Jenderal Soeharto Mengawali Karir dari Sersan
Nama Jenderal Soeharto dalam kancah sejarah Indonesia tak dapat dilupakan begitu saja. Betapa tidak, dialah presiden RI nan menjabat paling lama menjabat, yaitu 30 tahun. Terlepas dari kontroversi gaya kepemimpinannya, Jenderal Soeharto ialah Presiden Republik Indonesia nan cukup tersohor. Manuver-manuver politik Presiden nan terkenal dengan "The smiling general" sungguh mencengangkan dan sikap otoriternya nan menjadi bahan perbincangan para sejarawan hingga hari ini.
Jenderal Soeharto disebut-sebut sebagai bapak pembangunan di Indonesia, namun sebagian menganggap gaya kepemimpinan Soeharto nan mengakibatkan Indonesia terpuruk hingga hari ini. Dia dicaci, tetapi juga dipuji.
Begitulah Jenderal Soeharto, terus melahirkan kontroversi. Bahkan hingga hari ini, gelar Soeharto sebagai pahlawan nasional masih terus saja menuai reaksi pro dan kontra. Bahkan, beberapa orang meragukan kiprahnya nan selama ini tercatat dalam sejarah.
Jenderal Soeharto: Anak Petani Dusun Bantul
Tidak ada nan menyangka jika Soeharto, nan kelak menjadi Presiden kedua Republik Indonesia lahir dari sosok ayah seorang petani dan pembantu lurah nan bernama Kertosudiro, dalam hal pengairan sawah. Ayahnya bernama Pramono dan ibunya bernama Sukirah. Pak Harto kecil lahir di daerah Kemusuk, Yogyakarta, pada 8 Juni 1921.
Jenderal Soeharto di masa kecilnya diasuh oleh neneknya, Mbah Kromo. Pasalnya, kedua orang tuanya bercerai tidak lama setelah kelahirannya. Tak lama kemudian, ayahnya menikah lagi dan memiliki anak tujuh orang. Jenderal Soeharto mengenal pertanian saat diasuh oleh Mbah Kromo. Ia selalu ikut dengan Mbah Kromo ke sawah dan mengurus kerbau. Mungkin inilah cikal bakal mengapa Jenderal Soeharto setelah dewasa menyukai pertanian.
Usia delapan tahun ia sudah masuk sekolah, tetapi seringkali berpindah-pindah. Karena Ayahnya tugasnya berpindah-pindah. Pasalnya, ketika mau sekolah dasar, ia diambil ayahnya dari neneknya. Awal masuk Soeharto bersekolah di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lantaran pindah rumah, Soeharto pindah ke SD Pedes, Kemusuk Kidul. Tak lama, sang lurah Kertosudiro kembali memindahkan orang tua Soeharto ke Wuryantoro. Begitulah Soeharto menjalani pendidikanya nan selalu berpindah-pindah.
Namun kehidupan Soeharto dengan ayahnya tidak begitu lama. Ia diambil bibinya nan tinggal di Wonogiri buat tinggal bersamanya. Saat tinggal bersama bibinya Soeharto baru fokus belajar. Ia menjadi anak nan pintar berhitung dan juga menjadi anak nan taat beribadah. Pasalnya, paman dan bibinya ialah orang nan suka dengan pendidikan agama.
Jiwa kepemimpinan Soerharto sudah ada sejak saat tinggal bersama bibinya. Saat itu, ia sudah diikut oleh pamannya di kepanduan Hizbul Wathan. Di sinilah ia mengenal para pahwalan Indonesia dan ia pun tidak pernah lepas membaca koran nan diterbitkan Hizbul Wathan.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Soerharto melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Dipilihnya sekolah ini lantaran tidak memiliki biaya dan sekolah ini pula nan membolehkan siswanya datang ke sekolah dengan menggunakan kain sarung dan tanpa alas kaki. SMP-nya tersebut dilaluinya hingga tamat.
Karena tidak memiliki dana buat melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas, Soeharto memilih bekerja. Namun tidak kunjung-kunjun bisa pekerjaannya, hingga akhirnya ia memutuskan kembali pulang ke kampung loka bibinya tinggal. Ternyata pulang ke kampung memberi rezeki untuk Soeharto. Ia diterima kerja sebagai klerek di Volk Bank.
Jenderal Soeharto Menikahi Putri Pegawai Mangkunegaran
Hingga pada 1941 terpilihlah Soeharto sebagai prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah dan resmi menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 5 Oktober 1945. Dua tahun berselang, tepatnya pada 1947, Soeharto pun menyunting gadis bernama Siti Hartinah nan tidak lain ialah putri pegawai Mangkunegaran.
Pesta pernikahan digelar pada 26 Desember 1947 di kota Solo di mana saat itu umur Soeharto ialah 26 tahun dan Hartinah berusia 24 tahun. Dari pernikahan itu, mereka melahirkan enam anak nan terdiri dari putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra, dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jenderal Soeharto Mengawali Karir dari Sersan
Jenderal Soeharto kemudian menapaki karirnya di global militer. Bahkan juga global politiknya kelak. Di ranah militer, Soeharto menapaki karirnya dari pangkat sersan tentara KNIL. Atas prestasinya, ia kemudian diamanahi sebagai hulubalang PETA.
