Animasi 2D dan 3D serta Masa Depannya di Indonesia
Suka film animasi? Pastinya Anda akan menjawab ya, apalagi animasi 3D. Bagaimana tidak? Sesosok kartun nan dapat bergerak sangat menyenangkan dan menimbulkan sensasi baru bagi nan melihatnya. Hal itu terlihat dari membludaknya peminat animation film alias film animasi.
Biasanya nan menjadi penonton langganan ialah anak-anak. Rajanya animasi global ialah Amerika. Namun belakangan, seolah tak mau kalah, Jepang, India dan Malaysia pun mengekor dengan cepat.
Animation atau animasi ialah gambar bergerak nan kemudian divisualisasikan hingga menjadi sebuah film. Zaman dahulu animation nan dibuat Walt Disney masih berupa gambar hitam putih. Tapi kini, film-film animation sudah berwarna dengan gerakan nan luwes dan nyaris seperti gerakan manusia. Bukan perkara mudah lho membuat gambar dapat bergerak.
Bayangkan saja, buat membuat gambar bergerak selama satu atau dua detik saja diperlukan dua puluh gambar nan nyaris sama dengan disparitas hanya pada pergerakannya saja. Jadi, tak mudah buat dapat membuat sebuah film animasi.
Setelah animasi kartun, sekarang eranya animasi 3D nan mulai diminati oleh banyak orang, baik sebagai bahan tontonan, maupun sebagai alat buat membuat sebuah iklan. Coba saja lihat bagaimana antusiasnya anak-anak dan orang tua menonton animasi 3D Upin dan Ipin atau bagaimana penuhnya sebuah bioskop ketika film animasi keluarga ditayangkan. Hal itu membuktikan adanya kemajuan dalam perkembangan film-film animasi.
Dimasa sekarang dengan perkembangan teknologinya, animasi tak perlu lagi dibuat dengan sekumpulan gambar nan kemudian kita gerakkan dengan cepat. Karena sekarang media komputer sudah ada buat membantu mempermudah pembuatan gerakan animation.
Pertumbuhan Animasi 2D dan 3D
Memang sekarang animasi 3D sedang booming. Banyak film nan menggunakan format pembuatan 3D. Anda tak perlu susah-susah menggambar lho, sebab buat membuat animation 3D, Anda cukup menggunakan software spesifik animasi nan tersedia dipasaran. Harga programnya jutaan, itu kalau nan asli, namun bajakannya tak sampai seratus ribu dan Anda dapat membuatnya.
Untuk membuat satu karakter animasi, butuh satu sampai dua hari penuh. Bahkan, buat orang nan mengerjakan sendiri, membuat satu animasi bergerak dan bercerita sepanjang lima belas menit membutuhkan waktu satu bulan.
Susah bukan? Oleh karena itu, sebuah film nan dibuat berdurasi 90 menit dibuat oleh ratusan orang kru nan bekerja dibelakang layar. Jadi, membuat sebuah film animasi tidaklah mudah. Tapi, hal itu sebanding dengan harga jualnya nan mahal.
Beberapa film kolosal di Indonesia melakukan perpaduan 3D dalam spesial efectnya. Memang, pembuatannya terlihat masih tak karu-karuan. Hal itu bukan sebab para animator Indonesia sembrono atau sembarangan. Faktor biaya dan waktu nan menjadi kendala.
Animasi nan dikerjakan seolah asal-asalan dikarenakan faktor waktu nan minta cepat dan juga faktor dana nan minim. Duh, pembuatan animasi butuh kerja keras dan imajinasi, mana dapat kalau hanya dibayar murah? Memang ketika menontonnya terkesan mudah, namun coba saja membuatnya.
Maka dari itu, kebanyakan orang lebih suka mengerjakan animasi buat iklan sebab bayarannya besar, durasi pengerjaannya pun tak lama. Hal ini berbanding terbalik dengan pengerjaan animasi buat konsumsi publik seperti film.
Dana nan dikucurkan terbatas sedang durasi nan dibutuhkan panjang. Sehingga, sulit mengharapkan animasi di Indonesia dapat tumbuh fertile seperti di negera-negara lain. Mula-mula, sebelum munculnya animasi 3D, terlebih dahulu nan masuk dan merajai pangsa pasar global film dan iklan ialah animasi 2D. Animasi nan dibuat dari susunan gambar ini dipelopori oleh Walt Disney nan memiliki ide buat membuat sebuah gambar bergerak dan menjadi tontonan publik.
Belakangan, kemajuan teknologi nan demikian pesat mulai mempercanggih tampilan animasi 2D. Walau animasi 3D masuk, bukan berarti animasi 2D sepi peminat. Silahkan saja lihat berapa banyak penonton film Naruto, Avatar, Spongebob, Doraemon. Animasi 2D tetap menjadi primadona sebagai film kartun.
