Isi Resensi Perempuan Berkalung Sorban

Isi Resensi Perempuan Berkalung Sorban



Bidikan nan Tepat

Resensi Perempuan Berkalung Sorban (PBS) tak hanya bertutur tentang sinopsis novel atau film nan berkisah tentang kedudukan wanita di dalam Islam, resensi ini juga mengupas kritikan nan ditujukan kepada novel dan filmnya. Kritikan nan tajam itu bahkan hampir saja membuat filmnya ditarik dari peredaran. Bagi orang-orang nan sangat konservatif, film ini tentu saja cukup keras dalam menyoroti kehidupan pesantren nan dipandang cukup sakral.

Namun, bagi nan berpandangan sedikit lebih netral, mereka dapat memahami kegelisahan nan dialami oleh Annisa, karakter wanita dalam cerita tersebut. Dapat dipahami dalam artian ialah bahwa begitu kebanyakan cara orang Indonesia memahami wanita. Wanita diharapkan menjadi sosok nan sangat baik. Sedangkan laki-laki terserah mau jadi apa dan mereka mempunyai kebebasan nan lebih termasuk dalam melakukan hal-hal nan melanggar etika walau tak melanggar hukum agama.

Misalnya, tentang kehidupan poligami. Laki-laki nan mendapatkan hak mempunyai istri lebih sari satu, terkadang memanfaatkan hukum ini buat menikahi banyak wanita tanpa memberinya nafkah lahir. Bahkan ketika sang wanita hamil, ia akan meninggalkan wanita itu. Yang lebih menyedihkan ialah ia meninggalkan wanita itu buat menikah dengan wanita lainnya. Ibaratnya ia memetik keperawanan wanita secara halus lewat jalur agama. Namun apa nan dilakukannya selanjutnya sangat menyakitkan.

Kejadian ini tak sedikit di global nyata. Kejadian nan menimpah Fany, seorang gadis nan dinikahi oleh seorang bupati, ialah salah satu contoh nyata. Disinyalir bahwa Fany bukan satu-satunya wanita nan diperlakukan seperti itu oleh seorang oknum bupati tersebut. Mungkin ada 7 orang wanita lagi nan dengan mudahnya diceraikan oleh sang oknum bupati. Selanjutnya ia menikah lagi dan lagi. Ia seolah ingin mencicipi semua wanita. Pernikahan nan sakral dilindas oleh hawa nafsu.

Sang bupati dengan seenaknya mengatakan bahwa biaya nan dikeluarkan buat menikahi wanita-wanita itu tak murah. Kalau sudah begini, benarnya bahwa pemerintah membuat peraturan buat melindungi para wanita. Namun, ada kelemahannya juga. Pernikahan nan resmi kadang malah membuat wanita semakin menderita kalau pernikahannya tak mendatangkan kegunaan bagi dirinya. Ketika ia menikah dengan seorang laki-laki nan memanfaatkan kekayaannya, maka ketika bercerai, sang mantan suami mengambil semua hartanya.

Laki-laki nan tak bertanggungjawab dan hanya ingin hayati enak, sangat bahagia menangguhkan perceraiannya. Setelah sang istri mengurusi semua hal nan berhubungan dengan perceraian nan artinya sang suami tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun buat perceraiannya, barulah sang suami muncul mengambil surat cerai. Tidak lama setelah bercerai, sang mantan suami menikah lagi. Inilah sosok laki-laki nan tak bertanggungjawab dan hanya menfaatkan haukum nan sekiranya cocok dengan keadaannya.

Kalau ia memang jantan, ia akan menceraikan istrinya dengan baik-baik dan akan mengembalikan semua harta sang istri tanpa tersisa. Ia tahu hukum bahwa suami tak boelh makan harta istri dan bahwa harta istrinya ialah hak istrinya. Sayangnya, kedudukan laki-laki nan mulia itu dikotori oleh para laki-laki nan katanya tahu dengan hukum. Inilah nan menjadi salah satu hal nan mengusik batin sang penulis novel Perempuan Berkalung Sorban.

Wanita banyak sekali dituntut agar dapat ini dan itu. Sedangkan laki-laki banyak nan tak bertanggungjawab sebab memang mereka dididik dengan peraturan nan lebih longgar. Ketika ada perzinaan, nan disalahkan wanita. Padahal, hukumannya di hadapan Tuhan sama saja. Laki-laki nan dursila dan tak bertanggungjawab itu tak perlu ada sebenarnya aklau mereka dididik dengan baik sebaik didikan kepada wanita. Tidak adil ketika wanita harus baik, tetapi laki-laki tak tahu bagaimana memperlakukan wanita dengan baik.

