Pemantapan Bukti diri Gender dalam Keluarga
Tahukah kisah mengenai Kim Petras? Seorang transeksual termuda dan tercantik di dunia? Lalu, apa hubungannya dengan kekacauan dari bukti diri gender seseorang? Apakah kacaunya bukti diri gender nan jadi penyebab transeksualnya seseorang? Atau sebaliknya, seseorang memilih menjadi transeksual buat menegaskan bukti diri gendernya? Pertanyaan-pertanyaan nan menggugah rasa ingin tahu ini, akan kita uraikan satu persatu.
Kisah Kim Petras - Bingung Bukti diri Gender
Sebelum menjawab apa dan bagaimana transeksual itu, cermati dahulu kisah hayati dari Kim Petras. Awalnya, ia ialah seorang bocah laki-laki kelahiran Jerman. Bernama Tim Petras nan terlahir dengan genital laki-laki pada umumnya. Namun, pada usia dua belas tahun ketika Tim masuk ke sekolah menengah pertama, penampilannya seperti seorang siswi. Mengenakan baju anak perempuan dengan rambut diikat ke belakang dan pita menghiasinya. Konduite Tim pun sejak sekolah dasar sudah feminin dengan bukti diri gender seorang perempuan.
Kontan saja ini membuat Tim menjadi bahan ejekan teman-temen sekolahnya. Ia dikucilkan dari pergaulan. Pihak sekolah pun akhirnya mengadakan kedap darurat dan mengambil keputusan buat mulai memperlakukan Tim sebagai perempuan. Ia juga dipanggil dengan nama baru pemberian orang tuanya, yaitu Kim Petras. Bukti diri gendernya pun berubah seiring dengan nama dan bukti diri barunya itu.
Setelah itu, setahun kemudian Kim menjalani terapi hormon dan melakukan operasi ganti kelamin pada usia enam belas tahun. Kim pun tercatat sebagai seorang transeksual termuda. Kini ia menjalani profesi pilihannya, yaitu sebagai model dan penyanyi nan telah meluncurkan dua buah lagu.
Menariknya, ia pernah diwawancarai oleh sebuah media mengenai alasan ia menjadi seorang transeksual dan mengambil bukti diri gender seorang perempuan, Kim dengan tegas menjawab, " Saya ditanya apakah sekarang merasa seperti perempuan. Sebetulnya aku selalu merasa seperti seorang perempuan, hanya aku terperangkap di dalam tubuh nan salah. "
Kim tak sendiri. Dan jawabannya itu juga merupakan jawaban khas para transeksual di seluruh dunia. Lihat saja bagaimana kecenderungan jawaban dari seniman transeksual Indonesia, Dorce Gamalama saat ia dipojokkan dengan pernyataan bahwa ia melawan kodrat. Dorce membantah dan mengatakan jawaban serupa, yaitu sejak kecil ia merasa dirinya perempuan sehingga memilih hayati layaknya perempuan. Termasuk ketika harus menjalani operasi ganti kelamin dan gender, meski resikonya mendapat cibiran dari masyarakat.
Bahkan nan lebih fantastis ialah kisah transeksual nan mengubah status gender Liz Riley. Seorang nan terlahir sebagai laki-laki, sempat kawin, memiliki anak (menjadi ayah), namun akhirnya memutuskan menjadi seorang perempuan (ibu). Kisah mereka (Kim Petras, Dorce Gamalama, dan Liz Riley) ialah contoh konkret dari bingung atau kacaunya bukti diri gender seseorang.
Kupas Transeksual dari Bukti diri Gender
Fenomena transeksual kini telah jadi bahan nan hangat buat diperbincangkan. Menarik sebab selain para ‘penggugat peran gender’ itu sudah lebih berani menampilkan bukti diri mereka, juga unik jika dibedah secara psikologis. Transeksual telah jadi bahan perdebatan para pakar psikologi dan pemuka agama bagaimana harusnya memperlakukan mereka nan berganti gender.
Mengawali perbincangan tentang transeksual, maka harus dikupas dahulu apa itu gender. Dari berbagai surat keterangan disebutkan bahwa gender itu mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas nan dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang. Kemudian ketika di dalam masyarakat, ia diarahkan kepada peran sosial atau bukti diri nan sinkron dengan gendernya.
Lebih tegasnya lagi, World Health Organization (WHO) menjelaskan gender sebagai seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut nan dianggap layak atau tepat bagi laki-laki dan perempuan. Organisasi kesehatan global itu juga menambahkan bahwa gender ditanamkan oleh suatu masyarakat sejak individu tersebut lahir.
