Madinah nan dibuat Nabi Muhammad saw. dalam mengelola Madinah. Kenyataannya, dalam komunitas Madinah, tak ada nan dianak-tirikan sebab berbeda agama. Bahkan, ada hadits Nabi, "Siapa pun muslim nan berani membunuh non-muslim (hanya sebab merasa lebih kuat), tak akan mencium bau surga".
Akan tetapi, bagi kalangan nasionalis-sekular, term "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dianggap terlalu mengunggulkan sebuah kelompok. Oleh sebab itu, digantilah term tersebut menjadi term "Ketuhanan Yang Maha Esa" saja dalam Pancasila revisi akhir.