Beberapa Teori Komunikasi Massa
Keberadaan sebuah media massa pada perkembangan zaman ini juga ternyata tidak hanya sebagai pemberitaan semata, bahkan telah menjadi semacam gaya hayati tersendiri. Maka tidak heran jika kemudian, media massa nan juga sebagai alat komunikasi massa menjadi target empuk buat mendongkrak pencitraaan baik forum atau individu.
Yang terjadi kemudian, dalam kasus politik, antara satu media dengan media lain kerap kali terasa menampilkan sosok politik nan sejatinya berada di belakang sebuah perusahaan media.
Itu sudah menjadi misteri umum. Namun nan perlu diperhatikan adalah, bagaimana sebenarnya teori komunikasi massa sehingga dampaknya sangat terasa sekali bagi kita nan kritis pada persoalan media nan sejatinya sangat mempengaruhi kebijakan, perilaku, serta opini publik. Sebagaimana dalam teori komunikasi massa dikenal istilah teori pengaruh kebiasaan, pengharapan nilai, dan juga teori ketergantungan.
Teori Komunikasi Massa
Terkait pengertian komunikasi massa, maka diambil konklusi bahwa komunikasi massa merupakan komunikasi nan menggunakan media massa, baik cetak semisal surat kabar dan majalah, atau juga nan menggunakan media elektronik seperti halnya radio, televisi, dan juga internet, nan pada pergerakannya dikelola forum atau orang nan diinstitusikan, nan ditujukan pada banyak orang di banyak loka juga.
Teori-Teori Komunikasi Massa
Ada beberapa teori dalam komunikasi massa nan memang sudah berlaku saat ini. Bahkan, selalu saja mengalami pengembangan-pengembangan sinkron dengan kondisi dan keadaan masyarakat terkini. Ada pun beberapa teori nan dimaksud adalah:
1. Teori Pengaruh Kebiasaan
Teori pengaruh Tradisi atau nan dalam bahasa kerennya adalah the effect tradition sebagai salah satu teori komunikasi massa pada perkembangannya mengalami perubahan berkelok. Para ahli percaya pada teori pengaruh ini sebab setiap individu-individu sangatlah diyakini dipengaruhi langsung media, sebagaimana media dianggap berkuasa membentuk opini publik sekitarnya.
Jika Anda melihat iklan merek pasta gigi tertentu, maka seharusnya Anda mencobanya setelah menonton iklan tersebut saat menggosok gigi, sebab menggosok gigi ialah kebiasaan.
2. Teori Pengharapan Nilai
Kurangnya unsur kelekatan pada teori sebelumnya menjadikan Phillip Palmgreen, ahli komunikasi, menciptakan teori nan disebutnya teori pengharapan nilai atau expectance-value theory .
Di sini, kepuasan nan Anda cari dari keberadaan sebuah media pada akhirnya ditentukan sikap Anda sendiri terhadap media terkait. Anda percaya dan Anda berhak mengevaluasi lalu menentukan sikap.
Misal, jika Anda percaya tayangan situasi lawak (sitkom) eksklusif menyediakan hiburan dan Anda pun suka dihibur, maka Anda akan mencari kepuasan itu dengan dengan menontonnya. Selanjutnya, jika Anda konfiden sitkom tak realistis dan Anda lalu tak menyukainya, maka Anda tak menontonnya. Anda menilai.
3. Teori Ketergantungan
Ini sederhana. Jika Anda menyukai sesuatu, maka Anda akan berusaha terus dan terus menikmatinya. Anda tergantung terhadap media nan telah memenuhi berbagai kebutuhan Anda sebagai khalayak.
Misal, Anda sangat bahagia pada perserikatan Inggris, maka Anda akan tergantung pada tayangan siaran langsung Perserikatan Inggris di nan ditayangkan satu televisi. Anda pun tak akan memijit tombol remote untuk berganti pada channel lain. Berbeda dengan orang lain nan menyukai perserikatan Spanyol di channel lainnya.
Ini ialah salah satu teori komunikas massa nan melihat kesamaan individu nan kemudian berubah menjadi Norma sosial.
Beberapa Teori Komunikasi Massa
Teori komunikasi massa sangat banyak jumlahnya. Semenjak era kejayaan media massa, teori komunikasi massa terus bermunculan. Namun, seperti ilmu sosial umumnya, kenyataan komunikasi massa berubah cukup cepat. Apalagi jika harus mengikuti perkembangan teknologi informasi nan secepat kereta cepat Shinkansen.
Namun sayangnya, banyak peminat komunikasi nan masih memakai teori lama. Hal ini tentu mengundang keprihatinan dari penggiat ilmu komunikasi itu sendiri.
