Political Will

Political Will



Derita Anak-Anak

Konsep psikologi tentang kecerdasan telah berubah walaupun masih banyak orangtua nan membuat anak-anak mereka begitu menderita dengan berbagai tuntutan. Anak-anak dituntut agar dapat mendapatkan ranking nan baik minimal 10 besar. Padahal ranking itu tak menjamin apa-apa. Banyak orang nan pada masa sekolah mendapatkan ranking bagus, hidupnya malah tak bagus. Ia kaya tetapi kekayaannya hasil dari menipu dan korupsi.

Ada juga nan mempunyai ranking bagus di sekolah, ketika terjun di masyarakat ia tak mampu membawa diri dengan baik dan tak dapat mendapatkan pekerjaan nan juga bagus. Ranking itu bukan apa-apa. Ranking dapat juga menunjukkan kerja keras sang anak ketika belajar atau sebab sang anak dikaruniai otak nan memang bagus. Banyak anak nan mendapatkan ranking itu memang sudah hebat dari sananya. Ia terkadang tak banyak belajar sebab memang dikaruniai otak nan encee.

Banyak orang nan berusaha memberikan apa nan dibutuhkan oleh janin ketika sedang mengandung, tetapi blueprint kecerdasan itu memang bukan hak prerogatif manusia. Itu ialah hak Tuhan nan tak dapat diubah. Manusia hanya dapat menerima dan berusaha memanfaatkan apa nan telah diberikan kepadanya dengan rasa syukur. Tanpa adanya rasa syukur, maka semua keadaan serasa sangat menekan. Begitu juga dengan orangtua nan tak dikarunia anak-anak nan kurang jenius.

Sebenarnya orangtua nan tak mempunyai anak-anak dengan ranking nan bagus, tak perlu merasa sedih atau merasa bahwa anak-anaknya tak mempunyai masa depan nan cemerlang. Banyak contoh orang-orang nan semasa sekolah tak terlalu pandai, malah mampu meningkatkan kecerdasan lain nan ada pada dirinya sehingga ia menjadi seseorang nan terlihat begitu cerdas. Kecerdasannya malah membuatnya disenangi oleh banyak orang.

Rasa bahagia nan dirasakan oleh banyak orang ini membuat bisnisnya lancar. Bisnis nan lancar ini membuatnya lebih banyak melakukan hal-hal nan dibutuhkan oleh orang lain. Hal ini membuatnya menjadi orang nan sangat bermanfaat. Tidak sedikit orang-orang nan tak masuk dalam ranking nan bagus itu menjadi orang nan pandai mendamaikan pertikaian. Mereka mempunyai kesabaran nan tinggi dan kemampuan melihat permasalahan dengan lebih teliti dan lebih jeli sehingga mereka dibutuhkan dalam hal perdamaian.

Mereka nan tak merasa terlalu cerdas tak merasa harus menonjolkan dirinya. Perasaan tak harus menonjolkan diri inilah nan membuatnya perlu mengembangkan potensi lain nan ada dalam dirinya. Ia berusaha melakukan apa nan dapat ia lakukan dan bukan apa nan tak dapat ia lakukan. Ia berpikir bahwa kalau ia memikirkan apa nan tak dapat ia lakukan, ia akan mati. Tetapi apabila ia melakukan apa nan dapat ia lakukan, ia dapat melakukan banyak hal.

Hal-hal sederhana seperti ketika rumahnya kotor, ia bersihkan. Saat ada tetangga nan membutuhkan bantuannya, ia akan membantunya. Kalau ia berpikir buat membuat sebuah mobil tanpa ia tahu bagaimana membuat mesin, ia niscaya hanya mengkhayal tanpa batas. Padahal imajinasi nan tidak berbatas itu hanya akan menambah beban otak. Otak nan terlalu terbebani akan menjadi sakit dan bahkan mungkin akan menderita sakit tumor otak.

Orang-orang nan seperti ini ialah orang-orang nan mempunyai kecerdasan emosional nan baik. Ia tak melihat sesuatu dari sudut pandang nan terlalu sulit. Kesederhanaan dalam berpikir itu membuatnya menjadi sosok nan terlihat arif dan bijaksana. Ia sering memberi dan tak terlalu egois baik kepada dirinya maupun kepada orang lain. Ia tidak memandang orang lain dengan cara nan terlalu sulit. Baginya semua orang itu sama dan harus diperlakukan dengan adil sinkron dengan kemampuannya.

Orangtua seharusnya melihat anak dari sisi seperti ini. Anak nan baik itu ialah anak nan tetap merasa bahwa ia tetap harus baik demi masa depannya. Masa depan nan bukan di global ini saja melainkan di akhirat juga. Ketika anak tetap berada di jalur nan baik, maka semua orangtua harus bersyukur dan tak terlalu memaksakan anak-anak mereka menjadi sesuatu nan mungkin tak mampu mereka gapai. Orangtua memang harus terus membuat anakp-anaknya semangat dalam menatap masa depan tetapi tak perlu membuat anak mereka menjadi tertekan.

