Kasus Konkurensi Internasional - Keputusan Mahkamah Internasional

Kasus Konkurensi Internasional - Keputusan Mahkamah Internasional

Indonesia pernah mengalami kasus persengketaan internasional. Kasus persengketaan nan terjadi antara Malaysia dan Indonesia ialah masalah Pulau Sipadan dan LIgitan nan luasnya sekitar 50.000 meter persegi. Indonesia pada awalnya mengambil langkah buat membawa kasus persengketaan ini lewat Dewan Tinggi Asean. Tapi, sepakatan nan terakhir kasus konkurensi internasional antara Indonesia dan Malaysia ini diselesaikan lewat jalur hukum melalui Mahkamah Internasional.



Kronologi Kasus Konkurensi Internasional antara Indonesia dan Malaysia

Pada sekitar tahun 1967, mulai bergulir kasus persengketaan antara Malaysia dengan Indonesia nan dilakukan pada saat rendezvous secara teknis antara kedua negara mengenai hukum laut. Dalam kenyataannya, baik negara Malaysia maupun negara Indonesia memasukkan Pulau Ligitan serta Pulau Sipadan ke dalam batas-batas wilayahnya.

Malaysia memasukkan Pulau Ligitan serta Pulau Sipadan ke dalam peta. Padahal itu ialah sebagian dari wilayah Republik Indonesia. Perpu No. 4 Tahun 1960 dipakai sebagai panduan peta sebab tak sinkron dengan peta nan dibuat malaysia berdasarkan pengamatan nan dilakukan tim teknis di Indonesia.

Karena adanya hal tersebut, maka negara Indonesia mempunyai dasar nan kuat buat meresmikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan ke dalam negara Indonesia. Untuk memperkuat posisi Indonesia, maka dicarilah berbagai fakta nan secara historis dasar hukumnya sehingga bisa mendukung kepemilikan Indonesia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.

Namun, ketika itu ternyata Malaysia juga mengumpulkan berbagai dalil hukum fakta dan berbagai macam alasan nan digunakan buat memperkuat posisinya memiliki Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.

Pada saat itu, status quo ialah keputusan nan diambil oleh negara Malaysia dengan negara Indonesia. Namun setelah berjalannya waktu selama kurang lebih 20 tahun, PM.Mahathir Muhamad serta Presiden Soeharto kembali membicarakan konkurensi ini.

TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) atau Traktak Persahabatan dan Kerja Sama di Kawasan Asia Tenggara sekitar tahun 1976 dalam KTT pertama ASEAN diselenggarakan di Pulau Bali. Tujuannya buat membuat perencanaan buat mendirikan Dewan Tinggi.

ASEAN membangun ini dengan tujuan penyelesaian atas kasus nan ada di antara sesama anggota nan ada di ASEAN. Namun hal ini mendapat respons kurang baik dari pihak Malaysia. Negara Malaysia bukan hanya mempunyai kasus konkurensi dengan Indonesia, melainkan dengan negara lainnya. Contohnya antara lain ialah kasus klaim Pulau Batu Puteh dengan negara Singapura, dengan Filipina mengenai kepemilikan Sabah, dengan Brunei Darussalam di Bahari Cina Selatan yaitu kasus konkurensi mengenai kepulauan Spratley, Vietnam, dan bahkan dengan negara Taiwan.

Pada 1991, pihak Malaysia membawa polisi hutan buat melaksanakan pengusiran terhadap seluruh negara warga Indonesia nan berada di Pulau Sipadan maupun Ligitan. Malaysia menyuruh pihak dari negara Indonesia buat mencabut klaim tersebut.



Kasus Konkurensi Internasional - Keputusan Mahkamah Internasional

Langkah dalam menguji berbagai bukti dalam hukum nan menjurus kepada kemungkinan effective occupation berdasarkan permasalahan persengketaan secara internasional antara Pulau Ligitan beserta Pulau Sipadan akhirnya dilakukan. Derbagai bukti nan dipertimbangkan oleh mahkamah internasional antara lain ialah sebagai berikut.



1. Indonesia

Indonesia memberikan berbagai macam bukti dengan adanya keberadaan pratoli dari angkatan bahari Belanda nan berada di kawasan konkurensi mulai tahun 1895 sampai tahun 1928. Adanya kapal angkatan bahari Lynx menuju Sipadan pada sekitar bulan November sampai dengan Desember sekitar tahun 1921. Ditemukannya survei, yaitu hidrografi kapal kepemilikan Belanda Macasser di perairan Ligitan serta Sipadan nan ada sekitar bulan Oktober sampai dengan November 1903.