Teori komunikasi massa menurut John R. Bittner ialah kegiatan mengomunikasikan pesan melalui media massa kepada sejumlah besar orang. Jadi, syarat nan diberikan Bittner, komunikasi massa haruslah dilakukan lewat media massa.
Walaupun mengomunikasikan pesan pada khalayak banyak, tapi tak menggunakan media massa, maka tak dapat dikategorikan dalam komunikasi massa. Media nan bisa disebut sebagai media massa antara lain surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.
George Gerbner menambah syarat lagi dalam teori komunikasi massa tersebut. Menurutnya, selain syarat di atas, komunikasi massa haruslah disampaikan oleh lembaga, menggunakan teknologi tertentu, dan berlangsung secara berkala. Berkala di sini tak hanya berjarak waktu, namun juga memiliki ketetapan waktu.
Misalnya, terbit secara harian, mingguan, atau tayang pada jam-jam nan konsisten. Jadi, media nan terbit tak berkala, boleh dibilang tak melakukan komunikasi massa.
Ben Friedson menambahkan karakteristik lagi dari teori komunikasi massa. Menurut Friedson, komunikasi massa mesti menyampaikan pesan pada khalayak banyak dan bukan pada individu tertentu. Komunikasi juga harus memiliki alat spesifik sehingga pesan nan disampaikan dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat.
Kirt Meletzke juga memberikan beberapa karakteristik khas dari teori komunikasi massa . Menurutnya, komunikasi massa bersifat satu arah, tak langsung, tersebar, dan terbuka buat semua orang. Hal ini merupakan imbas dari penggunaan teknologi dalam komunikasi massa. Komunikasi massa memiliki umpan balik nan tak langsung. Jadi, penerima pesan tak bisa secara langsung merespon pesan nan diterima.
Dampak Teori Komunikasi Massa
Dampak dari Teori komunikasi massa sangat banyak. Berikut ini beberapa teori nan sering digunakan dalam meneliti komunikasi massa, dari waktu ke waktu:
1. Teori Jarum Hipodermik
Teori ini merupakan salah satu nan paling klasik dalam komunikasi massa. Banyak nan bilang sudah tak relevan dengan kenyataan sekarang ini. Teori ini muncul ketika massa kejayaan media massa pada era awal abad ke 20. Teori ini mengungkapkan bahwa media massa memiliki peran nan sangat kuat dalam mempengaruhi khalayak.
Sementara itu, khalayak berperan sangat pasif dalam proses komunikasi ini. Hal ini dapat dilihat contohnya dari keberhasilan Nazi dalam mengindoktrinasi rakyat Jerman. Keefektifan ini ditunjang salah satu rumus dari Joseph Goebbels, yaitu Kebohongan Besar. Media massa mengabarkan suatu kebohongan secara terus menerus, sebanyak dan sesering mungkin.
Khalayak nanti akan menerimanya sebagai sebuah kebenaran. Teori ini dianggap usang modern ini. Banyak faktor nan memengaruhi sikap khalayak. Lagi pula, khalayak juga tak bersikap pasif. Media juga tak dapat memberi informasi pada khalayak secara terus menerus. Semuanya bergantung dari khalayak. Namun, masih banyak nan menggunakan teori kekuatan media ini, dengan beberapa modifikasi dan pengecualian.
2. Teori Spiral Hening
Teori ini digagas oleh Elizabeth Noelle-Neumann. Teori ini mengasumsikan bahwa khalayak nan mempunyai pendapat nan berbeda dengan pendapat dominan di media massa akan cenderung diam. Hal ini sebab ketakutan dikucilkan atau lain sebagainya.
Media juga dianggap sebagai ruang terbatas, di mana hanya segelintir orang nan mengaksesnya. Karena itu, nan muncul dalam media massa sering kali suara minoritas. Sementara, massa diam, dianggap sebagai mayoritas bisu. Teori ini berdampak pada dua sisi. Ada nan menganggap bahwa minoritas nan dominan dapat menjadi penggiring suara mayoritas bisu.
Bisa juga mayoritas bisu memiliki pendapat nan bertolak belakang dari media massa dan tak terpengaruh sama sekali. Fenomenanya mungkin mengenai pencitraan SBY di media pada pemilu 2009. SBY banyak digempur di media massa, namun masih mendapat suara mayoritas dalam pemilu.
Hal ini dikarenakan adanya persepsi selektif. Publik nan menganggap opini media tak sinkron dengan opini mereka, akan mengabaikannya. Jadi, media massa tak dapat memengaruhi keputusan dan sikap opini publik mayoritas.
3. Teori Kultivasi
Teori Kultivasi digagas oleh George Gerbner. Teori ini menganggap ada dua macam realitas: empiris faktual dari kejadian sesungguhnya; dan empiris simbolik nan ditampilkan media dalam program-programnya. Khalayak media menjadi sasaran kultivasi dari penanaman empiris simbolik dari media.