Selanjutnya, menjadi Komandan Resimen dengan pangkat Mayor, juga Komandan Batalyon berpangkat Letkol. Dalam catatan sejarah, syahdan pada pada 1949, Soeharto sukses memimpin pasukannya dalam rangka merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan para penjajah Belanda. Selain itu, ia juga pernah dipercaya sebagai pengawal Panglima Besar Jendral Sudirman dan menjabat Panglima Mandala dalam kasus pembebasan Irian Barat.
Jenderal Soeharto Menjadi Presiden
Tepat pada 1 Oktober 1965 meledaklah insiden G-30-S/PKI. Untuk menangani semua ini, Soeharto kemudian mengambil alih pimpinan di badan Angkatan Darat. Selain itu, oleh presiden Soekarno ia juga dikukuhkan menjadi Pangad dan ditunjuk sebagai Pangkopkamtib.
Selanjutnya, meski ini masih menjadi perdebatan nan tidak pernah selesai, pada Maret 1966, Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno nan kemudian dikenal dengan supersemar nan isinya meminta Soeharto mengembalikan stabilitas keamanan dan ketertiban di Indonesia.
Selanjutnya, terkait situasi politik nan kian memburuk maka digelarkan sidang istimewa MPRS pada Maret 1967 dan menghasilkan penunjukan Soeharto sebagai Pejabat Presiden dan setahun kemudian dikukuhkan sebagai presiden ke-dua RI.
Sejak saat itulah, Soeharto mampu melanggengkan masa kepemimpinannya lebih dari tiga dasawarsa lewat enam kali Pemilihan Umum. Hingga reformasi menggulingkannya buat segera mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Begitulah Soeharto menjadi kontroversi.
Penyebab Kegagalan Jenderal Soeharto Memimpin
Bila dikaji dari sejarah kepemimpinan Soeharto, nan menjadi penyebab kegagalanya ada dua:
- Kepemimpinan nan otoriter
Awalnya kepemimpinan Jenderal Soeharto disukai masyarakat. Buktinya, ia sukses bersama rakyat sukses membangun Indonesia melalui pertanian. Keberhasilannya tersebut nan membuatnya menjadi sedikit berubah. Saat ia terpilih kembali menjadi Presiden pada tanggal 23 Maret 1973 melalui Sidang MPR. Inilah awal mulanya Soeharto menjaga jeda dengan masyarakat.
Perilakunya nan tampak tidak dekat dengan masyarakat adalah, ia mulai membatasi konvoi media. Bahkan ia sempat melarang enam surat kabar buat terebit, yaitu harian Sinar Harapan, Kompas, Merdeka, Pelita, Sinar Pagi, Pos sore dan The Indonesian Times.
Kepimimpinan Soeharto kian otoriter saat ia bergabung di Partai Golongan Karya (Golkar). Tujuan utamanya bergabung dengan partai berlambang pohon beringin tersebut ialah agar dapat memiliki jangka kepemimpinan jangka panjang dan melakukan hegemoni terhadap orang-orang nan duduk di Parlemen.
Makanya, Sidang MPR ketika itu disulap dengan skenario Soeharto. Semuanya diatur olehnya. Meski ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), parlemen dapat diaturnya. Bahkan orang-orang nan duduk di kepimimpinan partai tersebut juga diatur oleh Soeharto.
- Pengaruh Keingian Keluarga
Kegagalan Soeharto menjadi presiden di hati rakyat sebab terlalu tunduk dengan keluarga. Hingga akhirnya, apa pun nan ada di Indonesia ini seperti milik keluarganya. Inilah nan menyebabkan terjadi korupsi nan menggurita. Di mana-mana korupsi terjadi dan terdapat di dalamnya keluarga Soeharto.
Jika pribadi Soeharto sendiri boleh dikata tidak terlalu ingin menguasai Indonesia, namun keturunannya nan sibuk ingin menguasai bumi pertiwi ini. Setiap perusahaan selalu terdapat interaksi dengan keluarga Soeharto. Masyarakat ketika itu tidak berani menuntut. Pasalnya, persidangan jika berhubungan dengan keluarga Soeharto, semua akan dimenangkan oleh kubunya. Hanya sia-sia belaka bila masyarakat bersiteru di pengadilan nan terdapat di dalamnya keluarga Presiden Soeharto.
Namun, kekuasaan nan diinginkan Jenderal Soeharto tidak bertahan lama. Ketika masyarakat Indonesia sudah bersatu, tidak ada kekuatan nan dimiliki Soeharto nan selama ini bersamanya. Begitu lengser dari kursi Presiden, kasus demi kasus nan menimpanya dibongkar dan dipersidangkan. Bahkan, hingga ia mati putusan hukum nan berhubungan dirinya pun belum diputuskan.