Rasa tertekan nan dirasakan oleh anak-anak akan membuat mereka malah menjadi mahluk tak karuan dan bingung menentukan haluan hidupnya. Mereka menjadi tak percaya diri ketika harus menghadapi masalah. Rasa tak percaya diri ini membuat mereka putus harapan atau bahkan depresi. Gangguan psikologis pun dapat dialami. Oleh sebab itulah, orangtua harus bijaksana dalam memberikan bimbingan kepada anak-anaknya agar mereka tumbuh menjadi orang dewasa nan mampu menguasai emosinya.



Mahluk Istimewa

Sebagai kreasi Tuhan, manusia memiliki keunggulan dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Keunggulan ini terletak dalam kompleksitas potensinya nan harus dikembangkan agar manusia mampu mengelola alam sehingga dia dapat hidup, berkembang, dan berkreasi dengan berbagai kecerdasan majemuknya.

Ketika konsep psikologi IQ (Inteligence Quotion) mendominasi sebagai alat buat mengukur kemampuan manusia, banyak kalangan mengkritik. Secara humanistis, potensi manusia lebih dari sekedar kemampuan otak nan bersifat akademik. Apakah hanya sebab pelajaran di sekolah jeblok seorang anak dengan dapat langsung divonis tak memiliki kecerdasan, dan masa depannya dianggap suram? Asumsi ini membuat anak-anak akan dipandang dalam tataran nan sangat sempit. Padahal cara pandang itu harusnya seluas samudra.

Namun dalam mengembangkan seluruh potensinya tersebut, setiap orang harus mendapatkan dukungan dari lingkungan pendidikan nan melingkupinya. Baik lingkungan di dalam keluarga, di persekolahan, maupun di masyarakat. Tanpa dukungan dari lingkungannya, potensi kecerdasan beragam seorang anak tidak akan bisa berkembang secara optimal.

Namun sayangnya, kita juga harus realistik dengan fenomena sosial nan hingga kini masih sering menghambat optimalisasi potensi kecerdasan manusia ini. Para orangtua, misalnya, terbiasa mengikuti arus pemikiran nan bersifat mainstream. Sehingga kalau muncul atau ada penawaran alternatif pemikiran baru namun tak menjadi mainstream akan sulit dilaksanakan oleh para orang tua.

Hambatan lain dalam pengembangan kecerdasan beragam datang dari forum persekolahan. Sistem persekolahan kita sebenarnya sangat menghambat perkembangan potensi anak didik. Bahkan boleh dikata sebenarnya sekolah tak mengakui adanya konsep tentang kecerdasan selain nan bersifat akademik dan mengandalkan otak. Sistim ranking maupun sistim seleksi penerimaan siswa merupakan bentuk pengekangan itu.

Dunia persekolahan kita cenderung menganut kurikulum tradisional nan bersifat transfer pengetahuan. Kurikulum persekolahan kita kurang adaptif terhadap perubahan. Sehingga wajar bila kita sering mendengar banyak murid sekolah nan lebih dahulu mengetahui informasi dan pengetahuan terbaru dibandingkan gurunya.



Political Will

Parahnya lagi, masyarakat juga masih sangat kuat menilai bahwa kualitas manusia lebih ditentukan oleh angka. Hal ini terlihat dari masih banyaknya seleksi penerimaan pegawai, termasuk pegawai negeri, nan memandang prestasi akademik sebagai ukuran. Pekerjaan nan ada di masyarakat juga lebih didominasi oleh jenis nan mengandalkan kemampuan akademik. Sangat sporadis perusahaan atau kantor nan memberikan keleluasaan dalam pengembangan kreativitas maupun kemampuan lain.

Dengan banyaknya hambatan ini tampaknya sulit buat mengembangkan dan melembagakan kecerdasan majemuk. Hampir semua sektor dan sendi tak memberikan ruang bagi kreatifitas maupun keunikan individu. Dengan sistem budaya dan pendidikan nan ada, akan sulit merangsang atau menumbuhkan berbagai potensi kemampuan anak.

Namun banyaknya kendala bukan berarti konsep kecerdasan beragam atau multiple intelegence tak dapat diimplementasikan. Kuncinya sekarang terletak pada political will dari pemerintah itu sendiri. Sudah saatnya pemerintah mengedepankan dan mengutamakan pendidikan nan berorientasi pada kecerdasan beragam sebagai ujung tombak dalam membangun bangsa dan negara.

Dan nan lebih krusial lagi ialah mengoptimalkan seluruh potensi anak tanpa ada pemaksaan atau pengebirian hanya sebab potensi itu tak seiring dengan nilai nan berlaku di masyarakat. Konsep psikologi nan mendukung kecerdasan lain selain IQ ini harus lebih dimasyarakatkan.