Sejarah Kerajaan Kutai - Runtuh dan Peperangan
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura dimulai pada abad ke-4. Banyak pakar sejarah dan arkeolog mengungkapkan bahwa Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua dan pertama di Nusantara. Letak pusat kerajaan ini diperkirakan ada di Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam. Nama Kutai sendiri diambil dari nama loka tujuh prasasti bukti kerajaan tersebut ditemukan.
Tujuh prasasti itu dinamakan Prasasti Yupa. Prasasti ini berupa tiang-tiang bertuliskan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi tulisannya, menceritakan silsilah Kerajaan Kutai. Diduga, Yupa dimanfaatkan sebagai loka buat mengikat hewan-hewan, sebagai kurban buat para Dewa, dengan tujuan agar kehidupan rakyat Kutai saat itu sejahtera.
Entah mengapa kerajaan pertama malah berawal dari Kalimantan. Mungkin saja, sebab di sana banyak sungai. Sungai sendiri di banyak negeri, menjadi sumber awal peradaban. Sebut saja Sungai Gangga di India, Sungai Kuning di Cina, Sungai Eufrat di Irak, nan menghasilkan bukti-bukti budaya tinggi saat itu. Menarik tentunya membahas sejarah Kerajaan Kutai ini. Sebab, di sinilah “gerbang” awal kerajaan Nusantara berawal.
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura - Maharaja Kudungga, Pendiri Kutai
Kerajaan Kutai Martadipura diduga didirikan pada abad ke-4, tepatnya tahun 350. Tahun itu dimulailah sejarah Kerajaan Kutai Martadipura. Siapakah pendiri dan raja pertama kerajaan ini? Menurut tulisan dalam prasasti Yupa, pendiri Kerajaan Kutai ialah Maharaja Kudungga nan bergelar Anumerta Dewawarman.
Menariknya, nama Kudungga diduga sebagai nama orisinil Indonesia. Nama ini belum terpengaruh unsur nama dari kebudayaan luar. Artinya, Maharaja Kudungga saat itu belum memeluk agama Hindu, nan merupakan agama impor pertama nan datang ke Nusantara.
Tak banyak kisah nan diketahui dari kehidupan Kerajaan Kutai di masa Maharaja Kudungga. Ada nan menduga, Maharaja Kudungga saat itu hanya seorang pemimpin komunitas Kutai, bukan raja. Oleh sebab itu, sistem pemerintahannya belum terbentuk secara sistematis.
Setelah Kudungga memerintah sampai 375, kendali kerajaan dipegang oleh anaknya bernama Aswawarman. Aswawarman nan memerintah pada 375 sampai dengan 400 disebut-sebut sebagai pembentuk keluarga (wamsakerta). Aswawarman lalu digantikan oleh Mulawarman nan memerintah pada 400-446. Pergantian kekuasaan Kerajaan Kutai sendiri tertulis dalam Prasasti Yupa.
“…cri mantah cri narendraasya mahat manah putro cvabharmo vikhya tan vancakarta yathancuman tasya putro mahat manah trayas-trayas ivagnayah tssan trayanam pravarah tapa bola danavitah cri bencana varmanah rajendro yastava bahusvan akam yajnasya jupoyam dwijen drais sampra kalpita…”
(Sang Raja Kudungga nan mempunyai putra wamsakarta, melahirkan tiga putra seperti barah sinarnya dan menjadi raja-raja berkuasa di wilayahnya dan nan paling terkenal ialah Maharaja Sri Mulawarman Nala Dewa nan mengadakan kurban besar dan memberi sedekah emas kepada para Berahmana nan datang ke loka itu, sehingga dia dinyatakan kuat dalam berkuasa).
Jika ditilik dari namanya, tampaknya Aswawarman sudah memeluk agama Hindu. Nah, di sinilah sejarah Kerajaan Kutai Martadipura menjadi kerajaan pertama nan memeluk agama Hindu.
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura - Zaman Keemasan Kerajaan
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura mencapai zaman keemasan di tangan Maharaja Mulawarman. Ini dibuktikan dalam tulisan prasasti Yupa. Tidak tanggung-tanggung, enam prasasti itu menjelaskan soal berjayanya Kerajaan Kutai Martadipura di bawah Mulawarman. Prasasti Yupa menulis:
“Sang Raja Sri Mulawarman, raja nan mulia dan terkemuka telah memberikan sedekah berupa 20.000 ekor sapi kepada Brahmana, sedekah itu ditempatkan dalam varakecvare sebagai peringatan atas kebaikan sang raja Sri Mulawarman dibuatlah tugu tiang pemujaan.”