Dengan kata lain, jika secara biologis (seksual) manusia terbagi atas dua jenis (laki-laki dan perempuan) , maka gender ialah konduite dan peran sosial nan diharapkan dari jenis kelaminnya itu. Contoh, seorang lelaki diharapkan berperilaku dan bersikap seperti seorang laki-laki (bersifat maskulin). Sebaliknya seorang perempuan pun dituntut buat berperilaku dan bersikap layaknya perempuan (bersifat feminin). Itu ialah bukti diri gender nan diharapkan oleh masyarakat.
Lalu, transeksual itu apa? Secara definitif transeksual ialah seseorang nan bukti diri gendernya antagonis dengan jenis kelamin secara biologis (seksual). Misal, seseorang nan terlahir punya alat reproduksi laki-laki (punya penis dan testis).
Namun ia beranggapan bahwa dirinya ialah perempuan sehingga konduite dan sikapnya seperti kesamaan seorang perempuan. Maka ia dinamakan seorang transeksual. Begitu juga sebaliknya. Perempuan nan lahir dengan vagina dan ovarium (ciri seksualnya), tapi ia menolak keperempuanannya itu dan berperilaku jadi seorang laki-laki. Ia pun seorang transeksual.
Transeksual harus dibedakan dengan waria atau tomboy. Jika waria atau tomboy hanya pada kesamaan jiwa buat menyerupai (baik fisik atau psikis) versus jenis. Namun mereka tak sampai pada keinginan kuat mengubah alat kelamin agar sinkron dengan kesamaan jiwanya itu.
Fenomena waria atau tomboy lebih tepat disebut sebagai transgender. Sedangkan transeksual sudah pada taraf keyakinan mendalam dan diiringi keinginan kuat merubah alat kelamin agar sinkron dengan kesamaan jiwa. Oleh sebab itujawaban nan mengatakan bahwa jiwa mereka terperangkap di tubuh nan salah, menjadi jawaban nan umumnya diungkapkan.
Transeksual juga dibedakan dengan gay atau lesbian. Gay dan lesbian lebih kepada orientasi (ketertarikan) seksual nan tak pada umumnya. Jika laki-laki tertarik secara seksual kepada perempuan dan perempuan tertarik kepada laki-laki, maka tak demikian dengan gay atau lesbian.
Walaupun transeksual bisa menjadi penyebab seseorang itu gay atau lesbian, namun transeksual tak dapat disamakan dengan gay atau lesbian. Memungkinkan saja jika seorang laki-laki transeksual tertarik kepada lelaki lain sebab merasa bahwa dia seorang perempuan. Jadi wajar-wajar saja bila ia pun tertarik kepada laki-laki.
Namun seorang transeksual juga dapat memiliki orientasi seksual nan normal. Contohnya ialah Julie Peters, seorang politisi Australia. Ia terlahir sebagai lelaki tapi merasa bukti diri gendernya ialah seorang perempuan. Pada usia 40 tahun Julie memutuskan menjalani operasi ganti kelamin. Tetapi ia mengaku tetap tertarik kepada perempuan.
Pemantapan Bukti diri Gender dalam Keluarga
Dahulu sebelum konsep bukti diri gender belum dipahami, para pakar psikologi dan masyarakat awam menganggap pelaku transeksual sebagai orang abnormal. Mereka lalu mendapat terapi (pengobatan) layaknya orang gila, seperti kejutan listrik dan obat-obatan psikiatri.
Tetapi ketika konsep akan bukti diri gender terpahami, terapi nan diberikan lebih kepada perubahan perilaku. Bersifat konsultatif dan kebebasan penuh kepada pelaku transeksual buat memilih. Pada banyak kasus, ketika seorang transeksual diminta menyelaraskan konduite dengan gendernya, banyak dari mereka nan lebih memilih melakukan perubahan gender daripada perubahan perilaku. Transeksual pun dinilai sebagai sebuah pilihan hayati dari seseorang.
Akan tetapi pandangan ini belum lazim di masyarakat. Tetap saja masih banyak nan menganggap transeksual merupakan seseorang nan menentang kodrat gendernya. Tidak menerima apa nan sudah ditakdirkan oleh Tuhan dalam bentuk pengingkaran terhadap bukti diri gender. Dalam kehidupan sosial, mereka jadi dikucilkan dan termasuk kelompok marginal dalam masyarakat.
Lalu, apa akar penyebab dari transeksual nan mengacaukan bukti diri gender dan bagaimana solusinya? Hingga kini penyebab niscaya dari transeksual masih misteri. Hanya saja banyak pakar konduite melihat kerancuan bukti diri gender berawal dari pola asuh nan galat dalam keluarga. Bukti diri gender nan mulai tertanam pada usia dua tahun, tak diarahkan dengan tepat oleh kedua orang tua. Hal inilah nan dicurigai kuat sebagai penyebab transeksual.
Pemantapan bukti diri gender dari kedua orang tua ketika mereka masih kecil, dapat jadi solusi. Atau setidaknya hal itu bisa jadi langkah preventif meredam munculnya kasus transeksual nan kini semakin marak.