Mimpi Besar

Mimpi Besar



Film Produk Lokal di Kotak Televisi

Televisi merupakan wahana informasi nan saat ini telah mendunia. Melalui kotak ajaib inilah tabir global terbuka di hadapan kita. Begitu banyak program acara nan ditawarkan dalam televisi. Salah satu acara hiburan nan menarik ialah film. Berbagai macam film tersaji dan terprogram dengan baik di setiap stasiun televisi nan ada. Film-film itu cukup menghibur walaupun tak sebagus dan sehebat film produk Hollywood. Terkadang akting para pemainnya tak memuaskan. Namun, bagi orang-orang nan haus hiburan, film di televisi atau FTV ini dapat menjadi pilihan hiburan.

Kembali kepada topik film produk lokal, tampaknya tak terlalu banyak variasi film produk lokal nan mendominasi global pertelevisian. Televisi kita hanya banyak dipenuhi dengan film dalam bentuk sinetron. Film-film nan cenderung menawarkan estetika global nan terkadang sulit dimaknai dalam kehidupan konkret masyarakat kita. Setiap rumah produksi berlomba-lomba memproduksi sinetron dengan alasan nan singkat dan jelas, sebab profit semata.

Temanya tak jauh dari percintaan. Kalaupun ada nan mengulas sesuatu nan dimaksudkan buat memotivasi, ternyata tak terlalu jauh dari peristiwa nan tentang kemiskinan nan dibuat seolah begitu menderita. Padahal sebenarnya tak harus terlalu meratapi kemiskinan. Bahwa kemiskinan itu merupakan sesuatu nan terkadang membuat aktivitas menjadi terbatas sebab tak mempunyai dana, niscaya ada sesuatu nan dapat dilakukan demi mendapatkan kebahagiaan.

Selain sinetron, tema film produk lokal nan beredar di televisi kita juga sering mengangkat cerita tentang cinta. Memang cinta merupakan tema nan universal, tapi apakah tak ada tema lain nan cukup menarik buat diangkat. Mungkinkah kehidupan masyarakat nan konkret dapat diangkat ke dalam layar kaca. Kembali lagi ke alasan awal, kata mereka film seperti ini tak akan laku. Ternyata ada juga nan menontonnya walaupun memang tak terlalu diminati.

Konsumen televisi bukan hanya orang tua saja. Namun sayangnya film produk lokal dengan tema anak-anak nan cocok dengan usia anak-anak hanya dapat dihitung dengan jari. Anak-anak kita telah kenyang dengan tayangan-tayangan nan sebenarnya bukan konsumsi buat usia mereka. Tapi apa boleh buat, itulah nan tersedia di dalam kotak nan bernama televisi itu. Untuk itulah seharusnya orangtua harus menerapkan diet televisi.

Diet televisi ini akan sangat efektif kalau orangtua menyediakan berbagai kegiatan nan menyenangkan bagi anak-anak mereka. Anak-anak hanya boleh menonton maksimal 10 jam dalam satu minggu. Lebih dari itu, artinya anak-anak telah terlalu sering menonton televisi. Tema film seperti Petualangan Sherina dan Laskar Pelangi, memang sangat mengkhawatirkan. Siapa nan mau berspekulasi setelah mengeluarkan uang begitu banyak ternyata uang itu tak kembali.

Untungnya kedua film tersebut laku dipasaran dan malah dianggap sebagai film nan bagus dan menjadi bentuk pembuka gerbang kebangkitan film nasional. Film lain nan cocok ditonton anak-anak ialah Ventilasi Rumah Kita. Walaupun mungkin ada baju dari pemain atau ada adegan nan terlalu dewasa buat anak-anak, film satu ini tetap menjadi salah satu tontonan nan cukup baik. Memang tak sepopuler Petualangan Sherina atau Laskar Pelangi, namun film ini cukup menghibur.

Film Emak Pingin Naik Haji dan Surat kecil Untuk Tuhan nan berdasarkan kisah nyata. Film Senandung Denias juga bagus tapi ternyata jumlah penonton buat ketiga film ini tak sebanyak jumlah penonton film Habibie dan Ainun. Memang tak mudah buat membuat film nan bagus dan juga disenangi oleh masyarakat. Ada banyak hal nan terkadang menjadi faktor x mengapa sebuah film dapat begitu dikenal dan sangat laku sehingga dianggap sebagai suatu simbol kebangkitan perfilman nasional.


