Bantuan Korban Gunung Merapi
Bencana alam ialah hal nan tidak boleh dipandang sepele. Begitu banyak kerusakan, kerugian materi, dan nan paling mengenaskan ialah hilangnya ratusan hingga ribuan nyawa sebab kemurkaan alam. Setelah Wasior dan Mentawai kini giliran gunung Merapi meletus .
Gunung Merapi Meletus
Gunung Merapi Yogyakarta secara administratif terletak di dua provinsi sekaligus, yakni Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Estetika Merapi nan juga dapat dilihat dari Candi Borobudur membuat gunung ini tidak pernah sepi pengunjung. Ditambah kawasan hutan di sekitar pucak gunung dijadikan sebagai Taman Nasional Merapi sejak 2004.
Letusan gunung nan berapi bisa terjadi setiap saat. Gunung ini termasuk golongan gunung nan mengeluarkan lava dengan cara erupsi sentral, di mana lava akan keluar melalui terusan kepunden atau diatrema .
Hasil dari erupsi inilah nan menyebabkan terbentuknya gunung strato atau disebut juga gunung barah berlapis, di mana erupsi nan terjadi tergolong ke dalam jenis erupsi campuran.
Aliran lava nan kental ketika akan keluar segera menjadi padat dan akhirnya tak bisa mengalir cukup jauh dan tertahan di daerah sekitar puncak. Tumpukan lava ini membuat gunung strato semakin lama semakin tinggi dan meruncing.
Pada saat meletus, gas nan terbentuk dalam magma gunung berapi ini akan mendorong lava dan material lainnya menyembur ke udara. Materi ini akan terpecah menjadi partikel-partikel dan gumpalan-gumpalan nan berpijar nan bisa menghanguskan.
Oleh sebab itu, hal ini patut diwaspadai, terutama oleh penduduk sekitar nan tinggal di lereng-lereng gunung berapi nan merupakan daerah rawan bencana.
Meletusnya Gunung Merapi Yogyakarta pada 26 Oktober kemarin dapat dibilang merupakan buah dari akumulasi letupan-letupan erupsi kecil nan terus-tersuan terjadi. Dalam catatan sejarahnya, gunung ini sejak tahun 1548 sudah meletus sebanyak 68 kali.
Gunung Merapi merupakan gunung termuda aktif dan terletak di zona subduksi lempeng Indo-Australia nan secara bergerak maju terus bergerak ke lempeng Eurasia. Aktivitas vulkanik yag demikian tinggi membuat Merapi tidak banyak ditumbuhi vegetasi.
Sejak 1953 ditemukan bahwa ciri letusan Merapi bertipikal lava nan mendesak ke puncak disertai dengan runtuhnya kubah lava secara simultan dan pembentukan awan panas atau dalam bahasa daerah setempat disebut wedhus gembel nan biasanya bergerak secara vetikal.
Letusan Merapi tidak akan mengeluarkan suara keras, tapi cenderung hanya mengeluarkan desisan. Kubah puncaknya nan meletus kemarin merupakan hasil pembentukan sejak tahun 1969.
Kerja sama penelitian nan dilakukan Pusat Vulkanologi Indonesia (PVMBG) dengan Pusat Penelitian Kebumian nan bermarkas di Postdam, Jerman, menyinyalir adanya ruang sangat besar (ruang raksasa) nan bisa menampung jutaan material berbagai unsur nan dapat menghambat getaran gempa bumi, nan mereka perkirakan dengan magma.
Tepat pada 15 Mei 2006 Merapi meletus dengan lumayan dahsyat. Ratdomo Purbo, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kegunungapian (BPPTK) menjelaskan bahwa per 2-4 Juni volume lava di kubah Merapi sudah memenuhi seluruh kapasitas kubah.
Di awal Juni terjadi hujan abu vulkanik diserta dengan luncuran awan panas nan menuju ke Magelang dan Muntilan nan berjarak sekitar 14 km dari puncak Merapi.
Di tahun 2010, erupsi pertama dari gunung Merapi Yogyarakrta terjadi pada pukul 17.02 sore. Ketika tiga kali letusan terjadi dan seperti biasa disertai dengan penyemburan abu vulkanik dan material lain dari dalam kaldera Merapi. Leleran lava tersebut begerak dengan derasnya menuju Kaliadem, Desa Kepuharjo, Sleman. Sejak 26 Oktober tersebut awan panas mulai keluar secra masif dan tak teratur.
Kini, memang letusan Gunung Merapi sudah mulai mereda. Namun, bahaya bukan berarti sudah tidak mengancam warga di sekitar lereng Merapi. Hujan besar akan menimbulkan banjir lava nan mengendap di lereng-lereng Merapi dan oleh karenanya warga harus waspada.
Bencana letusan gunung Merapi nan terjadi di tanah air ternyata tidak hanya menimbulkan gelombang pengungsi, namun juga gelombang relawan. Mereka ialah orang-orang nan “melawan arus”. Di saat orang lain lari mencari selamat, dengan gagah berani mereka justru berkeliaran di kawasan rawan bencana.
Secara umum, ada dua bahaya nan ditimbulkan dalam bala letusan gunung nan berapi. Bahaya primer (primer) mencakup awan panas, lahar, abu vulkanik, dan muntahan material letusan.
Sedangkan bahaya sekunder ialah bahaya nan sifatnya tidak langsung. Contohnya kerusakan rumah dan sawah, krisis pangan, serta berbagai penyakit nan melanda para pengungsi.
Bahaya utama inilah nan mengancam keselamatan para relawan. Di kawasan rawan bala Merapi 2010, misalnya. Otoritas setempat menetapkan jeda kondusif pada radius hingga 20 km.
