Penakluk Iklim Eropa Akhir 2000-an - Para Pemain Keturunan
Bermain di sebuah perserikatan dengan iklim berbeda jelas membutuhkan konsistensi dan kesungguhan tersendiri. Liga-liga Eropa, sejak lama menjadi tujuan para pemain di seluruh dunia. Mulai dari Amerika Selatan, Afrika, Australia, dan Asia, berlomba-lomba buat meraih kesuksesan di benua biru dengan iklim dingin.
Bahkan, pemain dari negara kiblat sepakbola global seperti Brazil dan Argentina, tidak segan mencari makan di iklim Eropa. Maklum, liga-liga di Eropa jauh lebih profesional daripada perserikatan mana pun di dunia. Kalau di liga-liga belahan global mana pun pemain sepak bola dipuja oleh fans, di liga-liga iklim Eropa mereka juga dipuja dan dimanjakan oleh klub. Kalau pemain-pemain dari wilayah lain, mungkin dapat beradaptasi dengan baik sebab tinggal di iklim subtropis nan sama dengan Eropa. Namun, bagaimana dengan para pemain Indonesia? Berikut ini para pemain nan telah menjajal dinginnya cuaca dan iklim Eropa nan kurang bersahabat.
Penakluk Iklim Eropa Era 1990-an - PSSI Primavera
Awal 1990-an PSSI melakukan manuver spektakuler. Para pemain muda, bersama instruktur Danur Windo, dibawa ke Italia buat dididik mengecap profesionalisme sepak bola. Bima Sakti Tukiman, Kurnia Sandy, dan Kurniawan Dwi Yulianto menjadi tiga pemain nan kemudian dilirik klub di iklim Eropa. Nama pertama ialah Kurniawan. ia sempat bermain buat FC Luzern, klub di Perserikatan Swiss. Dalam 10 penampilan, Kurus, demikian ia biasa dipanggil, mampu mengoleksi 1 gol. Kurniawan nan seorang penyerang terbaik Indonesia di eranya, kemudian dijajal dalam pertandingan pramusim Sampdoria senior.
Pada saat itu, ia disebut dengan nama Kurniwan oleh komentator. Dalam sebuah laga persahabatan, Kurniawan sempat mendapatkan peluang emas buat mencetak gol namun gagal. Media Italia menyebutkan, masalah umur dan kematanganlah nan membuatnya tidak dapat tampil cukup impresif di laga ujicoba perdananya. Saat itu, Sampdoria sudah memiliki 3 pemain non-Uni Eropa. Artinya, peluang Kurniawan masuk ke klub nan pernah diperkuat Roberto Mancini itu semakin kecil.
Pada akhirnya, Kurniawan pulang kampung dan bermain buat Pelita Jaya. Konon, hambatan primer Kurniawan saat itu ialah gaya hayati di Eropa nan berbeda total dari Indonesia, selain tentunya masalah iklim. Cerita nyaris serupa juga dilakoni oleh Bima Sakti. Gelandang flamboyan nan hingga saat ini masih bermain buat Persema ini, juga pernah merasakan kompetisi di iklim Eropa. Bima Sakti berguru ke Helsingborg, klub Perserikatan Swedia. Namun, hanya semusim di Swedia, dengan jumlah laga nan sedikit, Bima Sakti kembali ke Indonesia. Sama seperti Kurniawan, Bima Sakti memperkuat Pelita Jaya nan saat itu seolah difungsikan sebagai penampung para jebolan PSSI Primavera nan gagal menaklukkan iklim Eropa.
Ada pula nama Kurnia Sandy. Kiper kelahiran Semarang ini lebih baik pencapaiannya daripada dua nama nan disebutkan di muka. Sandy sempat menjadi kiper keempat Sampdoria di bawah asuhan Sven-Goran Eriksson, kelak instruktur Lazio dan Inggris. Namun, sepanjang musim, Kurnia Sandy tak mendapatkan satu kesempatan pun buat berlaga bersama Sampdoria di iklim Eropa. Akhirnya, ia pulang ke Indonesia dan mendapatkan loka di Pelita Jaya, dengan iklim nan tidak perlu membutuhkan adaptasi lagi bagi Sandy.
Selang beberapa tahun pasca era PSSI Primavera, tepatnya tahun 1999, Bambang Pamungkas menyentak Indonesia ketika ia sukses masuk ke EHC Norad, klub Divisi Tiga Perserikatan Belanda. Padahal, sebelumnya Bambang berhasil mencetak 24 gol di Persija pada musim pertamanya di Perserikatan Indonesia. Di EHC Norad, dengan kompetisi nan levelnya tak seberapa, bahkan sukses menjadi salah satu primadona baru di klub tersebut di awal-awal karier. Ia dijuluki Pengpeng, pelesetan dari nama Bambang. Bambang nan pendek buat ukuran di iklim Eropa (168 centimeter) dikenal jago menanduk bola dan beberapa kali mencetak gol.