Lalu kemudian patroli ini diteruskan oleh partoli dari TNI Angkatan Laut. Lalu, ada lagi bukti lainnya yaitu kegiatan perikanan dari para nelayan Indonesia sekitar tahun 1950 sampai dengan tahun 1960-an, bahkan tepatnya sampai awal tahun 1970.



2. Malaysia

Bukan hanya Indonesia, namun Malaysia juga mengumpulkan bukti-bukti hukum Inggris, antara laian ialah pada 1933 regulasi suaka burung, Turtle Preservation pada 1962, dan pada 1963 pembangunan suar, serta perizinan terhadap kapal nelayan nan berada di kawasan Ligitan Sipadan. Jadi kesimpulannya, seluruhnya bukan produk dari Malaysia, melainkan produk hukum nan berasal dari pemerintah kolonial Inggris.

Mahkamah Internasioanal dengan tegas tak mau menerima argumentasi nan diberikan oleh Indonesia atas kedua pulau nan menjadi kasus konkurensi internasional itu, yaitu wilayah nan keberadaannya ada di bagian kekuasaan bawah Belanda sinkron dengan isi pasal IV Konvensi pada 1891.

Penjelasan dari Indonesia mengenai garis batas ini ialah telah terjadi perpotongan pada Pulau Sebatik nan merupakan allocation line serta terus saja berlanjut ke bagian arah sebelah timur nan ternyata kena ke bagian pulau nan sedang disengketakan. Klarifikasi ini tak dapat diterima oleh mahkamah internasional.

Tentang status mengenai kejelasan atas kepemilikan dari Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan tak dimuat di dalam Memori van Toelichting. Ilustrasi akan disampaikan di dalam peta Memori van Toelichting nan sinkron dengan Pasal IV nan telah ditafsirkan Indonesia ternyata mempunyai kekuatan nan lemah dalam hukum sebab tak mencakup dari bagian konvensi tahun 1891.

Di dalam perjanjian Indonesia tahun 1850 serta 1878 tak disebutkan tentang Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Hal ini disebabkan tak ada isi nan memuat bahwa pemerintah kolonial Belanda mendapatkan sebagian dari wilayah Kesultanan Bulungan.

Kasus konkurensi internasional antara Malaysia dan Indonesia mengenai Pulau Ligitan serta Pulau Sipadan pada 1988 dibawa ke ICJ. Keputusan dari ICJ dikeluarkan pada hari Selasa, tepatnya 17 Desember 2002 mengenai konkurensi antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Ligitan serta Pulau Sipadan.

Keputusan nan dihasilkan ialah dengan voting. Dalam voting di ICJ itu, 16 hakim memilih Malaysia sebagai pemiliknya, sedangkan bagi Indonesia hanya ada 1 orang hakim. Hakim tersebut memang terdiri dari 17 orang hakim. Mahkamah Internasional nan menyediakan 15 orang hakim, sedangkan dua hakim sisanya berasal dari masing-masing negara nan bersengketa, yaitu Indonesia dan Malaysia.

Malaysia menjadi pemenangnya itu disebabkan dengan alasan pertimbangan dari segi effectivity yang tak ada aturannya dengan batas-batas maritim maupun perairan teritorial.

Penjajah Malaysia, yaitu pemerintah Inggris, melakukan berbagai kegiatan administratif yang real, antara lain sejak tahun 1930 sudah mengadakan pemungutan pajak dari jumlah telur penyu nan terkumpul, penerbitan ordonasi konservasi terhadap satwa burung, serta sejak tahun 1960-an telah dilakukan operasi mercusuar.

Sementara itu, berbagai kegiatan nan diselenggarakan oleh negara Malaysia di bidang pariwisata sama sekali bukan pertimbangan dari keputusan ini. Adanya penolakan nan sinkron dengan rangkaian kepemilikan nan berasal dari Sultan Sulu atau chain of title masih dibilang belum dapat diterima berdasarkan ketentuan dari perbatasan wilayah bahari di selat Makassar antara Indonesia dengan Malaysia.

Keputusan nan telah dijatuhkan kepada negara Malaysia ini tak menyerahkan sama sekali terkait hal nan berhubungan dengan hukum sebab pembangunan atas tresort nan didirikan setelah tahun 1969 oleh Malaysia. Peraturan nan ada di dalam undang-undang mengenai kegiatan Indonesia nan para nelayannya melakukan kegiatan perikanan tak dijadikan landasan dari keputusan ini.

Jadi, kesimpulannya bukti-bukti nan diajukan itu sebagian besar dari kegiaatan nan dilakukan Belanda serta negara Indonesia melakukan pelanggaran dengan melawan bukti nan ada sinkron dengan hukum inggris.

Itulah contoh kasus konkurensi internasional antara Indonesia dan Malaysia. Konkurensi Pulau ligitan dan Pulau Sipadan nan akhirnya dimenangkan oleh Malaysia.