Saat media banyak memberitakan kekerasan, maka opini publik menganggap global memang sudah didominasi kekerasan. Ketika marak warta tentang bom, atau kerusuhan di Indonesia, orang luar khususnya menganggap Indonesia negara rawan. Padahal daerah nan rawan hanya dalam lingkup kecil dan insidental.
Media massa mungkin tak dapat mengubah sikap dan pendapat seperti era Jarum Hipodermik. Namun, media massa tetap mampu menanamkan empiris simbolik, nan kadang diterima khalayak tanpa sadar.
Teori Komunikasi Massa dari Segi Peran
1. Teori Difusi Inovasi
Teori ini dikemukakan saat era pembangunan di pertengahan abad ke 20. Proses difusi ialah ketika inovasi disebarkan kepada khalayak nan merupakan anggota sistem sosial. Sementara, penemuan merupakan inovasi teknologi baru nan disosialisasikan kepada masyarakat. Teori ini memerlukan inovator dan komunikator nan kuat.
Teori ini erat hubungannya dengan teori interaksi sosial. Seseorang akan lebih mudah mengadaptasi sesuatu nan baru lewat interaksi antar persona.
2. Teori Pembelajaran Sosial
Teori ini dirumuskan oleh Albert F. Bandura. Menurut teori ini, media massa akan menampilkan model-model nan dapat menjadi acuan khalayk dalam berperilaku. Khalayak akan melakukan imitasi terhadap tata nilai dan kebiasaan nan ada dalam media massa. Kajian teori ini lebih difokuskan pada kekerasan di media massa.
3. Teori Penentuan Agenda
Teori ini dikemukakan oleh McCombs dan Shaw. Teori ini berhubungan dengan teori kultivasi. Namun, teori ini melihat kepada pihak media massa. Media massa dianggap memiliki agenda utnuk memengaruhi agenda publik.
Mereka memunculkan isu-isu nan nanti akan diwacanakan secara umum. Media massa memang tak dapat mengontrol pendapat atau sikap kita. Namun, media massa massa memiliki kekuatan buat menyeleksi objek mana nan harus dipikirkan oleh publik.
4. Uses and Gratifications
Teori ini antagonis dengan teori jarum hipodermik. Teori ini menganggap khalayak bersikap aktif dalam proses komunikasi dengan media massa. Mereka bisa memilih informasi mana saja nan mereka butuhkan. Dalam teori ini, bukan media massa nan memengaruhi khalayak, namun selera khalayak nan menentukan isi dari media. Anggapan dari teori ini menganut pada logika nan dikemukakan Katz.
Dia menjelaskan bahwa faktor sosial psikologis nan menjadi sumber kebutuhan akan memunculkan pengharapan terhadap media massa. Hal itu akan mengarah pada terpaan media nan bhineka hingga menghasilkan pemenuhan kebutuhan dan memunculkan konsekuensi-konsekuensi lain.
5. Teori Dependensi Sistem Media
Teori ini digagas oleh Ball-Rockeach dan DeFleur. Teori ini dianggap ingin menggabungkan semua teori nan ada tentang komunikasi massa. Teori ini menganggap kondisi struktural akan menentukan potensi imbas media dalam diri khalayak. Teori ini mengasumsikan ada keterikatan antara tiga kubu, yaitu sistem sosial, sistem media, dan khalayak. Ketiga hal ini akan menentukan imbas kepada khalayak nan berbentuk kognitif, afektif, dan behavioral.
6. Teori Kritis
Teori ini kerat kaitannya denga Mahzab Frankfurt. Teori ini banyak mengaitkan kepentingan pemilik media nan nantinya akan mengerangka isi informasi nan diberikan kepada khalayak. Media menurut Reese dan Shoemaker dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
- Faktor individu dalam pekerja media. Mereka memiliki ideologi dan latar belakang pendidikan atau profesi nan bisa memengaruhi produksi teks.
- Tata kerja dalam media dalam memroduksi teks.
- Visi dan misi serta tujuan nan dimiliki organisasi media.
- Persaingan antar media dan sistem pasar media.
- Ideologi nan memengaruhi sistem loka media itu beroperasi.
Hal di atas bisa digunakan untul membedah isi media. Bagaimana media mengemas informasi dan mengapa memilih informasi atau sudut pandang tertentu. Teori komunikasi massa ini juga sering disebut pembingkaian. Media memiliki cara kerja dalam membingkai produk informasi.
Pertanyaannya tak lagi apa, atau siapa, namun bagaimana dan mengapai produk informasi itu nan dipilih oleh media. Framing ini nantinya akan dipengaruhi banyak faktor, antara lain: kognisi sosial penyusun informasi di media ; dan perpektif penyusun informasi di media.