Bantuan Korban Gunung Merapi
Bencana selalu menimbulkan tragedi dan kepanikan massa. Semua pihak saling bersitegang buat segera melakukan tugas-tugas darurat menolong para korban. Sesungguhnya semua penanggulangan bala akan lebih terorganisir jika pemerintah dan masyarakat monoton belajar dari berbagai peristiwa nan telah lalu.
Pengalaman seharusnya membuat kita semua lebih sigap dan pandai mengendalikan situasi. Gunung Merapi meletus merupakan batu ujian bagi kesigapan semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi massa, penduduk di desa-desa sekitar Merapi, maupun seluruh lapisan masyarakat.
Masyarakat nan berdiam di pedesaan barangkali sikapnya lebih pasif dibanding masyarakat perkotaan nan menggeliat dalam melakukan segala aktivitasnya. Ada baiknya sejak dini pemerintah mengedukasi masyarakat nan bermukim di pedesaan atau daerah-daerah terpencil tentang berbahayanya bala alam.
Barangkali holistik proses tak hanya sekedar memberitahukan bahayanya jika terjadi banjir bandang atau seperti sekarang ini bahayanya Merapi meletus. Namun, juga krusial buat melakukan kampanye, seperti go green dan issue dunia warming.
Penghijauan, kecintaan pada hutan dan alam harus ditingkatkan. Alam tak akan sanggup bertahan jika kita sebagai penghuninya monoton menganiaya alam itu sendiri. Bahkan masih banyak masyarakat perkotaan nan belum mengerti pentingnya re-cycle dan mengurangi penggunaan plastik.
Sampah nan kita hasilkan begitu banyak hingga akhirnya menimbun kita sendiri! Tak heran jika akhir-akhir ini alam makin bergolak dan membuat kita harus sangat waspada.
Meletusnya Gunung Merapi juga memakan banyak korban sebab penduduk nan bertahan pada pendiriannya buat terus menetap di desa. Sekalipun pemerintah telah berusaha memberikan penyuluhan, mereka tetap keras kepala. Mengapa? Karena semuanya tak melewati sebuah proses bertahap.
Yang terjadi ialah proses tabrak sana-sini, darurat, dan dilakukan pada detik terakhir. Tidak ada penampungan nan disiapkan jauh-jauh hari, tak ada dana darurat bagi kesediaan pangan para korban, tak ada kompensasi bagi peternak dan petani nan merugi, tak ada alternatif penanggulangan masalah nan serius, seperti transmigrasi nan bisa segera dilaksanakan.
Semuanya masih berupa gagasan nan acak-acak dan beredar dari mulut ke mulut. Wajar jika masyarakat Merapi akhirnya bertahan pada harta miliknya nan tak seberapa itu dan tetap berada di Merapi. Lagi-lagi sudahkah kita belajar?
Rakyat Indonesia ialah rakyat nan sabar dan penuh rasa persaudaraan. Bhinneka Tunggal Ika nan ditanamkan kepada kita semua sejak dini sungguh merasuk dalam kalbu.
Setiap kali terjadi bencana, termasuk bala meletusnya gunung Merapi, selalu menimbulkan kegotong-royongan massal. Semua lapisan masyarakat tak lagi sekedar menanti kecekatan para pejabat pemerintah, namun langsung terjun sendiri menggalang dana besar-besaran.
Semua forum dari anak SD hingga mahasiswa, mesjid, gereja, TV Swasta, artis, bahkan barangkali organisasi arisan ibu-ibu semuanya bangkit manunggal berupaya mengumpulkan dana.
Dalam sebuah artikelnya tentang bala Merapi 2010, Liputan6.com memberitakan tentang seorang relawan bernama Sobirin. Bersama 20 orang rekan lainnya, Sobirin berkeliling setiap hari memantau bahaya awan panas. Jika melihat tanda-tanda bahaya, mereka harus sigap mengabarkan kepada penduduk setempat nan belum mengungsi.
Hanya berbekal alat komunikasi antik handy talkie , setiap hari Sobirin dan kawan-kawan harus bercengkrama dengan maut. Awan panas bersuhu ratusan derajat celcius dapat meluncur sewaktu-waktu, membakar apa saja tanpa pandang bulu.
Apa nan mendorong Sobirin dan kawan-kawan melakukan tugas berbahaya itu? Tak ada alasan lain kecuali panggilan hati nan ingin melakukan misi kemanusiaan. Imbalan materi bukanlah asa mereka sebab buat biaya sehari-hari saja mereka harus merogoh dari kantong sendiri.
Para relawan nan bertugas di daerah rawan bala Merapi juga harus rela kehilangan waktu bercengkerama dengan keluarga. Beratnya tugas nan dipikul menyebabkan mereka terpaksa tak pulang ke rumah berhari-hari.
Betapa tidak. Dalam mengevakuasi korban, Tim SAR benar-benar diburu waktu. Mereka menyisir daerah bala dan mengevakuasi korban di tengah kegelapan nan mencekam, debu vulkanik nan menyesakkan, juga awan panas nan setiap saat mengancam.
Walaupun relawan bala identik dengan orang nan gagah berani, mereka tetaplah manusia biasa nan memiliki perasaan. Risiko lain nan harus mereka tanggung sebagai pengemban misi humanisme ialah hal-hal menyeramkan nan akan terus terbayang seumur hayati mereka.
Dengan segudang risiko nan mengancam, kebanyakan relawan mengaku siap dan pasrah jika dipertemukan dengan maut saat sedang bertugas. Rasa humanisme nan tinggi memang dapat mengalahkan segalanya.
Kita acungkan jempol untuk orang-orang bermental baja dan berhati mulia ini. Gunung Merapi meletus disatu sisi sangat menyayat hati, disisi lain bangkitnya semangat persaudaraan sungguh mengagumkan!