Regenerasi Tanpa Henti

Regenerasi Tanpa Henti

Regenerasi ialah kata kunci paling krusial dalam timnas (tim nasional) di era sepak bola modern sekarang ini. Maklum saat ini, tak hanya timnas Indonesia, timnas negara-negara elite Eropa merasakan beratnya mencari pemain-pemain berkualitas buat memperkuat negara. Ketika klub-klub di perserikatan domestik diperbolehkan memakai jatah lima pemain asing, biasanya hal ini langsung dimanfaatkan oleh klub-klub tersebut. Tengoklah di Indonesia.

Kebanyakan penyerang nan berebut posisi pencetak gol terbanyak setiap musimnya ialah mereka nan berstatus pemain asing. Wajar kalau timnas Indonesia hampir tak memiliki penyerang maut ketika era Kurniawan Dwi Yulianto sudah berakhir atau Bambang Pamungkas sudah menua.

Di Eropa kasusnya sama saja. Timnas Italia pernah merasakan betapa beratnya bersaing di Piala Global dan Euro. Bahkan pada Piala Global 2010, timnas Italia nan berstatus kampiun bertahan, langsung terdepak di penyisihan grup.

Miskinnya ciptaan di lini tengah dianggap menjadi hambatan utama. Bagaimana mungkin timnas Italia dapat memenangi pertandingan dengan tim elite kalau klub seperti AC Milan, Internazionale, atau Juventus lebih suka meletakkan gelandang-gelandang luar negeri demi memperoleh kemenangan atau gelar kampiun liga?

Timnas Inggris apalagi. Timnas Inggris hampir selalu tersingkir di Piala Global dan Euro melalui adu penalti. Tengoklah perserikatan mereka, Premier League nan dianggap sebagai perserikatan terbaik di dunia. Premier League dianggap tak "nasionalis".

Bagaimana dapat dikatakan membela kepentingan Inggris jika klub seperti Chelsea atau Arsenal pernah menurunkan 11 pemain non-Inggris? Kebanyakan timnas Eropa juga terkendala ketika klub-klub di perserikatan masing-masing lebih mengutamakan pencapaian prestasi instan dan bisnis semata.

Namun, bukan berarti tak ada timnas nan peduli dengan para pemain muda. Kita dapat melihat timnas Jerman. Bahkan dapat dikatakan, timnas Jerman dasa warsa 2000-an hingga awal 2010-an ialah timnas paling konsisten dalam menelurkan pemain-pemain luar biasa.



Timnas Jerman Era 1990-an Dihuni Pemain Berusia Tua

Keberhasilan timnas Jerman di awal abad 21 sebenarnya merupakan buah kehancuran Jerman pada akhir abad 20. Pada era 1990-an, Jerman memang dihuni pemain berusia tua. Pemain seperti Juergen Klinsmann, Andreas Moeller, Andreas Koepke, hingga Oliver Bierhoff masih dipakai ketika usia mereka sudah di atas 30 tahun.

Jerman memang sukses di Euro 1996 ketika menekuk Republik Ceska 2-1. Namun, dalam Piala Global 1998 dan nan paling fatal Euro 2000, timnas Jerman nan uzur, dihancurkan oleh tim-tim lain. Hilang sudah semangat singa tua Jerman nan digambarkan senantiasa pantang menyerah meski sudah tertinggal 0-4. Kehancuran di dua ajang tersebut membuat seluruh masyarakat Jerman manunggal buat menyerukan regenerasi timnas Jerman.



Perjudian Besar

Kesempatan pertama Jerman buat membuktikan kualitas pasukan mudanya datang di Piala Global 2002. Kala itu, Jerman tak difavoritkan. Maklum, mereka harus melalui babak play-off dahulu sebelum berlaga di Korea Selatan-Jepang. Namun, timnas Jerman nan kala itu diasuh oleh Rudi Voeller, membawa sesuatu nan lain.

Dengan donasi komputer nan mempertemukan mereka dengan tim-tim nan nisbi ringan, plus semangat tidak kenal lelah, skuad timnas Jerman nan miskin pengalaman masuk ke final. Sayang, mereka ditekuk Brazil 2-0 lewat dua gol si Ronaldo. Meski kalah, prestasi Jerman tetap membanggakan. Ketika mereka tiba di bandara pasca Piala Global 2002, timnas Jerman dielu-elukan bagaikan telah memenangi Piala Dunia.

Dari skuad Piala Global 2002, lahirlah sosok Michael Ballack dan Miroslav Klose. Jebolan tim Kaiserslautern nan dijual ke klub elite (Ballack ke Leverkusen dan Klose ke Werder Bermen) sebab Kaiserslautern nyaris bangkrut, ini menjadi nafas permainan timnas Jerman.