Ajaran islam itu niscaya adil. Ketika seorang wanita nan tahu hukum sampai ingin diceraikan oleh suaminya, niscaya ada sesuatu nan membuatnya melakukan hal itu. Bagaimanapun, lebih baik mempunyai suami daripada tak bersuami. Wanita dapat saja bertahan dengan suaminya nan sangat pelit dan tak baik dalam kurun waktu nan lama. Namun, ketika ia sudah tak tahan lagi, depresi dan putus harapan telah menghinggapinya, terutama ketika nafakah batin pun tak memuaskannya, maka wanita ini dapat berbuat nekad.

Ia akan mencari keadilan nan telah dijanjikan oleh Islam. Ia tahu bahwa Islam tak menempatkan wanita pada kelas dua di manapun, baik di global maupun di akhirat. Oleh sebab itulah, kini banyak sekali terjadi perceraian. Wanita tak mau lagi dijajah oelh kaum laki-laki. Sesungguhnya, wanita tak keberatan tak mendapatkan nafkah lahir secara penuh asalkan sang suami memang laki-laki nan pantas mendapatkan kesetiaan tanpa batas.

Laki-laki ini ialah laki-laki nan giat bekerja dan tak akan menyembunyikan uangnya walaupun sedikit. Ia akan memberikan apa nan dibutuhkan oleh istrinya walaupun tak memenuhi apa nan diharapkan sang istri. Wanita akan melihat kegigihan ini sebagai bentuk cinta nan dalam dari sang suami dan sang wanita rela memberikan hartanya kepada sang suami nan taat dan beretika seperti itu.



Emansipasi Wanita

Kisah Perempuan Berkalung Sorban ini menawarkan dinamika perjuangan seorang wanita di tengah lingkungannya nan kental dan kuat akan ajaran agama Islam. Novel ini menuai banyak kontroversi dan ada pula nan mengecam sebab dianggap sebagai kritik keras terhadap ajaran agama, tapi tak sedikit juga nan memuji novel ini sebab keberanian penulisnya dalam mengusung keinginan dari wanita muslimah.

Novel Perempuan Berkalung Sorban ini lebih dikenal sejak dibuat versi layar lebar. Melalui pengarah adegan Hanung Bramantyo, kisah dalam novel ini dibuat menarik dan mengundang banyak perbincangan. Kisah nan diceritakan dalam film layar lebar ini oleh sebagian orang dianggap melenceng dari ajaran agama Islam dan juga dari isi novelnya.

Terlepas dari pro dan kontra, dari resensi Perempuan Berkalung Sorban ini tetap banyak nan ingin membacanya. Penulis novel ini ialah Abidah El Khalieqy nan lahir di Jombang, Jawa Timur. Beliau ialah seorang penulis novel dan pernah meraih penghargaan dari pemerintah daerah Yogyakarta juga penghargaan dari IKAPI dan Balai Bahasa.

Tidak hanya novel Perempuan Berkalung Sorban nan dibuatnya dengan kisah tentang kedudukan wanita dalam ajaran Islam, Ia juga menulis novel lainnya nan juga menceritakan tentang perjuangan wanita dalam mengangkat kedudukannya seperti Geni Jora terbitan Mizan Grup.

Dari resensi novel Perempuan Berkalung Sorban ini, Abidah mencurahkan perasaan dan kritikannya terhadap keberadaan wanita di dalam masyarakat khusunya di dalam lingkungan pesantren nan kental dengan ajaran Islam. Lewat novelnya, Abidah ingin menyampaikan pesan moral bahwa wanita juga ingin mendapatkan kedudukan nan sama, kemandirian dan menuntut ilmu.



Isi Resensi Perempuan Berkalung Sorban

Menyimak dari resensi novel Perempuan Berkalung Sorban ini, dikisahkan seorang wanita muslimah anak seorang Kyai nan memiliki pesantren di tanah Jawa. Annisa, sang tokoh utama, ialah seorang wanita nan berpendirian teguh, cerdas dan juga cantik.

Annisa nan merasa apa nan telah diajarkan pada dirinya tentang kehidupan seorang wanita dalam ajaran agama Islam jauh dari apa nan diinginkannya. Menurut Annisa, kedudukan nan diterimanya sebagai seorang wanita lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Annisa kecil sudah sering berontak kepada Ibunya. Namun, ia tidak kunjung mendapatkannya.

Konflik demi konflik nan dirasakan Annisa membuatnya berontak. Keinginannya buat kuliah lagi ditolak oleh ayahnya. Annisa dinikahkan dengan seorang pemuda nan juga anak seorang kyai besar. Pernikahan ini tak berjalan mulus sebab sifat dan perlakuan Samsudin, suami Annisa nan sering memperlakukannya dengan tak baik.

Dari isi resensi Perempuan Berkalung Sorban ini, juga mengisahkan perjuangan Annisa dalam menemukan cintanya pada Khudori, laki-laki nan dicintainya. Hanya saja, banyak pembaca dan penonton film nan menyayangkan sikap Annisa nan meminta Khudori buat menzinahinya agar ia bisa bercerai dengan Samsudin suaminya. Seharusnya, jika Annisa wanita muslimah nan mengerti akan ajaran agama, tak akan melakukan hal seperti ini.