“Sang Raja Mulawarman menaklukan raja-raja di medan perang, mereka harus membayar upeti sebagaimana nan dilakukan oleh raja Yudhisthira di waprwkecwara, ia mendarmakan empat puluh ribu……kemudian tiga puluh ribu. Mulawarman seorang raja saleh meyelengarakan Jiwandana nan bhineka dan penerangan di kotanya……oleh seorang nan alim. Yupa sudah didirikan oleh Brahmana-Brahmana nan datang ke sini dari berbagai daerah.”
“Menyambut raja nan kuat, Mulawarman seorang raja agung dan termashur telah mendarmakan peristiwa ini telah dicatat di loka nan suci. Mulawarman telah memberikan kepada Brahmana-brahmana hadiah air, minyak, sapi nan berwarna kekuning-kuningan dan biji wijen dan juga sebelas ekor sapi jantan.”
“Karena Bhageratha dilahirkan oleh Raja Segara…….Mulawarman……”
“Dengarkanlah oleh kaum sekalian. Brahmana nan terkemuka dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi sang Mulawarman, raja besar nan sangat mulia. Kebaikan budi ini adalah berwujud sedekah kehidupan atau semata-mata pohon kalpa (yang memberi segala keinginan), dengan sedekah tanah (yang dihadiahkan). Berhubung dengan semua kebaikan itulah tugu ini didirikan oleh para brahmana (buat peringatan).”
“Tugu ini ditulis untuk (peringatan) dua perkara nan telah disedekahkan oleh sang raja Mulawarman, yakni gunung minyak (kental) dengan lampu serta malai bunga.”
Dari tulisan prasasti itu, dijelaskan bagaimana Mulawarman sangat kuat dan membuat rakyat Kerajaan Kutai Martadipura sejahtera. Minyak disebut-sebut beberapa kali dalam prasasti. Dapat jadi, minyak sudah menjadi komoditi primer nan banyak menghasilkan pemasukan kerajaan saat itu. Konon, minyak tersebut sudah diperjualbelikan dan dikirim ke luar kerajaan. Selain itu, banyak kerajaan takluk di tangan Mulawarman.
Pada masa Mulawarman, banyak sekali upacara agama Hindu nan dijalankan, seperti kurban agatsya (upacara dinasti Hindu), kurban bahuwarnakam (upacara pemberian emas), kurban jivandana (upacara kurban hewan berupa sapi), kurban waprakeswaea (upacara pembangunan candi dan kuil), kurban kalpa (upacara penyerahan tanah dan penanaman pohon), dan kurban bhagrtha (upacara kemakmuran).
Dalam Prasasti Yupa dijelaskan, pada saat Mulawarman memerintah, ada pola interaksi hubungan nan menguntungkan antara raja dan rakyat. Raja, setiap tahun mengadakan upacara sedekah nan dilakukan di tanah lapang. Lalu, raja membagi hadiah berupa emas, tanah, dan hewan ternak buat brahmana (kaum agama). Sebaliknya, rakyat mengadakan selamatan buat raja. Mereka mendirikan tugu nan menuliskan kebesaran raja. Ini dilakukan sebagai ungkapan terima kasih kepada raja.
Pada masa Mulawarman, rakyat tertib dan teratur. Rakyat mampu beradaptasi dengan budaya luar, dalam hal ini India, namun tetap melestarikan kebudayaan sendiri. Letak Kerajaan Kutai Martadipura nan strategis, menjadikan kerajaan ini salah satu loka singgah buat berdagang.Tak banyak diketahui kehidupan raja-raja setelah Mulawarman meninggal dunia.