Ballack menjadi pengatur agresi Jerman dalam satu dekade, sedangkan Klose menjadi pencetak gol tersubur Jerman. Saat ini koleksi gol Klose di tiga Piala Global (2002, 2006, dan 2010) mencapai 15; jumlah nan cuma dapat ditaklukkan oleh Ronaldo.

Keberhasilan Jerman meretaskan dua nama krusial ini kemudian disusul dengan nama-nama lain. Timnas Jerman pun berubah, dari tim nan mengandalkan pemain tua, menjadi timnas nan mengandalkan anak-anak muda.

Di Euro 2004, Jerman memang tersingkir lebih awal. Mereka kalah dari Republik Ceska dan cuma bermain imbang dengan tim gurem Latvia. Namun, lagi-lagi dari turnamen ini muncul nama Bastian Schweinsteiger, pemain sayap nan begitu trengginas. Kesempatan datang dua tahun berikutnya. Jerman tampil di Piala Global 2006 nan diselenggarakan di kandang sendiri. Instruktur nan ditunjuk ialah Juergen Klinsmann nan memang cukup perhatian dengan bakat muda tim panser.

Piala Global 2006 pun berubah menjadi ajang pertunjukan para pemain muda. Sebutlah nama Lukas Podolksi nan baru berusia 22 tahun, Phillip Lahm sang bek sayap tangguh berusia 22 tahun pula, dan Marcell Jansen. Ketiga pemain ini menjadi barisan nan berhasil membawa Jerman meraih peringkat ketiga Piala Global 2006. Era baru timnas Jerman pun dimulai.



Regenerasi Tanpa Henti

Regenerasi sudah dimulai dengan baik oleh Juergen Klinsmann. Namun, masalah belum selesai. Klinsmann mundur setelah Piala Global 2006. Ketakutan pun menyergap. Sebagai pengganti, ditunjuklah Joachim Loew nan sebelumnya menjadi asisten Klinsmann. Di tangan Loew, Jerman tampil lebih menggila lagi dengan para pemain muda. Ada candaan, Loew sepertinya lupa bahwa nan diasuhnya bukanlah timnas senior Jerman, melainkan timnas U-23.

Hal ini wajar jika kita melihat skuad nan dipilihnya di Euro 2008. Meski tetap mengandalkan pemain tua seperti Jens Lehmann dan Michael Ballack, Loew memberi porsi nan banyak buat para pemain muda. Muncullah calon penyerang masa depan Jerman, Mario Gomez dan semakin kokohlah posisi Per Mertesacker di posisi palang pintu di usia nan masih 23 tahun.

Timnas Jerman berhasil mencapai partai final Euro pertama dalam 12 tahun terakhir. Sayang, mereka dibekap Spanyol 0-1. Namun, reformasi nan dilakukan Joachim Loew jelas membawa kesegaran tersendiri bagi timnas Jerman. Ujian lagi-lagi datang di Piala Global 2010. Kali ini, Jens Lehmann sudah tak dapat diandalkan lagi. Sementara, kapten Michael Ballack cedera. Ban kapten pun inheren di bahu Phillip Lahm. Sementara, posisi kiper diisi oleh Manuel Neuer.

Piala Global 2010 sendiri kembali menjadi saksi bisu bermunculannya bakat-bakat brilian di timnas Jerman. Misalnya, Mesut Ozil, pemain Jerman berdarah Turki, datang mengguncang dunia. Sang pengatur agresi membuat lini tengah Jerman begitu hidup. Visi bermain Ozil sendiri dianggap setara dengan Zinedine Zidane, salah satu playmaker terbaik global sepanjang masa.

Selain Ozil, ada pula Sami Khedira. Gelandang bertahan ini terlihat sangat kokoh berperan sebagai pemain jangkar. Jangan lupakan pula bagaimana aksi menawan Thomas Mueller. Sang penyerang tampil begitu mematikan di depan gawang. Kalau Klose adalah sasaran man nan andal, Mueller sebagai penyerang penjelajah begitu liat dalam memorakporandakan pertahanan lawan.

Kehadiran Ozil, Khedira dan Muller diikuti dengan munculnya bintang-bintang Jerman nan baru. Sebut saja Mario Gutze, Marco Reus, dan Andre Schurrle. Mereka ialah pemain-pemian muda Jerman nan siap membawa Jerman ke puncak kemenangan.

Jika melihat dasa warsa 2000-an, selalu ada minimal 2 pemain timnas Jerman nan berhasil di perhelatan akbar, baik di Piala Global maupun Euro. oleh sebab itu, bayang-bayang ketakutan pendukung Jerman di akhir 1990-an, berubah menjadi senyum kemenangan. Seolah generasi emas tak pernah surut di timnas Jerman.