Animation 2D dan 3D di Indonesia
Indonesia dianggap paling tertinggal dalam global animasi. Tetapi sebagai konsumen terbesar pada tontonan animasi nan dibuat oleh orang luar. Lihat saja film Doraemon, Naruto, Dragon Ball, Inuyasha, semuanya merupakan film protesis Jepang.
Film animasi kartun protesis Indonesia pernah dibuat dan ditayangkan dilayar kaca, namun sepi penonton, ratingnya buruk dan iklan sedikit akhirnya gulung tikar sebab tak ada dana. Apakah itu berarti para penggambar kartun di Indonesia tak ada atau sedikit? Jawabannya, salah. Para pelukis kartun bertaburan. Orang-orang nan memiliki talenta gambar pun numplek.
Yang menjadi hambatan bukan pada para ahlinya, namun pada kucuran dana nan diberikan. Tidak mau dong orang kerja membuat kartun dan cuma dibayar ucapan "terimakasih" dan kata "kamu hebat" saja. Para kartunis itu juga punya keluarga nan membutuhkan makan. Dengan bayaran rendah, lebih baik mereka mencari pekerjaan lain daripada berkutat dengan seni dan diremehkan.
Setali tiga uang dengan para pembuat animasi 3D. Memang buat 3D tak perlu lagi bergelut diatas kertas buat membuat cerita berjalan. Cukup menggambar karakter di atas kertas nan kemudian akan dituangkan ke dalam komputer dengan program spesifik 3D. Dalam satu hari, karakter nan ada di atas kertas akan terbentuk di komputer. Lengkap dengan kualitas 3D.
Nah, apakah para pakar 3D di Indonesia juga tak ada? Lagi-lagi jawabannya, salah. Para animator 3D banyak di Indonesia. Hanya saja mereka lebih memilih bekerja dengan orang di luar Indonesia. Mengingat bayaran dan taraf penghargaannya lebih tinggi. Jadi, faktor sesungguhnya animation di Indonesia tak dapat maju-maju sebab kurangnya penghargaan secara finansial bagi para animator, menyebabkan para animator selingkuh dengan negara lain.
Mungkin kemudian akan timbul pertanyaan di dalam diri. Apakah Indonesia sungguh tak mampu membayar para animator buat menghasilkan karya bergengsi? Lagi-lagi hal itu salah. Salah seorang animator pernah mengeluhkan dimana ketika mereka membuat mini seri 3D, pihak stasiun televisi membeli copyright dari film tersebut.
Otomatis, sebab nan membeli hanya satu, para pembuat animasi menjual dengan harga tinggi dan pihak stasiun televisi keberatan dikarenakan kemahalan. Lebih mahal daripada mereka membeli film animasi protesis luar.
Terang saja mahal, sebab mereka tak membeli hak siar, namun membeli hak cipta. Alias beli putus. Tetapi, kalau pihak televisi mau membeli hanya hak siar saja, maka pihak pencipta atau pembuat animation dapat menjual lagi nantinya pada stasiun televisi lain.
Misalnya, perusahaan animation A menjual hak siar film animasinya pada RCTI dalam jangka satu tahun. Nantinya, setelah kontrak hak siar habis, animation A dapat menjualnya pada stasiun tivi lain. Selain itu, kalaupun hak siar RCTI belum habis, perusahaan animation itu dapat menjual pada tivi kabel, jadinya harga produksi nan 5 juta dapat di bagi menjadi dua atau tiga. Dengan begitu harga film animasi pun dapat lebih murah dan terjangkau.
Animasi 2D dan 3D serta Masa Depannya di Indonesia
Belakangan, sebab serbuan masuk animasi 3D protesis luar, seperti Malaysia, Amerika, Jepang, dan India, menggelitik perasaan berkebangsaan para animator Indonesia. Selain itu, juga telah mengusik pemerintah dan instansi partikelir lainnya.
Perlahan animasi di Indonesia mulai bangkit, khususnya animasi 3D. Terbukti dari banyaknya lomba-lomba animasi secara berkelompok maupun Individu nan hadiahnya menggiurkan. Belum lagi dengan beraninya beberapa iklan nan mencoba membuat film animasi lewat tokoh icon mereka, seperti wall nan berani membuat film animasi 3D nan mereka gunakan sebagai wahana promosi produk mereka juga sebagai bentuk kepedulian pada film animasi 3D protesis Indonesia.
Memang, sempat Indonesia membuat film animasi 3D nan diputar dilayar lebar. Sayangnya, penceritaan dan penokohan nan tak kuat membuat film ini langsung turun layar dengan cepat. Tapi, geliat dari kegelisahan para animator Indonesia sudah mulai terlihat dan diharapkan pada tahun-tahun mendatang Indonesia sudah dapat memproduksi film animation setaraf internasional.