Tidak banyak orang nan dapat seperti Mira Lesmana dan Riri Reza. Pasangan keriting ini memang luar biasa. Mereka ialah orang-orang nan begitu berkomitmen dengan perfilman Indonesia. Mereka begitu setia dan sangat ingin melihat perfilman Indonesia mendapatkan kedudukan nan baik di mata masyarakat dan juga warga dunia. Garin Nugroho pun seperti itu. Berbagai penghargaan telah diraihnya termasuk dari Tokyo film festival.

Baru-baru ini film The Raid meraih perhatian lebih dari dalam dan dari luar negeri. Ini membuktikan sebenarnya perfilman Indonesia ini tidalah sangat jelek. Hanya saja mengapa masih ada film nan memamerkan tubuh wanita seperti dalam film nan berbau pocong, hantu, kuntilanak, dan sebagainya. Seolah para pemain film wanita Indonesia ini berebut ingin memamerkan tubuh latif mereka. Seakan kalau tak memamerkan keseksian, mereka tak puas. Bahkan mereka telah mulai berani telanjang.

Luar biasa sekali keberanian nan ditunjukkan oleh pemain film wanita tersebut. Mereka tak peduli lagi dengan dosa nan akan mereka dapatkan. Yang mereka katakan berkaitan dengan peran nan dimainkan ialah sebagai tuntutan dari skenario. Inilah realita nan sangat mengerikan. Begitu banyak anak muda negeri ini dengan penampilan menarik ingin menjadi bintang film nan menonjolkan lekuk tubuh. Aneka tema nan diarahkan menonjolkan estetika fisik ini menghiasi perfilman tanah air.



Film Produk Lokal di Layar Lebar

Selain televisi, ada juga film produk lokal nan diproduksi buat layar lebar alias bioskop. Tidak jauh berbeda dengan televisi, film produk lokal nan diputar di bioskop pun miskin kreativitas. Tema-tema tentang masa remaja, percintaan dan cerita hantu nan paling sering diangkat. Belum lagi film-film dengan judul nan agak eksentrik ikut memberi rapor merah buat film di layar lebar. Yang dicari hanya laba finansial semata dan tak ada unsur pendidikan sama sekali.

Walau demikian, kita patut berbangga sebab ada beberapa film produk lokal nan cukup berkualitas. Coba tengoklah film Nagabonar, Laskar Pelangi dan King nan benar-benar menyorot kondisi konkret rakyat kita. Film-film nan dapat menjadi inspirasi bagi bangsa kita walaupun disisipi sentilan-sentilan kecil buat kondisi bangsa ini. Semua demi pemugaran bangsa. Paling tak bangsa ini masih dapat berbangga bahwa masih ada pembuat film nan peduli dengan keselamatan moral anak bangsa.

Menonton film produk lokal sebenarnya sangat menyenangkan. Kita harus mencintai produk dalam negeri termasuk film. Kita hanya dapat berharap semoga insan perfilman Indonesia dapat mengembangkan kreatifitas mereka dan berbuat lebih buat perkembangan film lokal Indonesia.



Mimpi Besar

Pasti banyak orang Indonesia nan bermimpi besar agar bangsa ini dapat memiliki insan film nan benar-benar ingin memajukan perfilman tanah air dengan mengangkat tema nan baik. Memang tak mudah membuat film nan dapat menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa ada selingan nan akan merusak pemandangan mata, jiwa, dan raga, tetepi mendatangkan banyak keuntungan. Begitu banyak taktik nan harus digunakan agar film nan bagus itu dapat diketahui oleh masyarakat luas.

Ketika film Ayat-Ayat Cinta, Kala Cinta Bertasbih, diluncurkan, peminatnya luar biasa. Namun, ternyata orang Indonesia itu mudah bosan. Tema seperti ini kini bagai lenyap begitu saja. Film Emak Ingin Naik Haji pun tak terlalu sukses. Film nan masih mendapatkan perhatian nan cukup luas malah nan nan tetap bertemakan pocong dan global lainnya. Penampilan seniman seperti Dewi Perssik, Nika Mirzani, Julia Perez, dan seniman nan berani telanjang lainnya, malah sangat diharapkan.

Ada pemerintah daerah nan berusaha menggaet insan film nasional, namun sekali lagi, filmnya tak terlalu meledak. Film Genting Sriwijaya nan diproduksi oleh pemerintah Sumatera Selatan bekerja sama dengan Hanung, ternyata tak dapat berbicara banyak. Film Mengejar Angin juga seperti itu. Biaya nan dikeluarkan tak sedikit. Miliaran rupiah telah dikucurkan.

Sekali lagi bahwa bangsa ini tak tertarik dengan tema film nan seperti itu. Bahkan tak sedikit film indie nan bagus nan diputar secara terbatas. Nyatanya film itu tak juga dapat menarik perhatian masyarakat.