Setelah itu, berturut-turut, Kutai Martadipura diperintah oleh:
- Wangsawarman (446-495);
- Maha Wijayawarman (495-543);
- Gaja Yanawarman (543-590);
- Wijaya Tunggawarman (590-637),
- Jaya Tungga Nagarawarman (637-686);
- Nala Singawarman (686-736);
- Nalaperana Tungga Warmandewa (736-783);
- Gadingga Warmandewa (783-832);
- Indra Warmandewa (832-879);
- Singa Wirama Warmandewa (879-926);
- Singa Wargala Warmandewa (926-972);
- Cebdera Warmandewa (972-1020);
- Prabu Mula Tunggaldewa (1020-1069);
- Nala Indradewa (1069-1117);
- Mayang Mulawarni (1117-1166);
- Indra Mulia Tungga Warmandewa (1166-1214);
- Sri Langgkadewa (1214-1265);
- Guna Perana Tungga (1265-1325);
- Nala Duta (1325-1337);
- Puan Reniq Gelar Wijaya Warman (1337-1373);
- Indra Mulia (1373-1407);
- Sri Ajidewa (1407-1425);
- Mulia Putra (1425-1453);
- Nala Praditha (1453-1509);
- Indra Parutha (1509-1534); dan
- Derma Setiya (1534-1605) sebagai raja terakhir.
Sejarah Kerajaan Kutai - Runtuh dan Peperangan
Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura harus berakhir pada 1605. Raja terakhirnya Derma Setiya. Sebelum kerajaan ini runtuh, di Kutai muncul kerajaan baru nan mempunyai nama hampir mirip, yaitu Kutai Kertanegara. Letaknya di muara Sungai Mahakam, Tepian Batu, Kutai Lama. Raja pertama mereka Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan inilah nan menaklukan Kutai Martadipura.
Raja pertama Kerajaan Kutai Kertanegara ialah seorang pembesar dari Kerajaan Singasari dari Jawa, nan bernama Raden Kusuma. Ia lalu mengganti namanya menjadi Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Konflik dua kerajaan bermula dari usaha asimilasi nan gagal. Proses asimilasi Kerajaan Kutai Martadipura dengan Kutai Kertanegara sebenarnya dimulai saat putra Aji Batara Agung Dewa Sakti bernama Aji Batara Paduka Nira mempersunting putri Raja Guna Perana Tungga dari Kerajaan Kutai Martadipura bernama Putri Indra Pertiwi Dewi.
Namun, usaha penyatuan dua kerajaan tak berhasil. Perang memaksa Kerajaan Kutai Martadipura buat roboh. Peperangan kedua kerajaan terjadi saat pemerintahan raja Kerajaan Kutai Kertanegara ke-8, Aji Pangeran Sinum Panji Ing Mendapa, dan raja Kerajaan Kutai Martadipura ke-29, Derma Setiya.
Mulanya, Raja Derma Setiya menyerahkan dua putrinya, Sekar Arum dan Sekar Wulan ke Kerajaan Kutai Kertanegara sebagai usaha asimilasi. Namun, hal ini membuat geram rakyat Kutai Martadipura, sebab dianggap melecehkan kerajaan.
Tewasnya Tumenggung Seroja, seorang Senapati Kerajaan Kutai Kertanegara di tangan panglima Kerajaan Martadipura membuat situasi memanas. Pihak Kerajaan Kutai KErtanegara menuduh pembunuhan ini dilakukan oleh orang-orang Kutai Martadipura nan tak setuju pada usaha penyatuan dua kerajaan.
Pada 1605, perang besar pun pecah. Dalam peperangan itu, Raja Pengabdian Setiya tewas di tangan raja Kutai Kertanegara, Aji Pangeran Sinum Panji. Pasca kekelahan ini, daerah-daerah pedalaman nan sebelumnya berada dalam kekuasaan Kerajaan Kutai Martadipura boleh melepaskan diri dan membentuk kerajaan-kerajaan kecil.
Kerajaan Kutai Kertanegara lalu menyatukan Kerajaan Kutai Martadipura di bawah kekuasaannya. Wilayahnya menjadi sangat luas. Raja Kutai, Aji Pangeran Sinum lalu mengumumkan kepada rakyatnya, bahwa Martadipura bukan jajahan Kutai Kertanegara. Namun, mereka itu satu raja, satu wilayah, dan satu pemikiran.
Kutai Pangeran Sinum Panji Mendapa mengumumkan pada seluruh rakyat Martadipura bahwa Martadipura bukanlah jajahan Kutai Kertanegara tetapi mereka ialah merupakan setinggil atau serumpun. Martadipura dan Kutai Kertanegara ialah satu. Satu raja, satu setinggil, satu mahkota, satu wilayah, satu pemikiran.
Oleh sebab itu, Raja Pangeran Sinum kemudian mengganti nama kerajaan menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Dengan kekalahan tadi, berakhirlan sejarah Kerajaan Kutai Martadipura.