Namun, seperti pemain nan sudah-sudah, Bambang gagal beradaptasi dengan iklim Eropa. Hasilnya, hanya berselang empat bulan setelah mengikat kontrak dengan EHC Norad, ia kembali ke Persija dengan status pemain pinjaman. Kelak, setelah Bambang merasa nyaman di Perserikatan Indonesia, EHC akhirnya melepas Bambang kembali ke Macan Kemayoran.
Lagi-lagi, iklim menjadi hambatan bagi pemain Indonesia di perserikatan Eropa. Pasca perginya Bambang dari Belanda, masih ada pemain lain. Rigan Agachi namanya. Ia bergabung ke PSV Eindhoven di usia 17 tahun. Ada nan unik seputar kedatangan Rigan belia ke PSV. Ketika datang ke kompleks latihan PSV, Rigan sempat diduga sebagai petugas cleaning service. Maklum, ia tak mengenakan seragam training atau tas nan berlogo klub. Kedatangan Rigan ke Belanda sendiri harus dibayar mahal sang ayah nan syahdan menjual rumah dan menggadaikan mobil sebagai biaya, semua itu demi merumput di iklim Eropa.
Bagaimana hasilnya? Sebenarnya, Rigan berpeluang buat bertahan lama di Belanda. Sayang, ia kedapatan memalsukan umur. Alhasil, hal ini tak bisa ditoleransi. Rigan sempat pula masuk ke klub papan tengah Perserikatan Belanda, FC Utrecht pada tahun 2003-2004. Namun, pada akhirnya ia kembali ke Indonesia. Oktober 2011 lalu, ia memperkuat Arema. Kali ini bukan iklim nan menaklukkan pemain Indonesia di iklim Eropa, namun masalah non-teknis.
Penakluk Iklim Eropa Akhir 2000-an - Para Pemain Keturunan
Diperbolehkannya penggunaan pemain naturalisasi buat dipakai timnas sepakbola di seluruh dunia, mengundang angin segar tersendiri bagi iklim PSSI. Apalagi, banyak pemain keturunan Indonesia, terutama dari wilayah Maluku, nan berlaga di Belanda. Alhasil, muncul para pemain Indonesia nan dari segi kualitas sangat mumpuni plus memiliki profesionalitas tinggi. Misalnya Irfan Bachdim. ia memang bukan pemain naturalisasi. Ayahnya pernah berlaga buat Persema di era 1980-an. Irfan nan sejak kecil tinggal di Eropa, jelas terbiasa dengan iklim dingin. Ia bermain buat FC Uthrecth, tapi gagal menembus tim senior.
Irfan tercatat hanya sekali berlaga buat Utrecht. Pada tahun 2009, ia menjadi pemain berstatus free transfer dan bergabung dengan HFC Haarlem. Di tim ini, Bachdim mencetak 2 gol dalam 19 laga di tengah iklim nan dingin. Kecintaannya kepada Indonesia membulatkan tekad buat hijrah ke tanah air dengan iklim tropis. Momen pun tepat hadir, yaitu AFF Cup 2010. Dalam dua laga awal, Indonesia tampil luar biasa. Malaysia diganyang 5-1 dan Kamboja dibekap 0-6. Irfan berkontribusi besar dalam dua laga tersebut dengan tekniknya nan di atas rata-rata pemain Indonesia lain.
Seiring dengan waktu, penampilan Irfan menurun. Indonesia sendiri akhirnya cuma duduk di posisi runner-up sebab kalah agregat 2-4 dari Malaysia. Kegantengan Irfan menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Maka, ia pun menjadi idola baru dan membintangi berbagai macam produk kenamaan. Saat ini, Irfan berlaga buat Persema Malang. Berkaitan dengan perjuangannya di timnas, ada hal unik.
Irfan sempat tidak betah ketika pemain timnas dilatih ala militer di Pusat Pendidikan Pasukan Spesifik (Passus) Batujajar, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Kalau masalah iklim tropis nan berbeda dari negerinya selama ini tinggal Irfan dapat mengatasi, urusan mental mungkin lain ceritanya.
Nah , pemain keturunan nan paling menyita perhatian saat ini ialah Stefano Lilipaly. Pemain ini baru saja mencetak gol perdana bersama FC Utrecht saat melawan PSV Eindhoven. Lilipaly nan berusia 21 tahun, menjadi pemain Indonesia pertama nan mampu menjebol gawang versus bersama Utrecht. Lilipaly sendiri akan dimainkan dalam laga Bahrain vs Indonesia di Pra Piala Global 2014. Menarik buat disimak bagaimana Lilipaly berjuang menghadapi iklim tropis. Maklum, saat berlatih bersama timnas U-23 beberapa waktu lalu, perubahan iklim menjadi hambatan bagi Lilipaly.