Karir Politik Moh Hatta
Moh Hatta merupakan seorang wakil presiden pertama RI dan salah satu proklamator kemerdekaan RI. Ia terkenal sebagai seorang laki-laki nan sangat cakap dan cerdas.
Sebagai seorang wakil presiden nan membawa Indonesia pada perubahan nan sangat maju, Moh Hatta sangat dicintai rakyat. Sayangya banyak hal nan tak sinkron antara pemikirannya dengan Presiden Sukarno.
Hal itu membuat Moh Hatta mengundurkan diri menjadi wakil presiden pada tahun 1956. Pengalaman di global politik membuatnya memilih hayati sebagai orang biasa dan hayati tenang bersama keluarganya.
Kehidupan Moh Hatta
Mohammad Hatta nan lahir pada tanggal 12 Agustus 1902, berasal dari keluarga ulama di Bukittinggi. Di kota kecil nan tenang ini Moh Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Pada saat usianya delapan bulan, sang Ayah, Haji Mohammad Djamil meninggal dunia.Sebagai anak laki-laki satu-satunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan.
Pendidikan dasar ditempuhnya di Sekolah Melayu Fort de Kock. Kemudian pada 1913 hingga 1916 Moh Hatta melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Hatta ialah anak nan jenius. Di maka ketika berusia 13 tahun, ia telah lulus ujian buat masuk ke HBS nan merupakan sekolah strata SMA sekarang di Batavia.
Sayangnya, usianya nan masih sangat muda membuat sang ibu menahannya buat sekolah di Padang. Ia pun melanjutkan studi ke MULO di Padang.
Ketertarikannya dalam bidang politik sudah ada sejak ia penempuh pendidikan MULO di Kota Padang. Pada 1916 berbagai serikat pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, dan Jong Ambon telah muncul. Hatta masuk menjadi anggota serikat Jong Sumatranen Bond.
Pada tahun 1919 mulailah Moh Hatta berangkat menuju Batavia buat studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Hasil nan didapat pun sangat memuaskan. Dengan kecerdasannya, pada tahun 1921, Moh Hatta belajar ilmu perdagangan di Nederland Handelshogeschool nan kini menjadi Universitas Erasmus di Rotterdam, Belanda selama 11 tahun.
Setelah tiba di Belanda, Hatta mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging, nan pada 1922 berganti nama menjadi Indonesische Vereniging. Dengan penolakan kolaborasi dengan Belanda, serikat tersebut mengganti lagi namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Pada tahun 1923, ia sukses lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan). Pada tahun 1924, Hatta sempat nonaktif dalam keanggotaan PI, sebab ia bermaksud buat mengikuti ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925.
Akan tetapi, dengan dibukanya jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif, dengan minatnya nan sangat besar pada bidang politik, maka ia memasuki jurusan itu.
Dengan adanya perpanjangan planning studinya, ia berkesempatan buat menjadi Ketua PI. Sejak tahun 1926 hingga 1930, Moh Hatta terus menerus terpilih dipilih menjadi Ketua PI. Dengan kepemimpinannya, ia mengembangkan PI nan awalnya merupakan serikat mahasiswa biasa, akhirnya menjadi organisasi politik nan memengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia.
Perkumpulan ini pada akhirnya mendapat pengakuan dari Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPI) sebagai pos depan dari konvoi nasional di Eropa.
Dengan tujuan buat mengenalkan "Indonesia" ke global luar, pada tahun 1926, Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional buat Perdamaian di Bierville, Prancis. Pada akhirnya, secara resmi kongres mengakui nama Indonesia, atau wilayah Hindia Belanda pada saat itu.
Ada satu pengalaman Hatta nan membantunya membuka rekanan serta mengenalkan kepada para pemuda nan kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika. Pada saati itu Moh Hatta dan konvoi nasional Indonesia mengikuti kongres internasional nan diadakan di Brussels pada tanggal 10-15 Februari 1927 bernama Perserikatan Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial.
Ketika itu, Moh Hatta sukses membangun rekanan dengan baik kepada Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Bahkan, ia telah memulai persahabatan secara pribadi dengan Nehru.
Selain itu, dalam kongres ini juga, Hatta kemudian berkesempatan buat berkenalan dengan berbagai pemimpin konvoi buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen.
Pada tahun 1930 hingga 1931, Hatta kembali fokus kepada studinya. Ia juga membuat tulisan buat majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De Socialist , serta berencana buat mengakhiri studi pada pertengahan tahun 1932.
Karir Politik Moh Hatta
Karir politik Moh Hatta dimulai sekembalinya ia ke Indonesia pada bulan Juli 1932. Pada awal kepulangannya, Hatta menyibukan diri buat menulis berbagai artikel ekonomi dan politik Daulat Ra’jat .
Ia juga mulai melakukan berbagai kegiatan politik, seperti pendidikan kaderisasi politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia.Dalam sejarah perjuangan Sukarno, Hatta mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan. Terutama ketika pemerintah kolonial Belanda membuang Soekarno ke Ende, Flores.
Hal itu di bahas pada tulisan-tulisannya nan diterbitkan oleh Daulat Ra’jat , dengan judul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933), "Tragedi Soekarno" (30 November 1933), serta "Sikap Pemimpin" (10 Desember 1933).
Setelah pembuangan Soekarno di bulan Februari 1934, perhatian pemerintah kolonial Belanda kemudian beralih kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan partai ini ditahan dan dibuang ke Boven Digoel.
Selain Moh Hatta, enam pemimpin lainnya, yakni Sutan Sjahrir, Bondan, Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, serta Murwoto juga diasingkan. Sebelum dipindahkan ke Digoel, selama setahun mereka merasakan menjadi penghuni penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta.
Di penjara Glodok inilah kemudian Hatta menulis buku berjudul Krisis Ekonomi dan Kapitalisme .Ketika tiba di Tanah Merah, Boven Digoel (Papua) pada bulan Januari 1935, Kapten van Langen selaku pimpinan, memberikan penawaran kepada Hatta dan kawan-kawannya.
Mereka bisa bekerja buat pemerintahan kolonial serta bisa langsung pulang ke daerah masing-masing. Selain itu, mereka juga akan mendapat upah sebesar 40 sen setiap harinya. Jika tak mau, maka mereka akan menjadi orang buangan nan menerima bahan makanan seadanya. Bahkan mereka tak akan memiliki kesempatan buat pulang.
Penawaran itu dijawab oleh Hatta, bila dia mau bekerja pada pomerintahan kolonial, maka ketika di Jakarta dahulu ia telah menjadi orang nan kaya raya dengan pendapatan nan lebih besar dari nan ditawarkan saat itu.
Walau dalam masa penahanan dan pembuangan, tapi Hatta secara teratur tetap menulis artikel-artikel nan diterbitkan oleh surat kabar Pemandangan . Dari hasil tulisan itu ia mendapat uang buat biaya hidupnya, serta buat membantu kawan-kawannya.
Rumahnya di Digoel juga dipenuhi oleh berbagai buku nan nan dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan buku-buku tersebut ia memberikan pendidikan terhadap rekan-rekannya selama di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat.
Di kemudian hari, kumpulan bahan-bahan pelajaran itu dibukukan dengan judul-judul, antara lain Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan dan Alam Pikiran Yunani .
Masa pembuangan itu kemudian berakhir pada tanggal 3 Februari 1942. Ia dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942. Dan ia bisa kembali ke Jakarta.
Perjuangannya tak berkahir sampai di sana. Karena ia tetap harus berjuang buat menentang pemeringahan Jepang nan telah menguasai Indonesia. Sampai pada akhirnya, di tahun 1945, setelah proklamasi kemerdekaan, Hatta diangkat sebagai wakil presiden pertama RI mendampingi Bung Karno.
Hatta ialah contoh pemuda bangsa nan sangat pintar, namun tak mementingkan dirinya sendiri. Ia kembali ke Indonesia dengan bekal memajukan masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, sejak berada di Eropa, ia bahkan berusaha buat mengenalkan Indonesia di mata dunia.
Kecintaannya terhadap tanah air dan bangsanya sudah seharusnya ditiru oleh para pemuda saat ini nan hanya mementingkan kehidupan layak dan keegoisan semata. Bahkan, jika perlu menggadaikan idealisme sebagai putra bangsa. Maka sesungguhnya Indonesia sangat membutuhkan pemuda-pemuda dengan pemikiran seperti Moh Hatta.